Santri Pembawa Tradisi Agung, Merengkuh Peradaban

Oleh: Dede Dendi*

Pesantren merupakan tradisi agung (great tradition) dalam pengajaran dan penyebaran Islam di tanah Nusantara. Awal munculnya  pesantren adalah mentransmisikan Islam tradisonal sebagaimana terdapat dalam literasi klasik (kitab kuning) yang sudah ditulis pada jaman dahulu. Komponen atau rukun pesantren sekurang-kurangnya harus ada empat, yakni: kiyai, santri, pembelajaran dan tempat pembelajaran.

Santri merupakan anak-anak yang datang ke pesantren untuk khusus belajar tentang ilmu agama, oleh karena itu salah satu komponen terpenting dalam pesantren adalah santri. Opini bahwa santri hanya belajar ilmu agama saja akan dianggap konservatif dan bertentangan oleh sebagian kelompok. Lembaga pesantren di era modern banyak menyuguhkan ilmu-ilmu pengetahuan sebagai bahan pengajaran terhadap santri, seperti pesantren modern, pesantren semi modern atau terpadu.

Tujuanya tidak lain membekali santri untuk mengimbangi dan melawan arus global yang semakin modern dan canggih. Satu sisi pembelajaran agama kepada santri harus komprehensif dan mendalam agar terselamatkan dari doktrin fundameltalisme literal (revival), seperti mengkaji kitab-kitab kelasik sebagai referensi dan batu loncatan untuk memahami Al-Qur`an dan hadits. Sisi lain, santri harus bisa membaca realitias hari ini, dimana mereka hidup berdampingan dengan teknologi dan sains yang semakin maju.

Sebagaimana pemaparan diatas, peran, fungsi dan tanggung jawab santri akan semakin beragam, salah satunya sebagai penjaga bumi dan penebar rahmat untuk semesta. Tinjauan fakta historis seperti yang diungkapkan oleh Rupert Emerson “munculnya nasionalime di Eropa berbarengan dengan pudarnya pengaruh agama”. Berbeda dengan di Erpoa, nasionalisme di Indonesia justru mengalami hibridisasi atau perkawinan dengan agama. Meledaknya resolusi jihad NU pada 22 Oktober 1945 yang diagagas oleh Hadratusyaikh KH. Hasim Asy`ari sebagai bukti komitmen umat Islam dan santri dalam menjaga bumi.

Peristiwa tersebut jangan hanya menjadi sejarah untuk kalangan santri, justru harus menjadi pembakar semangat santri dalam menjaga bumi dan bertanggung jawab melanjutkan perjuangan beliau. Penyerangan terhadap bumi pertiwi memang tidak tampak secara fisik, tetapi harus disadari bahwa penyerangan idiologi akan terus berkelanjutan. Tidak bisa dipungkiri, sejarah Indonesia memang mengahdirkan juga aspirasi-aspirasi ekstrem. Ekstrem fundamenltalisme religius radikal yang menghendaki Islamisasi negara secara total menjadi sistem khilafah dan ektrem sekuler radikal yang menghendaki pemusnahan agama dari ruang publik.

Dua arus ektrem yang radikal itu mampu dinetralisir atau dilunakan oleh mayoritas tengah yang bersifat hibrid dengan menggagas moderasi dan toleransi. Gagasan tersebut keluar dari mayoritas kiyai dan santri di Nusantara, jika dispesifikasikan penggagas tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU). Inilah salah satu bukti peran santri sebagai penjaga bumi dan penebar rahmat yang harus terus dipertahankan disebarluaskan sebagai bukti kontribusi santri terhadap negara.

Islam mewajibkan umatnya untuk beribadah dengan baik, bagaimana ibadah akan baik jika tempat ibdahnya penuh kegaduhan, tidak terawat dan tidak terjaga. Indonesia merupakan rumah yang didalamnya bebas melakukan ibadah, bahkan bukan hanya untuk muslim tetapi juga digunakan ibadah untuk non muslim. KH. Mustofa Bisri mengatakan “sampai kapanpun santri akan seantiasa mempertahakan indonesia sebagai rumahnya, sebab tanpa keberadaan tanah air yang, perihal ibadahpun sulit dilakukan”.

Islam sebagai agama pendatang di Nusantara harus melebur dan membaur dengan budaya dan kepercayaan sebelumnya seperti Animisme, Dinamisme, Sunda Wiwitan, Hindu dan Budha serta kepercayaan yang lainnya. Cara penyebaran yang dilakukan oleh santri harus dengan sikap humanis dan humoris seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhamad dan para wali di Indonesia. Nabi digambarkan sebagai sosok rouf dalam Al-Qur`an yang menurut imam Jalaludin adalah “sangat welas asih”, nabi memiliki sifat feminim (jamal) dan maskulin (jalal) dan sifat jamal nabi lebih banyak diajarkan oleh penyebar dakwah di Nusantara dengan karakter sufistik yang tinggi.

Islam di Nusantara bukan pembentuk peradaban tetapi sebagai perengkuh peradaban. Santri ketika keluar dari pesantren menyebarkan ilmu agama dengan menghargai budaya lokal, dengan menggunakan batik, iket kepala belangkon, bahasa daerah, dan budaya lokal, agama Islam akan mudah diterima oleh masyarakat. Cara tersebut merupakan interpretasi dari legitimasi formal “Rahmatan Lil A`lamin” dan representasi sikap nabi yang adaptif dengan budaya Arab. Sikap primordialisme inilah yang harus dibangun sehingga komplementeri antara agama dan budaya bisa dijadikan sebagai metode dakwah Islam di Nusantara, dengan berpegang terhadap prinsip

المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ

Mempertahankan tradisi yang masih baik dan mengambil nilai-nilai baru (inovasi) yang lebih baik.

*Dede Dendi, Finalis Duta Santri 2021, sedang menempuh program doktoral pada konsentrasi Agama dan Budaya di UIN SGD Bandung,sekaligus anggota Ansor dan Banser Kabupaten Lebak Banten.

(NF)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here