Kamis, 22 Juni 2023, bertempat di kantor Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU), Yogyakarta, Pimpinan Wilayah (PW) Fatayat NU menerima kunjungan mahasiswa dari University of Sydney yang tergabung dalam kegiatan kunjungan lapangan (field School). Sekitar 20 orang mahasiswa dari Sydney Uni, dan beberapa mahasiswa dari universitas di Yogyakarta hadir bersama seorang pendamping dan dosen kegiatan tersebut, yakni Professor Sonia van Wichelen. Kunjungan lapangan ini diselenggarakan oleh the Sydney Southeast Asia Centre, The University of Sydney, Australia.

Bagi para mahasiswa, kunjungan ke PW Fatayat NU bertujuan mendapatkan pengalaman langsung (hand-on experience) dengan mengamati lingkungan fisik komunitas yang berbeda agama, budaya, bahasa maupun tradisi. Selain itu kegiatan ini memberikan kesempatan mahasiswa tersebut untuk berdialog dan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda agama, keyakinan dan pemikiran. PW Fatayat mengharapkan perjumpaan dan dialog ini membuka ruang refleksi dan memberikan pemahaman yang baik tentang Islam di Indonesia dan Peran perempuan dalam Fatayat NU. Selain itu, kami berharap kegiatan ini dapat memperkuat karakter para mahasiswa untuk mengedepankan dialog dan bina damai dalam upaya mewujudkan keadilan sosial (social justice) bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dalam kesempatan ini, PW Fatayat memaparkan dua topik utama yakni, Nahdatul Ulama dan Islam Moderat yang disampaikan oleh Sahabat Niswatin Faoziah, serta Peran Fatayat dalam Pemberdayaan Perempuan disajikan oleh ketua PW Fatayat NU Yogyakarta, Sahabat Maryam Fithriati. Selama lebih dari dua jam, kami berbincang tentang tema tersebut secara interaktif. Diakhir acara, Mahasiswa, Sydney Uni berkesempatan bertanya dan merespons isu yang telah disampaikan. Sebagian besar mereka menunjukkan minat yang besar akan keterlibatan Fatayat dalam program keperdulian lingkungan (environmental cara), pemberdayaan ekonomi, gender equality dalam Islam dan Islam Nusantara. Berikut petikan diskusi yang telah kami lakukan.

Islam di Indonesia: NU dan Islam Nusantara

Bagaimana potret Islam di Indonesia dan peran Nahdhatul Ulama dalam merawat kehidupan beragama sangat krusial untuk dikaji. Islam seringkali dipahami secara keliru khususnya bagi non- Muslim. Hal ini terjadi diantaranya karena pengaruh media, kurangnya pemahaman yang benar tentang Islam dan minimnya dialog antar umat beragama. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang Islam dan bagaiman peran NU sebagai organisasi Islam dalam membingkai kerukunan umat beragama.

Ada beberapa teori terkait dengan kapan dan bagaimana Islam berkembang di Indonesia, yang dikemukan oleh para ahli. Misalnya menurut para sejarawan, Marco Polo bertemu dengan kerajaan Muslim Aceh di pantai Utara Sumatera di tahun 1292, lebih dari setengah abad sebelum kedatangan Ibnu Batutah, seorang penjelajah samudara, di wilayah yang sama. Sementara seorang antropolog, dari Australia, Prof Merle Ricklefs mencatat bahwa bukti mengenai orang Jawa yang memeluk Islam pertama kali ditemukan pada batu nisan di Trowulan, Jawa Timur sekitar tahun 1369 Masehi. Awalnya Islam disebarkan oleh para pedagang Islam dari Timur Tengah (seperti, Arab dan Persia) dan dari Gujarat, India sejak abad XI. Jadi Islam datang dan berkembang di Indonesia melalui jalur dan proses perdagangan bukan melalui kekerasan dengan kekuatan senjata. Terlepas dari berbagai perdebatan akademis tersebut, pada abad ke 15 agama Islam telah tersebar di seluruh penjuru Nusantara.

Salah satu karakteristik yang membedakan Islam di Indonesia dengan Islam di Timur Tengah adalah hubungan yang kompleks antara Islam dan tradisi lokal serta penekanan pada dimensi spiritualitas. Hal ini tentu saja tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam di pulan Jawa yang dibawa oleh para sufi yang mencerminkan “sintesis mistik (mystic synthesis)” dengan tradisi lokal masyarakat setempat. Konsep “sintesis mistik” merupakan strategi keberhasilan dakwah para sufi, dalam hal ini Wali Songa yang menghasilkan fenomena Islam Indonesia yang khas dan unik. Ajaran islam tidak berhadap-hadapan dan bertentangan dengan tradisi lokal, namun ada upaya untuk menemukan sintesis dari keduanya. Konsep “Sintesis Mistik” ini dinilai cukup berhasil, meskipun, prosesnya tidak selalu berjalan stabil sepanjang sejarah Islamisasi di pulau Jawa, Sumatra dan tempat lain. Terkadang terdapat ketegangan antara otoritas Islam dengan perwakilan tradisi lokal. Ekspresi Islam yang berasal dari persinggungan ajaran Islam dengan tradisi lokal di Nusantara telah melahirkan identitas baru yang melekat pada Islam. Corak Islam semacam ini merupakan cikal bakal munculnya Islam Nusantara (Islam of the Archipelago) dan karakter ini menumbuhkan simpati bagi kalangan Islam moderat di Indonesia, khususnya Nadhatul Ulama.

Menurut Ketua NU, Kiai haji Said Aqil Siradj, Islam Nusantara bukanlah agama baru atau madzhab baru maupun aliran baru dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebaliknya Islam Nusantara merupakan implementasi Islam yang menampilkan integrasi harmonis antara ajaran Islam dan budaya lokal. Melalui Islam Nusantara, narasi ideologi agama yang kaku dan keras dapat ditanggulangi. Kaum Nadhiyin melihat Islam Nusantara sebagai orientasi agama moderat sebagai respons terhadap munculnya ekstrimisme Islam dan terorisme. Selain itu Islam Nusantara mengembangkan pesan universalitas Islam yang merupakan “Rahmatal lil alamin” menunjukkan legitimasi fleksibilitas teologis dan adaptabilitas yang mengembangkan Islam yang toleran di Nusantara. Islam Nusantara mengusung nilai- nilai fundamental seperti tawassut (moderasi), tawazun (harmoni), tasamuh (toleransi) dan i’tidal (keadilan) mendorong moderasi beragama, inklusifitas, anti radikalisme dan toleransi.

Sebagai produk budaya dan ideologi, tujuan Islam Nusantara tidak dapat dicapai secara instan, perlu proses untuk menciptakan Indonesia yang damai dan toleran. Saat ini upaya Islam Nusantara untuk memerangi radikalisme dan ekstrimisme sering terkendala dengan adanya perbedatan konsep Islam Nusantara baik dari dalam tubuh NU sendiri maupun kelompok Muslim lainya. Meski demikian, sebagaimana yang disampaikan Ahmad Najib Burhani, Islam Nusantara telah berhasil memperkuat keyakinan dan kebanggaan umat Islam Indonesia terhadap identitas keagamaan mereka, dengan karakteristik unik dan keistimewaannya. Islam Nusantara berhasil mengatasi inferioritas umat Islam Indonesia dalam dunia Muslim, yang ditimbulkan karena keyakinan serta praktik keagamaan Islam Indonesia yang dianggap sinkretis. Islam Indonesia, yang sebelumnya dianggap sebagai Islam yang kurang ortodoks dan kurang otentik, kini diperkenalkan sebagai contoh toleransi dan perdamaian, bahkan dipandang sebagai strategi yang baik (soft power) untuk menangkal radikalisme dan ekstremisme agama.

Fatayat dan Pemberdayaan Perempuan di Indonesia

Sebagai salah satu badan otonom di tubuh organisasi NU, PW Fatayat NU, Yogyakarta mengajak kepada seluruh pengurus dan anggotanya untuk menerapkan sikap moderat (tawasuth). Langkah Fatayat dalam upaya pengarusutamaan nilai-nilai moderasi beragama ini selaras dengan kandungan Al Quran QS. Al Baqoroh:143 yang menjelaskan jika umat yang terbaik adalah umat yang moderat, yang menempatkan posisi tengah diantara dua ekstrem.

Selain aktif mengadvokasi kegiatan Moderasi Beragama dalam berbagai workshop dan kegiatan pengajian, seperti pengajian Fiqih dan Ahad Manis, PW Fatayat NU juga konsen dengan program pemberdayaan perempuan lainnya. Beberapa program seperti pengelolaan Bank Sampah Rumah Tangga, Trift Shop, Bakti Sosial, Pemeriksaan Kesehatan dan Alat Repreduksi, serta beberapa program Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta program Pemberdayaan Ekonomi lokal rutin dilakukan. Kegiatan- kegiatan ini dirasa sangat penting dilatar belakangin dengan melihat realitas kehidupan sehari-hari perempuan Muslim Indonesia yang belum mendapat cukup kesempatan untuk mengembangkan diri dan kurangnya pengetahuan terkait dengan haknya sebagai individu dan warga negara. Kesadaran tentang kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan baik di lingkup keluarga maupun area publik juga sangat minim dan perlu untuk terus digiatkan dalam program Fatayat. Pada tahap ini dukungan dan sinergi fatayat dengan masyarakat seperti tokoh agama (Kiai), pemimpin masyarakat, serta pemerintah, tentu sangat diperlukan khususnya dalam proses distribusi pengetahuan.

Kontributor: Niswatin Faoziah, Wakil Bendahara PW Fatayat NU Yogyakarta, dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam, Sunan Pandaranan Yogyakarta

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here