Dalam rangka 16 HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan). LKP3A PW NU DIY mengadakan webinar tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kegiatan ini dihadiri dua narasumber praktisi pendamping korban kekerasan seksual, yaitu Nurmawati, SE dari LKP3A DIY sekaligus dari WCC Center Rifka Annisa, dan Ifa Aryani, S. Psi, M. Psi dari Rekso Dyah Utami yang dimoderatori oleh Febriyanti Dwiratna Lestari, SS., MM (LKP3A PW Fatayat NU DIY), pada hari Sabtu 10 Desember 2022.
Nurma dari Rifka Annisa banyak berbicara tentang sebab dan dampak kekerasan seksual rentan menyasar pada perempuan dan anak, yaitu adanya relasi kuasa patriarki di masyarakat yang cenderung menormalisasi dan mewajarkan kekerasan seksual sebagai salah korban.
Korban kekerasan seksual pun tidak memandang usia, dari anak hingga perempuan dewasa dapat menjadi korban. Nurma juga menambahkan terkait dampak kekerasan kepada anak di masa depan, salah satunya korban yang belum benar-benar sembuh dari trauma kekerasan dapat menjadi pelaku kekerasan di masa depan. Faktor kekerasan seksual juga disebabkan oleh toxic masculinity yang menuntut laki-laki harus kuat, berani dan mewajarkan segala tindakan laki-laki dengan cara-cara kekerasan, termasuk pada perempuan.
Selain itu laki-laki juga jarang diajarkan tentang bagaimana harus menghormati dan memperlakukan perempuan yang berdampak di masa depan cenderung menjadi sosok yang bias gender dan mudah melakukan kekerasan termasuk pada perempuan dan anak. Oleh karena itu Nurma menyerukan dalam webinar ini agar pendidik termasuk orang tua dituntut mengajarkan anak-anak laki-laki mereka menghormati dan menghargai perempuan yang dimulai belajar menghormati dan memuliakan ibu dan saudara perempuan terdekatnya.
Menurut Ifa, dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak meliputi adanya trauma berkepanjangan yang sulit untuk disembuhkan. Jika tidak mendapatkan pertolongan dan penanganan yang tepat, perasaan itu rentan mendorong korban melakukan bunuh diri. Sementara jika terjadi pada anak-anak yang tidak mengalami trauma, rentan membuat anak-anak terjebak dalam bisnis prostitusi, yang mana hal ini juga disebabkan penolakan masyarakat dan stigma yang buruk terhadap korban dan berakhir pada keputusan menjadi pekerja seks.
Sementara dalam konteks kasus KDRT, Perempuan korban KDRT kerap kali tidak mendapatkan haknya dan rentan dilaporkan atau dikriminalisasi balik, di tingkat penegak hukum sendiri banyak yang belum teredukasi dan terbangun perspektif gendernya ketika menangani kasus KDRT, bahkan masih banyak yang bias gender dan merendahkan posisi korban.
Situasi yang sama dialami juga oleh korban kekerasan seksual berbasis online atau elektronik yang video aibnya tersebar di internet. Ketika korban melapor kasusnya, laporan cenderung tidak ditindaklanjuti bahkan dianggap sepele dengan respon yang menyakitkan seperti :“oh dibiarkan saja ibu, nanti paling sebulan atau dua bulan videonya bakal hilang-hilang sendiri dan orang bakal lupa ko”. Menurut Ifa respond aparat hukum ini cenderung sangat menyakitkan bagi korban dan pendamping korban.
Respon aparat hukum yang menyepelekan dan menganggap laporan korban kekerasan seksual tidak penting untuk ditindaklanjuti salah satu faktornya adalah belum sepenuhnya perspektif aparat penegak hukum seperti polisi, hakim dan jaksa yang terbangun terkait kekerasan terhadap perempuan dan belum ada sosialisasi serta pelatihan yang bertujuan membangun perspektif penegak hukum terkait kekerasan terhadap perempuan.
Sementara proses sosialisasi pengetahuan tentang UU TPKS ke tingkat lapisan masyarakat kerap menemukan hambatan yang selalu sama dan klasik. Misalnya saja terkait minimnya anggaran, sosialisasi ke masyarakat yang tidak merata dan tidak melibatkan semua kelompok masyarakat atau organisasi yang hanya berhenti di kelompok ibu-ibu PKK, dan tidak semua peserta yang terlibat dalam sosialisasi memiliki kemampuan mensosialisasikan kembali kepada orang-orang di sekitarnya.