Oleh : Nurlaily Fatayati, M.Pd. (Anggota bidang Litbang PW Fatayat NU DIY)

Indonesia termasuk negara yang mayoritas menganut budaya patriarki, dimana peran laki-laki lebih fokus pada ranah publik, sementara perempuan fokus pada ranah domestik. Secara psikologis hal ini dapat berdampak pada minimnya peran ayah terhadap pendidikan keluarga, sehingga menyebabkan  anak-anak mengalami krisis father hunger. Menurut para ahli, father hunger ini disinyalir berdampak pada berkurangnya rasa berani dan rasa percaya diri bagi pertumbuhan anak.

Selama ini studi-studi tumbuh kembang anak telah banyak membahas mengenai peranan ibu secara mendalam. Ibu berperan besar pada perawatan anak, sedangkan ayah berperan pada aktivitas yang berhubungan dengan pembentukan pribadi anak. Kenyataannya di lapangan, mendidik dan membesarkan anak lebih dibebankan kepada ibu, sedangkan ayah hanya bertugas mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga tidak ikut mengasuh, mendidik dan memenuhi kebutuhan kasih sayang anak. Padahal kualitas pengasuhan ibu atau ayah harus disejajarkan karena pengalaman yang dialami bersama ayah, akan mempengaruhi seorang anak hingga dewasa nantinya.

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa mengabaikan peran ayah sama artinya memicu terjadinya bias dalam perkembangan anak. Partisipasi aktif ayah yang melibatkan edukasi secara fisik, afektif, dan kognitif terhadap anak dalam proses interaksinya sangat dibutuhkan bagi tumbuh kembang anak. Partisipasi tersebut berfungsi sebagai pengakuan anak sebagai pribadi yang utuh, pelindung bagi anak dari sumber-sumber bahaya potensial dan berkontribusi pada pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap kesejahteraan anak, memastikan kebutuhan material anak dan aktivitas bersosialisasi seperti pendisiplinan, pengajaran, dan perhatian yang merepresentasikan peran ayah sebagai pelaksana dan pendorong bagi pembentukan dalam perkembangan anak.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan memberikan dampak positif pada seluruh aspek perkembangan anak yaitu kognitif, intelektual, pencapaian prestasi, emosi, sosial, moral, dan penurunan perkembangan anak yang negatif. Anak-anak yang hidup tanpa ayah kebanyakan mengalami permasalahan fisik dan psikologi seperti depresi, nilai akademik menurun, dan beberapa permasalahan lain yang berkaitan dengan pergaulan.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan menumbuhkan pribadi anak untuk mudah berempati, penuh kasih sayang dan perhatian, serta hubungan sosial yang lebih baik. Selain itu, akan membantu terbentuknya identitas gender yang sehat, perkembangan moral yang positif dan  penyesuaian diri yang positif pada anak.

Selain itu, keterlibatan ayah diharapkan dapat ikut berperan membentuk perilaku anak sesuai aturan dan norma yang berlaku. Terdapat hubungan antara perkembangan kecerdasan moral anak dengan peran keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Kalau kita lihat, kenakalan remaja bukanlah fenomena baru dari masa ke masa, melainkan suatu lanjutan dari perilaku sosial yang dimulai pada masa kanak-kanak. Dalam hal ini, pengasuhan orang tua khususnya ayah memiliki andil penting terhadap terbentuknya perilaku moral anak untuk mencegah kenakalan remaja sejak sedini mungkin, dalam artian seorang anak yang mendapatkan pengasuhan yang baik akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan aturan dan norma di lingkungan tempat ia tumbuh, sehingga kasus kenakalan remaja dapat teratasi sejak dini.

Pengasuhan ayah juga menentukan tingkat keberhasilan seorang anak di masa depan, di mana dukungan tersebut dikategorikan sebagai kebutuhan afeksi dan perawatan psikologis. Di antaranya seperti memberikan perhatian, membahagiakan, memberikan rasa aman, memberikan yang terbaik, serta memberikan perhatian pada saat sakit, meluangkan waktu, memberi nasehat, mengingatkan, mengajarkan serta menjaga.

Dari beberapa hal diatas, sebaiknya keluarga utuh yang berada dalam konflik atau berada di ambang perceraian perlu melakukan pertimbangan yang matang. Hendaknya pasangan tidak semata-mata memikirkan perubahan struktur keluarga saja tetapi mempertimbangkan pula kualitas relasi yang sudah terbentuk selama ini dengan anak-anak termasuk bagaimana menjaga relasi dengan anak pasca-perceraian.

Keluarga utuh yang ada dalam konflik dan mungkin sedang berpikir mengenai perceraian, sebaiknya menghindari pertengkaran di depan anak-anak. Konflik yang terbuka memiliki dampak yang lebih buruk pada anak ,terlepas dan apakah nantinya orangtua bercerai atau tidak.

Untuk mengurangi resiko dampak negatif ketiadaan ayah bagi keluarga tanpa ayah, baik karena perceraian maupun kematian, beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya adalah, perlunya dukungan sosial yang berkualitas dari lingkungan sekitar sebelum anak mencapai tahap penerimaan terhadap ketiadaan ayah.

Bagi keluarga tanpa ayah, meski masalah emosional yang muncul akibat ketiadaan ayah tidak selalu bersifat serius namun dukungan yang berkualitas (dari ternan, sekolah, keluarga yang lain, dan masyarakat sekitar) harus terpenuhi dengan baik, khususnya sebelum anak mencapai tahap penerimaan. Selanjutnya, bagi keluarga yang bercerai, ayah hendaknya tetap memberikan dukungan finansial dan emosional bagi anaknya, misalnya dengan membiayai pendidikan anaknya karena ada banyak kasus, sebagian besar ibu menjadi orangtua tunggal harus bekerja lebih keras mengambil peran sepenuhnya terkait tanggung jawab finansial memenuhi seluruh kebutuhan anak .

lbu yang mengalami ketiadaan suami perlu belajar cara yang tepat untuk menghadapi peristiwa dukacita, baik karena kematian atau perceraian. Misalnya saat-saat depresi sebagai respon yang wajar akibat kehilangan suami dapat diatasi dengan mencari dukungan sosial untuk tempat berbagi, melibatkan diri dalam pengembangan kerohanian, dan melibatkan anak untuk berbagi rasa dan bersama sama menghadapi masa-masa dukacita. Selanjutnya, anak tanpa ayah perlu mengembangkan asosiasi yang positif mengenai ketiadaan ayah dan berusaha mengantisipasi akibat negatif yang mungkin mempengaruhi perkembangan anak.

Semoga bermanfaat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here