Nur Maulida (Anggota Bidang Media dan Teknologi Informasi PW Fatayat NU DIY)

Perempuan dikenal sosok yang informatif, ringan berbagi informasi yang dirasa penting untuk diketahui orang di sekeliling mereka dan suka sekali bercerita beragam topik. Perempuan punya banyak forum rutinan yang berpotensi menjadi tempat sharing informasi dan solidaritas sesama perempuan, diantaranya melalui pertemuan arisan, selamatan, rapat PKK, posyandu, hajatan sampai pengajian merupakan wadah dimana perempuan memiliki banyak ruang untuk berbagi, berkumpul, ngobras (ngobrol santai), menceritakan kehidupan sehari-hari mereka, bahkan menggosip. Dalam satu wilayah, desa, kecamatan, RT bahkan sebuah komplek bisa dipastikan kegiatan rutinan paling banyak didominasi ibu-ibu ketimbang bapak-bapak.

Tradisi ngobras dan menggosip di kalangan perempuan kerap kali dianggap stigma buruk karena cenderungnya dianggap menceritakan keburukan atau menggunjing orang lain, namun sebenarnya ngobras punya nilai positif bagi perempuan yang sudah teredukasi, ngobras bisa menjadi media sharing informasi dan menjadi jembatan perempuan memberikan pengaruh baik kepada orang di sekelilingnya. Semakin luas akses pendidikan untuk perempuan, semakin bagus pengaruh yang diberikan kepada orang lain termasuk dalam menyampaikan informasi. Sesama perempuan dapat berbagi soal parenting, women support women, ajang saling curhat, saling menguatkan terhadap permasalahan yang tengah dihadapi dan sebagainya.

Transformasi Berbagi Informasi dari Ruang Offline ke Ruang Online 

Semakin berkembangnya teknologi digital, forum gosip atau mengobrol santai juga semakin canggih. Saat ini banyak grup-grup online ibu-ibu arisan, PKK, posyandu dan sebagainya yang difasilitasi oleh Whatsapp, Facebook dan Telegram. Dengan demikian semakin memudahkan perempuan berbagi informasi, sehingga menggosip atau ngobras sudah tidak terbatas ruang dan waktu, kapanpun di waktu senggang ibu-ibu bisa mengobrol santai via text berbasis chatting, berbagi tautan informasi seputar kesehatan, pendidikan dan keluarga, dimana topik-topik tersebut sangat dekat dengan kehidupan perempuan khususnya ibu rumah tangga.

Namun demikian, ruang-ruang berbagi di media sosial tidak sesederhana menggosip di forum offline, ada banyak tantangan kesenjangan pengetahuan ruang digital di kalangan perempuan, selama ini perempuan hanya dianggap sebagai pengguna aktif media sosial, tidak dituntut menjadi pengguna yang bijak bersosmed, tak banyak akses pengetahuan literasi digital yang diperkenalkan kepada perempuan, khususnya perempuan rumah tangga sebagai pengguna aktif media sosial.

Padahal, pengguna media sosial yang tidak dibekali literasi digital rentan menjadi korban derasnya arus informasi di media sosial, tanpa screening dan filter pengetahuan apapun bisa menjadi bahan menggosip di grup-grup arisan, keluarga, RT dan sebagainya bahkan topik menggosip bisa lebih luas tidak hanya sebatas kehidupan tetangga, anak dan pasangan.

Bahaya Hipnotisasi Hoaks yang Beredar di Grup-Grup Online

Sangat disayangkan luasnya informasi yang menembus sekat-sekat grup di forum online ibu-ibu kerap kali disusupi oleh berita hoaks misinformasi dan disinformasi. Disinformasi yang sengaja diciptakan salah satunya bertujuan melakukan brainwash terhadap pilihan politik seseorang dan mengkultuskan tokoh tertentu yang sedang bertarung di medan politik.

Menjelang tahun pemilu misalnya, grup-grup online menjadi ramai informasi dari luar yang tak terjangkau sumbernya. Dalam satu grup bisa memunculkan perdebatan sengit karena pembahasan gosip dan ngobras tidak sesederhana dan sesantai di ruang lingkup offline, topik pembicaraan sudah semakin luas dan tidak sebatas tentang tetangga sebelah rumah atau tetangga satu kampung RT dan RW, tetapi mencakup teori konspirasi, fitnah dan hate speech bermuatan hoaks berseliweran menjadi bahan pembicaraan sehari-hari.

Informasi bermuatan hoaks yang tersebar kerap dihubungkan dengan nilai-nilai yang berkaitan erat dengan agama, identitas dan keyakinan, di mana nilai-nilai tersebut sangat mudah menghipnotis massal pengguna media sosial netizen +62, dan cenderung bertujuan memobilisasi massa di ranah offline untuk merubah persepsi, pilihan politik bahkan merubah nilai dan norma yang diyakini selama ini.

Sebagaimana dalam penelitian yang dihimpun oleh Mastel di tahun 2017 saluran penyebaran hoaks banyak ditemukan dalam situs web sebesar 34,90%, aplikasi chatting cyberspace (Whatsapp, Line, Telegram ) mencapai 62,80% dan melalui berbagai platform media sosial seperti FB, Twitter, Instagram dan Path  menduduki puncak tertinggi yaitu 92,40%.

Dengan demikian tidak dipungkiri banyaknya asumsi persebaran berita hoaks banyak ditemukan di grup-grup chatting online. Sementara dikutip dalam Jawapos.com berdasarkan dailiysocialmedia.id saluran terbanyak penyebaran hoaks masih berasal dari Facebook dengan persentase 82,25, whatsapp 56,55% dan instagram 29, 48 persen.

Adanya fasilitas fitur share atau berbagi menjadi media transfer yang paling mendukung persebaran informasi hoaks secara masif ke berbagai ruang digital, baik melalui aplikasi chatting maupun berbagai platform media sosial. Asumsi penulis, aplikasi chatting seperti Whatsapp bukan satu-satunya sumber dari berita hoaks, tetapi media yang paling intens mentransfer dan menyebarkan informasi hoaks yang paling efektif  kepada pengguna media sosial yang masih sangat awam terkait cara kerja ruang digital dan verifikasi kebenaran suatu informasi.

Terbukti menurut Kominfo pelaku penyebar hoaks berkisar umur 45 tahun ke atas yaitu rata-rata orang tua yang masih sangat kudet (kurang update) terkait penggunaan media sosial, dan sebagian besar mereka adalah pengguna aplikasi Whatsapp.

Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Bisa Menjadi Korban Misinformasi dan Disinformasi 

Perempuan dan laki-laki sebenarnya sama-sama berpotensi berperan dalam menyebarkan berita bohong, bahkan menurut Anita Wahid, Presidium MAFINDO, laki-laki cenderung mudah terpancing menyebarkan hoaks yang berkaitan dengan identitas, agama, dan kesukuan di mana karakteristik jenis hoaks ini kerap mewarnai di musim politik.  Anggapan perempuan merupakan mayoritas penyebar hoaks di grup-grup keluarga selama ini belum disertai dengan bukti data riset atau penelitian yang ada.

Sebagian besar data hanya menunjukan bahwa pelaku penyebar hoaks rata-rata berumur sekitar 45 tahun ke atas (https://www.kominfo.go.id/). Hal ini dikuatkan dengan survei yang dilakukan oleh Tirto bekerjasama dengan International Center for Journalist (ICFJ) pada bulan Februari 2019, kepada 1.586 responden berusia 17 tahun ke atas dan terbatas di pulau Jawa dengan menggunakan 18 klaim dan gambar hoaks sebagai alat ukurnya. Survei tersebut menemukan fakta bahwa gender tertentu tidak berpengaruh terhadap penyebaran informasi hoaks. Dari survei tersebut ditemukan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang semakin mudah membagikan informasi dari satu grup ke grup lainnya.

Sementara kemungkinan banyak anggapan sebagian besar penyebar hoaks adalah perempuan karena kebiasaan dan karakter perempuan yang suka menggosip dan ngobras cenderung dianggap mudah menyebarkan informasi apapun termasuk informasi hoaks.

Kerentanan Perempuan Terhadap Berita Hoaks

Tidak dipungkiri pula perempuan sangat rentan menjadi sasaran empuk penyebaran informasi hoaks. Menurut Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA, perempuan mudah terpapar informasi hoaks karena dipicu psikologi dan emosinya, yaitu seringkali berita hoaks memanfaatkan sensitivitas dan emosi perempuan untuk membangkitkan amarah, rasa kasihan dan ketakutan. Perasaan ini memancing perempuan untuk tergerak menyebarkan hoaks, terutama jika hoaks berkaitan dengan keselamatan keluarganya. Misalnya saja berita hoaks terkait kesehatan di masa pandemi covid-19, bencana alam dan penculikan.

Menurut Anita Wahid, perempuan cenderung diidentikan sebagai korban dari berita hoaks misinformasi. Kebanyakan perempuan menyebarkan informasi karena ketidaktahuan dan tidak mengerti terkait verifikasi kebenaran informasi yang didapatkan. KemenPPPA menyatakan perempuan lebih banyak terpapar hoaks selama pandemi covid-19. Tercatat hoaks meningkat sebesar 17 %, hal ini disebabkan berita hoaks terkait pandemi memuat kekhawatiran perempuan atas keselamatan keluarga mereka di masa pandemi.

Menurut Womenwill (2018), 52% perempuan Indonesia masih merasa kesulitan melakukan pencarian di internet, sehingga informasi hoaks yang tersebar di grup-grup keluarga dan komunitas orang-orang terdekat adalah yang paling mudah dijangkau perempuan untuk memenuhi kebutuhan terkait wawasan dan informasi. Selain itu, menurut Womenwill informasi terkait politik, agama, dan kesehatan juga beredar di kalangan ibu-ibu.

Kesenjangan Pendidikan Literasi Digital bagi Perempuan

Konstruksi peran perempuan yang sangat kaku terbatas di ruang domestik, membuat perempuan masih sering termarginalisasi dari akses pendidikan termasuk pendidikan digital literasi. Akses pendidikan pemberdayaan teknologi yang tidak adil gender, menjadikan perempuan rentan terpapar hoaks dan kebiasaan menggosip atau ngobras menjadi ajang menyebarkan hoaks misinformasi antar sesama perempuan.

Selain itu perempuan kerap dituduh gaptek dan disalahkan sebagai penyebar hoaks, padahal ini terjadi karena sebagian besar kelompok ibu yang terabaikan dalam akses pendidikan digital literasi. Kesenjangan digital ini umumnya terjadi pada perempuan yang berada di level akar rumput, tinggal di wilayah pedesaan, dan lanjut usia serta anak di bawah umur yang kerap kali menjadi korban kekerasan berbasis gender online karena kegagapan orang tua terutama ibu terhadap teknologi.

Menurut data yang dihimpun oleh web foundation, di seluruh dunia pengguna internet perempuan lebih sedikit ketimbang laki-laki, yaitu 21 persen lebih laki-laki menggunakan internet, angka ini naik menjadi 52% di negara-negara paling kurang berkembang. Kesenjangan digital terjadi tidak hanya bagi jumlah penggunanya tapi manfaat, fungsi dan bahaya serta ancaman yang ditimbulkan pun tidak netral gender. Salah satu ketimpangan dalam akses dunia digital adalah menyangkut keselamatan perempuan dan anak dalam memanfaatkan peluang yang ditawarkan teknologi.

Pentingnya Meningkatkan Kapasitas Perempuan di Ruang Digital

Meningkatkan kemampuan dan kapasitas perempuan di ruang digital di antaranya dapat membantu perempuan lebih berdaya untuk menjadi agen perdamaian dan anti hoaks. Potensi perempuan yang informatif dapat digunakan menyebarkan pengetahuan bahaya hoaks bagi sesama perempuan dengan catatan perempuan diberikan ruang dan kesempatan yang setara seperti laki-laki untuk meningkatkan kapasitas mereka di ranah digital, dan tereduksi menjadi netizen yang lebih bijak menyebarkan informasi.

Selain itu perempuan dapat lebih terarah memanfaatkan serta menggunakan media sosial dalam kesehariannya. Mampu membedakan konten yang benar dan salah, baik dan buruk, juga mencegah memproduksi konten negatif, serta memutus rantai penyebaran konten bermuatan hoaks dengan tidak menyebarkan ulang dan berinisiatif memberikan pengaruh baik terhadap orang-orang di sekitarnya mengenai bahaya konten tersebut.

Wawasan digital literasi yang sangat relevan bisa diajarkan kepada ibu-ibu atau perempuan rumah tangga diantaranya terkait definisi dan contoh jenis-jenis konten negatif dan bermuatan hoaks di media sosial, sebab-sebab munculnya konten tersebut dan ancaman hukuman bagi yang memproduksi dan menyebarkan.

Sementara dari segi dampak sosial dan psikologis, perempuan bisa diberikan edukasi terkait faktor psikis orang yang memproduksi konten hoaks atau disinformasi, memahami dampak sosial dan psikis dari konten hoaks terhadap orang yang menerima pesan dan masyarakat secara luas. Kemudian yang terakhir terkait etika bersosial media yaitu langkah-langkah untuk membedakan informasi yang benar dan salah. Apa yang harus dilakukan ketika menemukan konten bermuatan hoaks, fitnah dan kebencian.

Gerakan literasi digital juga sangat perlu mengajak masyarakat secara luas khususnya perempuan menyadari sepenuhnya bahwa dalam dunia digital seseorang tidak sendiri dalam mengambil keputusan menyebarkan informasi dan memposting sebuah konten. Sesungguhnya apapun keputusan yang diambil dalam media sosial terkait konten yang diunggah dan disebarkan akan berpengaruh dan berdampak terhadap jaringan yang lebih luas.

Sehingga kesadaran solidaritas sosial di ranah online menjadi sangat penting, bahwasanya di era digitalisasi ini kita tidak hanya hidup di ruang offline tetapi di ruang online di mana semua orang berhak mendapatkan rasa aman dan nyaman terhindar dari disinformasi dan misinformasi yang dapat merugikan persatuan dan kedamaian dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat.  Satu aksi klik yang kita lakukan akan memberikan dampak viralitas yang luas bagi sebuah konten negatif yang bermuatan hoaks, kebencian dan fitnah terhadap identitas kelompok tertentu.

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here