Santri Literer untuk Menyongsong Era Society 5.0

Oleh : Ubaidilah*

Urgensi Literasi untuk Santri dalam Menjaga Zaman

            Pembukaan esai ini didedikasikan untuk dua sosok penerima penghargaan nobel perdamaian dari dua tahun yang berbeda. Pertama, penerima penghargaan nobel perdamaian tahun ini, Maria Ressa. Ia pernah barkata begini: a world without facts means a world without truth and trust. Jika diterjemahkan secara kontekstual, lewat kutipan yang trengginas itu, Ressa ingin menekankan betapa pentingnya peran fakta dalam pembangunan nilai dan norma bagi manusia. Jurnalis asal Filipina ini diganjar penghargaan berkat kegigihannya memperjuangkan kebebasan berekspresi, demokrasi, dan perdamaian. Sementara itu, berbeda dengan Ressa, sosok kedua ini menerima penghargaan nobel perdamaian berkat keberaniannya memperjuangkan hak perempuan, terutama dalam hal pendidikan, bahkan sekalipun ditodong dengan pistol dan akhirnya tertembak sampai harus sempat meregang nyawa. Ya, sosok itu adalah Malala Yousafzai, penerima nobel perdamaian tahun 2014 silam.

            Dua sosok ini, terlepas dari latar belakangnya yang berbeda, sama-sama berjuang pada ranah yang berakar pada humanisme. Lalu, apa kesamaan lainnya? Ya, keduanya adalah sosok yang melek literasi, serta paham bagaimana memanifestasikan pengetahuan itu dalam bentuk aksi nyata. Saya percaya bahwa kompetensi inilah yang saat ini dibutuhkan oleh kaum santri di zaman sekarang, terlebih kita memasuki era society 5.0, era di mana masyarakat dapat menyelesaikan berbagai masalah dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era Revolusi Industri 4.0, seperti Artificial Intelligence (AI), Cyber Religion, dan lain sebagainya. Saat ini, santri tidak hanya dituntut untuk mengikuti zaman, namun juga menjadi sosok yang menjaga zaman agar ia terbebas dari aneka paham yang menyelewengkan nilai-nilai Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Namun, apa peran yang bisa dilakukan santri untuk menjaga zaman?

Santri sebagai Agen Penebar Rahmat untuk Semesta

            Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kaum santri punya tanggung jawab tidak tertulis untuk menjaga zaman. Tentu, metode yang dilakukan berbeda-beda, bergantung latar belakang akademis dan lingkungan tempat santri itu tumbuh. Namun, sekalipun berbeda pendekatan dan cara yang dilakukan berbeda, kita bisa menyederhanakan semua itu dengan satu kalimat: bahwa bagaimana pun cara yang dilakukan, inti dari peran santri untuk menjaga zaman adalah dengan menebar rahmat untuk semesta yang kita tinggali. Ya, menjaga zaman dan menebar rahmat bukanlah dua hal yang dilakukan satu per satu, melainkan paralel dan saling melengkapi satu sama lain.

Paradigma di atas akan terdengar utopis dan hiperbolis untuk orang awam. Pertanyaan bernada skeptis seperti “bagaimana santri bisa menjaga bumi dan menebar rahmat untuk semesta?”, “bukankan santri tugasnya hanya mengkaji kitab klasik dan manut titah dari kiai?”, dan aneka pertanyaan sangsi lainnya akan muncul—tentu, kadang tidak dengan diksi yang sopan dan beradab—untuk menguji kebenaran identitas santri, dan itu tidak mengapa. Alih-alih menghindar atau bertanya balik dengan nada tajam nan menusuk, justru orang-orang seperti itulah yang harus diberi perhatian lebih, sebab sekali lagi, santri adalah penebar rahmat untuk semesta; seperti Malala yang memperjuangkan emansipasi, atau Ressa yang menyuarakan kebebasan berekspresi, santri digerakkan oleh sense of belonging, rasa kepemilikan bahwa sekalipun berbeda agama, budaya, ras, etnik, pada akhirnya kita, saya dan Anda, adalah manusia.

Esensi Hari Santri Nasional

            Berdasarkan olahan penjelasan di atas, agaknya aman untuk menyatakan bahwa esensi Hari Santri Nasional bukan hanya tentang mengenang ulama di masa lalu yang kharismatik, namun lebih dari itu. Hari Santri Nasional patut menjadi momentum bagi santri masa kini untuk terus membenahi diri, agar kelak bisa menjadi agen penebar rahmat yang ramah dan tidak mudah tersulut amarah, menyebarkan hal positif sesuai dengan kompetensi yang dikuasai, dan mendakwahkan nilai-nilai Islam Rahmatan lil ‘Alamin yang menyejukkan.

Wabakdu, penutupan esai ini didedikasikan untuk seluruh santri dari sudut-sudut Indonesia, baik mereka yang masih menangis dan merengek meminta pulang setiap dikunjungi orang tuanya, sampai mereka yang sudah menganggap pesantren sebagai rumahnya sendiri. Mari kita bergerak dan terus berproses, sebab kita adalah aset penting untuk Indonesia di masa keemasannya, tahun 2045 kelak. Mari bergerak dan terus berproses, sebab kita adalah penjaga bumi dari paham radikalisme dan penebar rahmat untuk semesta. Mari bergerak dan terus berproses, sebab kita adalah santri. Bukankah santri adalah manusia berbudi luhur yang senantiasa haus ilmu?

Sekian.

*Ubaidillah, Finalis Duta Santri Nasional 2021 asal Kediri Jawa Timur, mahasiswa IAIN Kediri sekaligus santri Pondok Pesantren Mambaus Sholihin 2 Blitar

(NF)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here