Cerpen Siwi Nurdiani*

 

Dalam renungannya, malam terbiasa berkarib dengan gelap.  Juga siapa pun yang kontak langsung dengannya. Burung hantu maupun kelelawar, lebih ekstrem, beraktivitas kala gelap. Seperti juga keindahan yang hanya bisa dinikmati saat hilang cahaya.  Ekor kunang-kunang dan sinar rembulan di antaranya. Ketiadaan teranglah inspirasi bagi ilmuwan sehingga temukan sumber cahaya buatan. Gelap adalah induk terjadinya embun, akibat suhu lembab sebab beralihnya matahari ke belahan bumi lain. Embun hanya muncul selepas gelap. Bolehlah kuberharap, ada setitik embun itu selepas gelap berlapis-lapis dalam hari-hariku.

Nada dering telepon masuk terdengar seperti alarm, meski sudah kualihkan dalam mode getar. Hal paling sulit selain waria lari dari patroli Satpol PP, bagiku  mengangkat telepon dari simbok, perempuan yang namanya tercantum sebagai ibu, dan dalam gendongannya aku terlelap. Tapi dia bukan perempuan yang kupanggil mama. Dia simbok, dan aku anak dalam KK meski sebenarnya, aku bukan anaknya. Kudekap Vero, agar hangatnya sama seperti yang kurasakan saat dulu aku dalam dekapan simbok. Ia terlelap lepas kenyang menyusu.

Panggilan kelima. Teror di malam-malamku, buatku menggigil. Terang lampu LED di apartemen, sepertinya tak lebih baik ketimbang oblik yang menyala di atas meja besar di ruang dapur ndesa. Aku mendesah. Lama sudah kupupus pucuk-pucuk rindu yang tumbuh, agar urung berbunga juga berbuah. Pilihanku malam ini, menyudahi teror, agar selanjutnya aku menikmati tidur lelap.

“Hallo…” suaraku kubuat besar, tak gentar. Meski dalam hati aku akui gugup itu menyelip dari dalam tanah, mengendap-endap.

“Halo! Halo! Ndhuk…halo! Ini simbok, Ndhuk!!” suara yang tak pernah bisa kulupakan, dia selalu berbicara seperti memakai toa. Menyahutinya seperti tidak mungkin karena pita suara yang tiba-tiba menghilang. Serentetan pertanyaan macam apa kabar, bagaimana keadaanmu, apa benar kamu punya bayi, siapa ayahnya…ah, semua itu berebut muncul.

Ingin mereguk ludahku, seperti barusan gerimis, namun tak ada rasa basah, telah tertelan pasir kemarau. Yang terasa adalah bola-bola coklat panas sebesar globe tertahan di kerongkongan. Kupandangi wajah Vero, malaikat kecil yang kini terlelap di atas ranjang. Aku keluar kamar, rasanya tak ingin Vero menerjemahkan getir dalam suaraku.

“Dari mana Simbok tahu?”

“Teman-teman SMPmu yang bilang, mereka kasih lihat fotomu dan bayimu…” Simbok tersedu-sedu. Tangis itu, silet tertajam yang pernah melukai jiwaku setelah kenyataan bahwa aku cucu simbok, bukan anak bungsunya. Aku tahu, teman-teman SMPku pasti melihat dari facebook dan instagram.

“Bayi itu anakku, Mbok…” jelasku, tak kalah gagah dengan arek-arek Suroboyo keluar dari beteng, berdiri di atap hotel Yamatto, berteriak menantang kompeni.

“Lalu dengan siapa kamu menikah, Ndhuk…kenapa kamu tidak mengabari simbok?” satu peluru kompeni menembak  tepat di ulu hati.

“Dia memang mau menikahiku, Mbok…tapi aku tidak mau!” jawabku, sedingin puding dalam freezer.

“Ealaah…la terus bagaimana nasib anakmu itu? Bagaimana nasibnya kelak, statusnya bagaimana…” keluh simbok, setengah meratap. Aku tahu, simbok tak bisa lagi memaknai rasa malu, saat mamaku dulu melahirkan aku di hari pernikahannya, dan ayahku, tak pernah datang untuk acara ijab kabul, dan memang tak pernah ada ijab kabul itu di rumah simbok.

Hanya ada bayi merah di tengah gempita pesta pernikahan yang usai sebelum akad nikah.

“Seperti aku, Mbok…status Vero, anak bungsu kakek dan neneknya.” Setitik air akhirnya meluncur pula di pipi, menyusul bulir-bulir yang tak mau berhenti. Aku tak mau menahannya berlama-lama.

Di seberang sunyi.

“Simbok tidak usah khawatir…” aku menutup teror malam itu dan malam-malam selanjutnya. Aku ingin Jakarta esok hari tetaplah sama. Menenggelamkan aku dan Vero dalam kemesraan berdua. Aku tahu, keberadaannya kini, adalah tumpuan hidupku. Alasan kenapa aku masih sanggup menantang dunia. Dari lantai tiga puluh dua, kulayangkan pandang ke luar kaca. Di sana tak ada kesedihan, hanya ada ribuan cahaya indah dalam setiap ritme gelap. Kututup tirai, selagi ingatan kejadian malam itu kembali tergambar jelas dalam layar memoriku, saat aku berada di antara keluarga besar Juan dan keluarga besar istrinya. Juan ingin menikahiku, dan aku tahu istrinya telah amat terluka sebab kehadiran aku dan bayi dalam kandunganku, terlebih pernyataan Juan tentang cintanya kepadaku. Aku menggeleng.

 

***

 

Lelah, setelah tadi kuajak Vero main ke mall membeli baju dan keperluannya yang lain. Kuantar dia ke baby spa. Dia menikmati acara renang di air sejuk. Lantas ia terlelap setelah hampir setengah jam dipijit. Vero tertidur, aku pun ikut menikmati spa dan pijat relaksasi. Rasanya ini yang paling aku perlukan setelah semua rutinitas aku jalani sendiri sebagai single parent. Aku tidak mengeluh sebab inilah yang kuinginkan, saat ini. kubuka laptop, mengecek semua proyek promotor yang tengah kukerjakan selama seminggu ini dari kamar.

Dari dunia maya, aku bisa makan dan punya apartemen, juga membeli semua keperluan Vero. Ya, aku bisa. Dan aku benci, bila Juan datang hanya ingin pamer belas kasihan. Seperti saat ini, ia tiba-tiba telah ada di balik pintu. Tanpa berkata-kata aku membuka pintu, lalu menutupnya begitu Juan masuk dengan segerobak belajaan.

“Aku baru saja belanja semua keperluan aku dan Vero…” ujarku selengang jalan-jalan protokol selepas jam sebelas malam. Juan menarik napas panjang, mungkin ia masih dongkol sebab aku sengaja menolak pelukannya tadi, saat aku membuka pintu.

“Kamu selalu saja begitu, Dissa…bisakah kamu menghargai aku sebagai kekasihmu, dan ayah dari Vero…yang setiap menit aku lalui tanpa kalian, aku sangat rindu itu…” cecarnya seperti air yang tiba-tiba muncrat dari pipa bocor. Aku melengos.

“Tuan…menghargai? Bisakah kamu menghargai bagaimana aku mencintaimu dan ternyata kamu sudah beristri…dan meski semua keluarga besarmu inginkan Vero, tapi mereka tak pernah menginginkan aku!” teriakku tertahan.  Nafasku mulai ketarik-tarik. Dia menatapku begitu, kupikir itu iba. Entah dia menamainya apa.

“Dis…kamu jangan pernah meragui cintaku, Dis…”

Bagiku itu lucu.

“Dis, kalau saja kamu mau menikah denganku, dan kita bisa serumah setiap saat…”

“Tidak akan, Juan!”

“Aku tidak tahan harus jauh dari Vero…”

“Kamu egois, kamu punya orang tua, kamu punya istri cantik, punya mertua kaya…tapi kamu masih juga menuntut aku melakukan semuanya demi kamu!” Juan geleng-geleng kepala.

“Kamu tahu, Dis. Elena tak akan pernah bisa punya keturunan…”

“Itu bukan urusanku, Juan. Dan kita, tidak usah mempersoalkan lagi. Biarlah semua begini.”

Juan meletakkan kepalanya di sofa. Matanya terpejam.

Ah, maaf, Juan…aku tahu aku terlalu. Tapi harus begini. Meski aku tidak akan pernah lupa bagaimana dahulu kamulah yang menyelamatkan hidupku. Seorang Dissa, yang datang dari desa ke Jakarta. Ingin mencari rumah mama kandungku, namun aku justru diusir dari rumah keluarga suaminya. Kala aku terlunta di jalanan, sebagai anak semang, Juan adalah pelanggan terakhirku, sebelum kami resmi pacaran dan ia mengajariku bisnis lewat dunia maya. Semua kulakukan dari warnet, kontrakan, hingga sekarang aku bisa beli apartemen. Otodidak, aku belajar dunia programmer dan web design, pada akhirnya itulah ladang rezeki halalku. Aku menggenggam jemarinya penuh perasaan, kasih Juan padaku, barangkali paling tulus di dunia ini. Bagaimana  aku bisa membuatnya bersedih. Setitik air di sudut mata itu, aku tahu lahir dari mata air jiwanya yang jernih.

“Aku tahu aku salah, pernah hadir dalam kehidupan kalian…” aku legowo mengakui ini, meski bukan begitu ceritanya.

“Tidak, kau tidak salah, Dis. Pertemuan kita dulu, telah direncanakan oleh-Nya. Bukan tanpa sebab. Aku percaya itu. Lantaran kamu, Dis…aku berhenti dari jalan sesat itu…seperti kesadaran, sayang yang muncul kala kita bertemu malam itu…” Juan menggeleng takjub.

Aku menunduk.

“Sama, Juan…” tak cukup kata untuk melontarkan rasa terima kasihku untuk Juan. Dan, berjuta-juta kilometer jarak pemisah antara rasa dan kenyataan, membuatku merasa kembali terasing di ujung dunia yang lain.  Ujung yang tak kunjung terambah sinar matahari, meski hanya pantulan saja.

“Dis, ini mungkin terlihat tidak adil untukmu…tapi, ini mungkin baik untuk Vero di masa yang akan datang…” ucap Juan hati-hati, seperti meniti tali di atas arus sungai yang amat deras dan batu cadas di bawahnya. Aku menatapinya selapar anjing pelacak, mengendus bau kecurangan yang tersamar.

“Kamu bisa melepasnya seperti induk burung melepas anaknya belajar terbang. Ia tak terbang sendiri, hanya…terbang lebih jauh, lebih tinggi, bersamaku…dan keluarga besarnya… dan kamu, bisa terbang kemana pun yang kamu inginkan…seperti cita-citamu dulu, sampai ke negeri lampion. Dengan terbang lebih tinggi, kamu bisa memastikan lampion itu sampai ke tujuan!” ujar Juan, dan aku tahu maksud dia.

“Tidak lagi, Juan. Dan aku tidak akan terbang ke mana-mana. Aku sudah bisa berpijak di sini, asalkan Vero dalam dekapanku. Dan kamu tahu jawaban untuk permintaan itu.” jawabku lugas. “Vero hanya akan bersamaku! Tidak yang lain!” tegasku. Sepenuh itu keyakinanku, sebab aku sendiri rasakan nelangsa  hidup tak bersama mama, tak pernah tahu siapa nama ayahku. Membayangkan saja tak bisa.

“Aku ayahnya, Dis…kamu akan perlakukan dia seperti kamu, yang hingga sekarang merasa tersesat, sebab tak bisa pulang ke pangkuan ayahmu, meski kamu amat merinduinya…” Juan memukulku telak. Aku mengelak dan menemukan langit Jakarta yang kelam sebab hujan deras sepanjang hari ini. Dan mungkin menghanyutkan diri dalam banjir adalah pilihan, bila aku tak di gedung apartemen penjamah langit ini.

“Elena tidak akan pernah menyukai Vero, karena kehadiran Vero, ia jadi kau nomor tigakan setelah aku dan Vero. Itu tidak akan pernah adil bagi dia! Dan aku tidak mau lama-lama ia menyakiti Vero…” ujarku miris, membayangkan sesuatu yang buruk.

“Elena tidak seperti itu…”

“Karena kamu masih punya perusahaan, punya ayahmu yang kaya raya…”

“Dissa!!!”

“Apa?! Juan…di dunia ini, tidak ada orang yang mau hidup dalam ketidakenakan. Jika boleh memilih, pasti hidup bahagia seperti di negeri dongeng itu impian setiap orang. Tapi bukankah kita selalu berjarak dengan dunia idealisme dan impian!”

Juan menatapku dalam diam. Miris.

 

***

 

Vero kian menggemaskan. Ia kerap dilirik para produser untuk jadi bintang iklan baby. Kupertimbangkan itu sebagai satu kebanggaan. Lalu satu dua tawaran kuterima, sebab skenarionya memungkinkan untuk hal itu. Semua acting harus natural. Jadi seharian—tepatnya berhari-hari apartemenku dipenuhi kamera, tripod, kabel-kabel, dan lampu sorot berbagai ukuran. Yang jelas, konsepnya homy, dan baby tetap nyaman.

Itu tawaran terakhir, sebelum aku kemudian menolak penawaran mereka. Mana benar, bila Vero dijadikan komoditas, tidak! Aku kembali memeluknya erat. Ia meronta, lantas aku sadar, memeluk terlampau erat, pun tak disukai oleh bayi—meski itu ungkapan sayang. Aku terhenyak. Aku menjerat Vero dalam perangkat yang kubuat sendiri.

Air mataku berderai-derai.

 

***

 

Simbok menelepon, minta pinjaman uang, untuk membayar hutangnya di koperasi dasawisma. Simbok juga bilang ingin bertemu dengan anakku, dia bilang ‘buyut’ itu harus dipertemukan. Ia ingin aku pulang ke Jogja lebaran nanti. Aku tidak mengatakan apa pun, lantas bagaimana orang kampung mengataiku, yang di mata mereka aku tak lebih dari najis. Apa yang masih kurang, aku terlampau cantik, untuk ukuran orang kampung. Mereka bilang aku mirip ayahku.

“Mamakmu sekarang di Jogja…perusahaan tempatnya kerja bangkrut. Mamakmu kena PHK. Simbok bingung, harus bagaimana, Ndhuk…sementara kamu tahu, rumah kita kecil, kalau mau bikin rumah lagi, tanahnya juga tidak ada…” kata simbok, membuatku merinding. Setua ini, simbok harus dihadapkan pada anak-anaknya yang tak kunjung mapan, dan selalu bermasalah.

Mbok…jika di sampingku, aku akan memeluknya, memijit lengan dan kakinya, tak kan kubiarkan simbok menderita.

“Kenapa tidak ikut suaminya?”

Simbok mendesah.

“Mamakmu telah bercerai…”

Aku ternganga.

“Kenapa begitu, Mbok…”

 

***

 

Gelap sebab hilangnya penerangan, menjebak selamanya. Jadi penjara. Dengan lampion di tangan pun, aku masih tersesat. Cahaya saja tak cukup. Lebih dari itu, butuh keberanian menerjang gelap dengan mata terpejam. Itu lebih baik. Kulepas lampion itu di langit kelabu. Kubiarkan ia tersesat!

 

 

***

 

 

         *Siwi Nurdiani, seorang perempuan aktivis muda NU Kulon Progo. Berkhidmah merawat grassrootNahdhiyyin di gugusan perbukitan menoreh, wilayah kecamatan Girimulyo, dataran tinggi sisi utara wilayah kabupaten Kulon Progo. Pengurus bidang sosial budaya PC Fatayat NU Kulon Progo. Termasuk penulis asli Kulon Progo yang produktif. Kontributor di portal mubaadalah.co. Tulisan-tulisannya telah menyebar di berbagai media. Novelnya yang telah terbit, Sihir Negeri Pasir dan Gumam Tebing Menoreh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here