< 𝟰. 𝗠𝗼𝗼𝗿𝗲 𝗛𝗮𝗹𝗹 >
Pagi di hari Jumat bukanlah hari yang menyenangkan buatku. Meskipun esoknya adalah hari Sabtu dan Minggu yang berarti aku bisa bermalas-malasan di kamar seharian. Hari Jumat buatku adalah hari paling menyeramkan. Karena aku harus masuk ke kelas Language Teaching Assessment di gedung Moore Hall, tempat kuliah untuk Fakultas Linguistik dan Asian Studies.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan mata kuliah ini. Malahan, ini adalah salah satu mata kuliah penting buat mahasiswa Second Language Studies kayak aku. Dosennya juga seorang professor linguistik senior, Prof. Ruth Christopher. Usianya kira-kira lima puluh tahunan.
Tapi, masalahnya adalah aku yang keteteran di dalam kelas. Telingaku masih juga belum bisa disetting roaming sehingga bisa dengan mudah memahami penjelasan sang professor yang berasal dari Jepang itu. Setiap aku mendengar ia berbicara, aku seperti mendengar artikel jurnal berbahasa Inggris yang sedang dibacakan dengan cepat.
Itulah kenapa, ketika melangkah ke gedung Moore Hall aku selalu merasa seakan-akan mau maju ke medan perang. Dadaku sudah berdetak tak karuan. Mulutku tak berhenti merapal al-fatihah karena hanya ini yang aku bisa untuk menenangkan diri.
Jarak Hale Manoa dan Moore Hall hanya empat menit dengan berjalan kaki. Ini salah satu keuntungan tinggal di Hale Manoa. Karena posisinya yang terletak di lingkungan kampus, semua bagian kampus bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Kecuali untuk gedung yang lokasinya jauh, seperti gedung fakultas science, sudah ada shuttle bus yang bisa mempercepat jarak tempuh.
Kelas Prof. Ruth ini diikuti tidak hanya mahasiswa S2 tapi juga mahasiswa S3. Satu kelas cuma sepuluh orang. Kami duduk di atas kursi lipat yang dilengkapi dengan meja mengelilingi tepian ruang kelas. Dengan model kelas kecil seperti ini, Bu Ruth bisa dengan mudah mengenali kami, lebih-lebih siapa yang aktif atau tidak. Di sinilah lagi-lagi aku merasa tersiksa.
Dan, perasaan dan suasana kelas yang semacam ini terus berulang setiap Jumat pagi.
Sepuluh menit pertama, Karl yang duduk di sebelahku mengangkat tangannya. Ia bertanya bagaimana menghubungkan antara validitas assessment melalui soal-soal dengan tingkat pengetahuan yang diperoleh murid ketika mempelajari bahasa.
Setelah Karl, Sandra, Tiffany, dan Leon mengemukakan pendapat mereka menanggapi pertanyaan Karl. Aku meruntuk dalam hati. What can I say? Dadaku semakin berdetak keras.
Bu Ruth melanjutkan penjelasan, sambil sesekali disela oleh pertanyaan atau tanggapan dari mahasiswa yang lain. Aku paham apa yang mereka utarakan, dan sebagian hanya menjelaskan pengalaman mereka ketika menghadapi soal ujian. Satu hal yang sebenarnya bisa juga aku lakukan.
“Any other questions?”
Kelas hening. Beberapa orang hanya saling melempar pandang.
“I have a question, Prof.”
Akhirnya aku memberanikan diri mengangkat tangan.
“I teach students with disability back home in Indonesia. I teach English and Bahasa Indonesia. I think it is interesting to know that language assessment can be implemented to assess student’s intelligent and to know whether they understand my teaching or not. You know, language is sometime difficult to measure, especially for students with disability. And … And …
“Okay, Annisa, what is your point? Sorry, I don’t get what you wanna say.”
“Owh …”
Aku tercekat. Bibirku mendadak terkunci. Aku merasakan hawa panas mengaliri permukaan wajahku. Detik itu rasanya aku ingin melarikan diri dari medan perang, terbang kembali ke kampung halamanku di Serang.
“What is your question, Annisa?”
“I mean … “
Kalimatku terhenti oleh suara bel tanda kelas berakhir. Bu Ruth kemudian mengatakan kalau aku bisa menjelaskan lagi pertanyaanku minggu depan. Aku mengangguk. Dan, seisi kelas menghambur keluar.
Aku berjalan gontai menelusuri lorong gedung Moore Hall sayap jalan Maile Way yang penuh lalu lalang mahasiswa. Angin sepoi di balkon gedung yang menggoyang ujung rambut sebahuku tak juga membuatku merasa lebih baik. Aku merasa menjadi mahasiswa paling bodoh di santero jagat ini. Benar-benar tidak bermutu.
“Hi Annisa, done with your class?”
Aku menoleh, menemukan senyum manis si mata sipit. Dadaku berdesir. Perih di hatiku perlahan menguap. Paling tidak, masih ada yang manis dari pengalamanku hari ini. Yaitu, bertemu Seojun.
“Ya ya, are you going back to HM?”
Ia mengangguk, dan kami pun turun dari lantai tiga menggunakan lift.
“Mmm, do you have sometimes to have coffee or tea?”
“Mmm, ya boleh,” ia menjawab dengan cepat. “Lama juga kita nggak ngobrol. Mau di dapur lantai 9 atau di dapur lantaimu?”
“Di lantai 3 saja ya.”
Seojun mengangguk.
Aku menyimpan senyum dalam hati. Seumur-umur aku tinggal di Hale Manoa, aku belum pernah menikmati kopi atau teh bersama Seojun, berduaan. Biasanya selalu beramai-ramai dengan Salwa, Maria, dan Norman. Kami semua mengenal Seojun melalui Salwa. Ia yang membawa masuk cowok manis ini ke dalam group kami.
Kami sampai di halaman belakang Hale Manoa, di sebelah pohon besar yang memayungi tempat duduk permanen berbentuk setengah lingkaran. Ketika dari arah pintu masuk Hale Manoa, Salwa tiba-tiba muncul membawa trolly belanja. Jilbab pinknya tampak berkibar.
“Hai Salwa, mau ke mana?”
Seojun menyapa. Salwa mendekati kami.
“Ikut aku yuk ke Safeway. Berasku habis.”
Seojun tampak bingung. Menatapku dengan perasaan bersalah.
“Please, I can’t carry 10 kg of rice. Too heavy!”
Aku tiba-tiba merasa patah hati. Aku tahu Seojun akan memilih siapa.
“It’s okay, Seojun. We may have coffee next time.”
“Are you sure?”
Aku mengangkat bahu.
“Makasih ya, Nis. Atau yuk ke Safeway sekalian?”
Aku cuma mengacungkan jempol, kemudian berlalu meninggalkan Salwa dan Seojun dengan perasaan sedikit tak enak.
Salwa mungkin tidak menyadari kalau teman baiknya itu sudah mengusik tidur nyenyakku minggu-minggu belakangan ini. Dan pastinya Salwa juga tidak tahu kalau di sela-sela rasa takutku untuk berangkat ke Moore Hall, aku merasa bahagia karena biasanya aku akan berpapasan dengan Seojun yang sama jurusan denganku.
Sekarang yang ingin aku lakukan cuma menangis sekeras-kerasnya di dalam kamar.
*Isma Kazee adalah penulis novel dan pengurus PW Fatayat NU DIY. Sekarang sedang menyelesaikan studi doktor di Leiden University