𝗗𝗮𝗽𝘂𝗿 𝗟𝗮𝗻𝘁𝗮𝗶 𝟲
Pagi itu Salwa terbangun pukul 07.00 pagi oleh suara telepon kabel di kamar.
Pesawat telpon kuno yang diletakkan di tepi meja belajar yang bersebelahan dengan tempat tidur. Ia berwarna krem dengan tali penghubung gagangnya yang melingkar-lingkar. Di bagian permukaan terdapat tombol-tombol bernomor yang berwarna hitam. Pesawat telponnya memang tampak kuno, tapi suaranya nyaring bukan kepalang.
“Good morning, Honey.”
Salwa tersenyum. Matanya belum sempurna terbuka. “Ish ish, lebay. Ngapain nelpon?”
Salwa turun dari tempat tidur, duduk di kursi coklat lebar yang bisa berputar.
Terdengar tawa dari seberang. “You asked me to wake you up every morning, right?”
“Yeaah, but not this morning ya. I just slept few hours after Subuh prayer.”
“Ohh I am so sorry. You should inform me last night,” suara di seberang terdengar menyesal. “How are you now, do you wanna sleep more?”
“I wish, I could. I have a class at 09.00 am.”
“Owh. Do you have food to eat?”
Salwa tersenyum. Mendengar pertanyaan yang ia tunggu-tunggu. “Enggak. Kamu punya makanan?”
“Ada. Malah sudah aku masukkan ke kulkasmu. Tinggal kamu panasin.”
Salwa tersenyum lagi. Ada yang meleleh di hatinya. “You are so sweet!
“Ah you are lebay!”
Mereka lalu tertawa bersama.
“Get up. I am going to class. See you around!”
Salwa meletakkan gagang telpon dengan sisa senyumnya. Kata lebay sudah jadi kosakata mereka berdua.
Ia bangkit dari kursi, melihat keluar jendela, menyentuh ujung pohon-pohon di perbukitan manoa dengan pandangannya. Lelah lemburnya yang semalaman hilang seketika. Apa lagi kalau bukan karena sapaan pagi yang menyentuh hati. Cowok bermata sipit satu itu emang selalu bisa diandalkan.
Salwa lalu membuka WhatsApp-nya, dan menemukan satu pesan dari Kafka. Sebuah quote, sebagaimana biasanya:
“Satu bangsa yang kokoh akan hancur jika wanita-wanitanya tak berakhlak dan melampaui batas.”
Salwa diam sejenak. Mood bahagianya tiba-tiba jadi menguap entah ke mana. Andai saja quote itu bisa diganti dengan kalimat-kalimat lebay menyentuh hati, mungkin bisa membantunya memulai hari dengan bahagia. Bukan dengan rasa takut dan kekhawatiran.
Tapi, ia toh tetap membalas pesan Kafka dengan kalimat yang baik.
“Makasih Gus, selamat pagi. “
Balasan terkirim. Harus berupa kalimat. Karena jika cuma balasan icon, Salwa akan mendapat balasan ceramah karena tak menghargai quote yang dikirimkan.
Salwa mulai berkemas.
Tak perlu waktu lama baginya membereskan tempat tidur, menyelesaikan bisnis di toilet, ganti baju, dan mengecek isi ransel. Semua bisa ia kerjakan dalam waktu lima belas menit. Lalu, ia melangkah keluar dari kamarnya menuju dapur lantai enam dengan menuruni anak tangga.
Dapur lantai enam menghadap ke arah Diamond Head. Berupa dapur besar yang terbuka tanpa jendela. Kitchen cabinet menempel di sekeliling dinding dapur, ada yang di atas dan di bawah.
Tiga buah kompor listrik terletak berjajar di tengah-tengah dapur, dan satu kompor berada di ujung ruangan menyatu dengan dinding. Masing masing kompor memiliki empat tungku berupa besi yang melingkar-lingkar seperti obat nyamuk.
Pagi hari adalah jam sibuk. Dapur pasti akan selalu ramai. Segala macam jenis makanan untuk sarapan diolah dan disajikan langsung oleh chef dadakan dari berbagai negara.
Dan, ini hanya terjadi di Hale Manoa. Asrama yang berkapasitas 400 orang ini ditinggali oleh mahasiswa yang berafiliasi dengan East West Center dari negara-negara di belahan dunia.
Salwa baru akan menyuap sesendok nasi goreng buatan si sipit ketika Maria tiba-tiba muncul dari pintu yang menghubungkan dapur dengan lorong luas tempat kulkas-kulkas.
“Ih, gue telpon-telpon nggak diangkat sih.”
Ia mendekat dan dengan cekatan menarik sesendok suapan di tangan Salwa ke mulutnya. “Enak banget. Lu yang masak?” katanya sambil mengunyah.
“Bukan.”
“Siapa?” Maria mengejar. “Oh, gue tauk, si sipit yak?”
Salwa mengangguk, tersenyum. “Ngapain kamu ke sini?”
“Gue sebel. Semalam istri Norman telpon gue lagi. Mana sambil marah-marah.”
“Apa dia bilang?”
“Nuduh aku udah mempengaruhi Norman. Malah katanya aku ini pelakor.”
Salwa menghentikan kunyahannya. Mendengarkan Maria mengeluarkan amarahnya.
Salwa sudah mendengar kabar tentang persoalan rumah tangga Norman sejak bulan Juli yang lalu melalui Maria. Awalnya hubungan Norman dan istrinya baik-baik saja. Bahkan, jelang keberangkatan ke Hawaii, istri Norman ikut melepas kepergian suaminya di bandara. Mereka berdua menangis karena akan berpisah untuk waktu yang tak sebentar.
“Awalnya kayaknya karena Norman jarang menghubungi istrinya,” kata Maria. “Yang biasanya setiap hari, jadi tiga hari sekali, lalu seminggu sekali.”
“Kenapa?” tanya Salwa waktu itu.
Mereka bercakap-cakap di halaman belakang Hale Halawai, selesai acara pertemuan antara mentee dan mentor untuk program mentoring program East West Center.
“Hmmm, nggak cocok katanya.”
“Maksudnya? Mereka sebelumnya baik-baik aja kan?”
Maria berpikir. “Susah njelasinnya. Lu belum pernah menikah sih.”
“Ya makanya jelasin. Gini-gini aku sudah mau nikah, nih,” Salwa menunjukkan cincin di jari manisnya. “Aku sudah tunangan.”
“Hubungan suami istri itu dinamis, pasang surut, dan berubah-ubah. Tergantung konteks dan situasi. Nggak jaminan kalau awalnya baik-baik, akan terus bisa seperti itu. Apalagi kalau keduanya berjauhan. Gue aja yang serumah bisa pisahan.”
Salwa menarik napas panjang, Rumit. Ia bisa memahami maksud Maria. Ia yang baru tunangan saja sudah rumit, apalagi yang sudah menikah.
Lalu, istri Norman berusaha mencari tahu lewat teman-teman Norman yang ada di Manoa. Salwa juga pernah dihubungi, dua atau tiga kali. Salwa ditanya apakah pernah bertemu Norman, apakah bisa menyampaikan pesan ke Norman untuk menghubungi keluarganya. Tapi, Maria yang lebih sering dihubungi. Norman memang lebih dekat dengan Maria dibandingkan dengan tiga teman seangkatannya yang lain.
“Maria, sebentar,” Salwa menahan tangan Maria yang hendak mengiris telor mata sapi memakai sendoknya.
“Yaelah, sedikit doang gue minta telornya napa!”
“Bukan soal telor. Aku mau nanya, tapi kamu jangan tersinggung ya.”
“Apaan sih, serius amat!”
“Hmmm, kamu sama Norman, temenan aja kan? Atau …”
Gerakan tangan Maria terhenti. Ia mengetuk-etukkan sendok di tangannya ke piring, membuat bunyi ketukan yang pelan. Ia tampak berpikir.
Salwa diam menunggu. Mereka saling bertukar pandang.
Maria akhirnya mengangkat bahu. “Udah ah, aku cabut dulu. Aku ada kelas nih Jam 09.00.”
“Maria, jawab dulu pertanyaanku!”
Maria cuma mengedipkan mata. Ia segera beranjak, membuka pintu dapur yang berwarna krem dengan kaca besar di bagian tengah. Ia berlari, membiarkan pintu itu menutup sendiri.
Salwa menatap punggung ibu beranak dua itu menghilang di belokan balkon Hale Manoa.
*Isma Kazee adalah penulis novel dan pengurus PW Fatayat NU DIY. Sekarang sedang menyelesaikan studi doktor di Leiden University
Keren cerbungnya… 😍