SEBUAH BUKU

Bagaiamana aku bisa melupakan tatapan itu dan suaranya yang kian detik kian melintas dalam diriku. Tak mungkin aku mengungkapkan perasaan ini, karena itu akan mengganggu kebebasan dia untuk melakukan sesuatu. Apalagi tak lama aku akan pergi dan jika aku kembali apakah perasaan ini akan sama, atau sosoknya pun tetap sama. Memang lebih baik cinta ini cukup di hati.

Melihat dia berlari menerjang hujan dan angin cukup kencang hati ini terguncang. Mobil ku hentikan, hatiku beranikan, mulailah aku memangilnya dan melindungi dia dari derasanya hujan.

“Mas Wafa, njenengan,”

Hati ini ndredeg ketika mulut mungilnya memanggil namaku, suaranya lembut tapi terdengar jelas padahal bersahutan dengan suara hujan. Payung kecil yang kubawa membawa kami berdiri bersama, terdiam sesaat dan aku menangkap tatapannya yang walau sekejap, kemudian kupinta dia masuk mobil.

Ndredegnya hati ini luar biasa ku rasakan, mencoba menenangkan diri dengan membaca sholawat, karena aku sadar betul kalau saat itu Allah menguji hati ini, hati yang sedang menerima anugerah yang bernama cinta.

Ya, sekarang aku mengakui hal yang sempat membuatku ragu. Sebenarnya aku orang yang hati-hati dalam memandang perempuan, selalu mengelola hati untuk tidak sembarangan jatuh hati. Bertemu dengan Hilda, membuat saya kewalahan menata hati ini. Semakin menolak menerima perasaan ini, semakin sering aku bertemu dengannya, semakin ndredeg hati setiap menatap wajahnya.

“Tunggu, jangan lupa segera hangatkan diri, bila perlu minum jamu supaya tidak masuk angin.”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku, kulihat dia hanya mengangguk, namun anggukannya membuat tenang hatiku. Setelah Hilda meninggalkan mobil beberapa saat aku masih terdiam menghela nafas dan menata perasaan, aku tak mau siapapun tahu tentang perasaanku, apalagi Mas Imam atau Mba Amirah.

Aku menoleh ke belakang, di mana Hilda beberapa saat duduk di jok itu, handuk yang ku berikan hendak aku ambil, namun “lho, di mana handuknya?”

***

Sepulang dari toko buku, Hilda mengumpulkan pakaian kotornya dan membawanya ke belakang untuk segera dia bersihkan. Satu persatu pakaian dimasukan ke dalam ember besar, kemudian terhenti saat melihat handuk biru yang dia pegang. Segera handuk itu dia masukkan ke dalam ember.

“Bagaimana bisa aku mengambil handuk Mas Wafa, bagaimana pula aku akan mengembalikannya?”

***

(bersambung)

______

Mohon Maaf, untuk Kisah Hilda kami hapus dari web, karena sudah masuk proses Edit untuk diterbitkan dalam bentuk Novel.

Teruntuk Sahabat Pecinta Kisah Hilda, penulis haturkan terima kasih sudah berkenan membaca kisah Hilda, dan tunggu kehadiran kisah Hilda dalam bentuk Novel pada awal tahun 2020.

Salam Cinta untuk Semuanya.

*Oleh: Muyassaroh H, asal Panguragan Cirebon. Saat ini menetap di Wonocatur Baguntapan Bantul. Bersama keluarga kecilnya Ia menemani anak-anak di TPA Masjid Az-Zahrotun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here