Oleh Yuyun Sri Wahyuni*

 

Saat ini banyak pertanyaan dari teman-teman perempuan saya mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sebagian dari mereka bertanya ketika ditawari teman mereka lainnya untuk menandatangani petisi yang diinisiasi Bu Maimon.

Masa di mana Indonesia sekarang disebut dalam kondisi literasi digital yang rendah, saya menghargai keinginan mereka untuk lebih memahami apakah itu RUU PKS. Alih-alih mencari tahu, sebagian besar dari kita kebanyakan tidak mau repot-repot membaca RUU PKS sebelum menandatangani petisi tolak RUU tersebut. Selain itu, kita juga sangat mudah terprovokasi oleh berbagai timeline yang beredar secara online mengenai RUU PKS yang dikatakan mendukung perzinaan, LGBT, aborsi, dan hal semacam. Kemudian memilih untuk tidak berempati kepada sesama perempuan dan menolak upaya perlindungan yang diinisiasi atas hak-hak kita sendiri; perempuan.

Saya kemudian bertanya-tanya, mengapa perempuan seperti Ibu Maimon bisa menginisiasi sebuah petisi penolakan RUU yang disambut sedemikian rupa oleh banyak orang dengan turut membubuhkan tanda tangan? Sementara mereka belum memahami benar duduk perkara di dalam RUU tersebut. Mereka belum memahami seutuhnya bahwa RUU PKS adalah sejatinya sebuah upaya serius untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan termasuk pelecehan seksual. Sebagaimana diungkap oleh data kasus-kasus yang selama ini terjadi pada perempuan. Tak jarang justru pihak perempuan sebagai korban malah kemudian menjadi pihak disalahkan (salah satu contoh, kasus ibu guru Baiq Nuril).

Lalu saya teringat sebuah buku lama, Gendered Lives: Communication, Gender, and Culture (2009) tulisan Julia T. Wood yang menceritakan bahwa di Barat tempat ia besar, tinggal, dan kemudian bekerja sebagai profesor di bidang komunikasi, gerakan feminisme begitu ditakuti oleh perempuan karena anggapan-anggapan salah dan sejarah yang tidak lengkap beredar selama ini. Anggapan-anggapan salah yang beredar tersebut meyakini bahwa feminisme mencari pembebasan dari dominasi dan penguasaan laki-laki dan selanjutnya sebaliknya, menguasai laki-laki. Dr. Wood lebih lanjut menjelaskan di dalam buku ini dengan sangat luas bahwa disadari atau tidak, dalam cara-cara kita berkomunikasi, berbudaya, berpolitik, bahkan dalam cara kita hidup, kita selalu membeda-bedakan dengan tidak adil perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Ketidakpahaman ini yang membuat sebagian besar orang termasuk perempuan, begitu ketakutan untuk diasosiasikan dengan feminisme. Lalu serta merta menolak perjuangan kaum perempuan untuk mewujudkan dunia yang lebih adil.

Dalam konteks Ibu Maimon dan mereka yang menolak RUU PKS di Indonesia, saya menganalisis bahwa jika penolakan RUU tersebut berasal dari kaum perempuan, maka ada ketakutan pada diri perempuan yang begitu besar untuk keluar dari pemahaman masyarakat atas diri mereka sendiri. Bahkan ketakutan itu lebih besar daripada keinginan mereka untuk menjadi manusia merdeka, menjadi khalifah seutuhnya yang harus melindungi sesama. Sedangkan jika yang menolak laki-laki, maka sangat mungkin mereka khawatir bahwa zona nyaman entitas yang merasa punya kedudukan lebih tinggi dari perempuan menjadi terganggu.

Dari banyak penolakan yang beredar disebutkan bahwa salah satu alasan penolakan RUU PKS ini karena terdapat pasal yang menunjukkan bahwa istri memiliki ruang untuk bersedia atau menolak melayani suami di ranjang. Alasan penolakan ini berangkat dari pemahaman mereka atas konsep hubungan suami istri yang konservatif. Tidak setara. Jauh dari kesalingan. Suami istri dalam bayangan mereka ini bukanlah pakaian (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn—mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka) yang saling melindungi, menjaga, mengasihi, dan mencintai. Saling memberikan manfaat, maslahah, dan berkah, tidak hanya bagi diri mereka dan anak-anak, tetapi juga untuk lingkungan masyarakat secara lebih luas.

Suami, dalam pemahaman mereka adalah laki-laki yang begitu berkuasa dan superior. Sehingga, ketika istri menolak untuk digauli karena berbagai kondisi seperti sakit, sedih, takut, dan hal semacam, suami berhak murka dan selanjutnya malaikat memurkai istrinya tersebut sepanjang malam. Sebagaimana tertera dalam hadis yang mereka jadikan pegangan secara mentah-mentah. Padahal, jika seorang suami benar-benar mencintai istrinya, ia tidak akan tega istrinya dimurkai oleh malaikat sepanjang malam.

Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya”. Kita dapat memaknai dari hadis lembut ini bahwa suami yang baik akhlaknya terhadap istri pasti tidak menginginkan malaikat memurkai istrinya, hanya karena tidak dapat melayaninya saat itu. Sehingga alasan agama dan moralitas yang digunakan untuk menolak RUU PKS merupakan alasan yang mengada-ada. RUU PKS adalah sebuah instrumen penting dan mendesak yang dapat melindungi perempuan sebagai kelompok masyarakat yang paling rentan menerima dan mengalami kekerasan seksual.

 

  *Penulis adalah Ketua Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (LKP3A) Fatayat NU DIY.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here