Oleh : Maria Fauzi*

 

Obrolan singkat saya bersama Pak Man, sebut saja begitu. Beliau adalah juru parkir sekolah anak saya yang kebetulan rumahnya tidak jauh juga dari rumah kami.

“Bu, besok ada Kiai ‘Qulhu wae, Lek’ ngaji lagi di masjid dekat sini loh”,

Dengan hanya menyebut Kyai ‘Qulhu wae Lek’, semua seakan paham siapa yang dimaksud. Iya, itu kiai yang lucunya bisa bikin ngakak habis. Gokil!

“Loh, bukane udah beberapa waktu lalu, Pak. Halah, perasaan belum ada setengah tahun sepertinya ya. Udah diundang lagi?”. Jawab saya

“La iya Bu, beliau ini laku keras. Jadwal ngajinya padat.. Soale lucu!”

Soale lucu. Itu kunci. Rata-rata, memang masyarakat perkampungan seperti di tempat kami ini lebih suka model pendakwah yang gemar melawak, lucu, dan tidak galak. Ngaji, tapi juga melucu. Bisa mencairkan suasana pengajian dengan gayanya masing-masing.

Ga usah dibayangkan pengajian ini seperti majelis-majelis ta’lim para kelas menengah perkotaan yang biasanya diadakan di masjid-masjid besar, hotel, ruang pertemuan, rumah pribadi yang eksklusif, atau di jalan-jalan besar. Konsumsinya pun berkelas, endorse-an dari cake-cake artis yang lagi booming itu. Jamaahnya juga bukan para hijabers dan mamah-mamah muda yang pakai dresscode khusus semacam gamis, hijab, dengan kosmetik komplit yang semua berlabel syar’i plus halal. Eeeeh..

Pengajian ini cuma modal tikar, sama es teh plastik plus gorengan. Bisa dimakan dan dikenyot kapan saja, ga nunggu sampe kiainya selesai ngaji. Bebas. Syukur-syukur kalau panitia juga membagikan konsumsi krupuk dan teh rasa gula. Ga percaya? Ha mbok sini. Lihat sendiri.

Parkiran mobil paling diisi oleh rombongan Pak Kiai dan tamu-tamu undangan. Selebihnya, hanya puluhan motor, sepeda, odong-odong, colt-colt lawas pengangkut jamaah, bahkan tak jarang juga pake truk. Biar bisa memuat orang sak RT. Efisien, simpel, ramah lingkungan karena ga keluar energi banyak. Lak ya gitu to?

Jamaahnya juga lebih beragam. Dari bakul lombok, bakul tampah, sampai juragan bangunan. Dari mbah-mbah sepuh, pemuda desa, sampai anak-anak. Lintas generasi dan kelas. Semuanya tumpek blek, ngaji campur kemekelen. Ini baru dinamakan ngaji. Begitu kira-kira kata Pak Man sambil terkekeh.

“La dari pagi sampe siang macul, pengen ngaji malah disuguhi sing galak-galak. Dikit-dikit haram. Dikit-dikit menista agama. Membela umat. La yang menista ini siapa sebenernya? Lak ya gitu to, Bu?”.

Ngunu yo ngunu, ning ojo ngunu”. Tambahnya lagi.

Senyum-senyum sendiri saya dengar penjelasan panjang lebar Pak Man. La memang betul to, meskipun semangat ngajinya masyarakat di kampung juga membara, mereka ga norak gitu loh. Ga kagetan. Jangan dikira mereka tak paham agama, justru mereka ini yang nyatanya mampu beragama dengan santun. Soale apa? Ya itu tadi, ngaji sambil nglawak. Bhaaaaaa…

Coba saja kalau ga percaya. Ikuti salah satu ngajinya kiai kampung yang lucu. Pasti meluber jamaahnya. Tenang aja, biasanya beliau-beliau ini ga pakai teriak-teriak takbeeerr macam mau perang. Kiai-kiai ini umumnya sudah nglothok ilmu agamanya, hafal Al-Qur’an dan Hadist ga cuma segelintir.

Balik lagi tentang Kiai ‘Qulhu ae Lik’. Bagi penduduk pantura pasti ga asing lagi sama nama kiai kharismatik satu ini. Videonya yang diupload di Youtube hampir mau nyaingin Justine Bieber. Buanyak. Jadwalnya padat. Gaya bahasa dan dakwahnya dirasa pas dengan masyarakat non-urban, alias penduduk kampung. Macam obat saja ya cocok-cocokan.

Eh Sebentar, tapi ada benarnya loh itu. Runtutannya kira-kira begini. Bagi masyarakat urban yang haus akan ‘meanings’ di balik hiruk-pikuk modernitas, gaya hidup juga materi, mereka akan berbondong-bondong mencari ‘pelarian’ khususnya perihal spiritualitas, relijiusitas dalam agama.

Peningkatan ekspresi relijiusitas yang menggebu-gebu kek mo nikah muda ituuu, uuups, lambat laun merambah ke ranah publik. Masuklah ekspresi-ekspresi ini ke ranah politik, budaya, sosial, ekonomi, dan pendidikan. Maka tak heran, soal remeh-temeh macam apakah panci dan wajan yang dijual di toko-toko pake label halal-haram MUI apa ga? Sampe ulekan di warung harus pake stempel MUI biar memuaskan para pencari hidup syar’i yang kaffah itu. Terlalu !

Gaya pengajian yang cepat landas model halal haram, alias hukum fikih, laris manis. Seakan agama Islam itu isinya hanya halal-haram. Ini namanya mereduksi keagungan dan kekayaan khazanah keilmuan Islam yang dibangun sejak berabad-abad lampau. Apa mau dikata, justru yang begini ini yang laris dan dibutuhkan masyarakat perkotaan untuk keluar dari problem yang mereka anggap cukup mbulet. Kalau sudah tahu mana halal dan haram, dirasa pemahaman agama sudah selesai. Sudah patut dipanggil ustadzah dan ustadz.

Sementara di kampung, hidup bisa sangat santai dan bersahaja. Tengoklah bagaimana mereka bisa menikmati ritme keseharian dan menerapkan filsuf Jawa tentang hakikat kehidupan. Karena hidup adalah bagaimana kita merasakan sesuatu. Persis seperti kutipan dari Kuntowijoyo, “untuk apa kita bekerja, kalau kebijaksanaan yang sederhana saja kita tidak tahu”.

Mereka ini hidupnya ga pernah brisik. Adem ayem, karena sudah terbiasa ngaji sambil cangkrukan, ngopi, ngrokok, dan tak lupa sambil guyonan. Ini, sekali lagi adalah koentji ! Hasilnya, ga da itu yang anti-antian. Prinsipnya, yang penting bisa ngaji sambil ngenthuti es teh plastik dan gorengan. Udah Gitu Aja !

Saran penulis, biar kalian-kalian ini ga kagetan dan bisa hidup slow, ngajilah sama kiai-kiai kampung sambil nglawak. Dijamin sehat lahir batin. Serius..

***

*Maria Fauzi, penulis esai tentang kebudayaan dan sejarah. Anggota divisi Litbang PW Fatayat NU DIY.

insert foto ilustrasi: sumber google image (red.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here