(Belajar dari Pengalaman)

#Bagian_2 (habis)

Oleh: Lindra Darnela*

Pembelajaran multikultural menciptakan struktur dan proses yang membolehkan ekspresi kebudayaan, komunitas, dan individual. Hal ini harus didukung dengan piranti yang ada di sekolah dengan menegakkan netralitas nilai dan menghindari homogenitas. Dalam kurikulum misalnya, harus menjadi bagian yang ikut andil dalam pembelajaran ini. Perbedaan agama, budaya, sosial, ekonomi, bahkan pemahaman keagamaan tidak dipandang sebagai ancaman yang merusak keharmonisan dalam kelas, lebih besarnya lagi: mengancam ideologi negara.

Hal ini harus dipandang sebagai kekayaan. Namun demikian, ketika ada paham yang tampak membahayakan bagi ideologi negara dan berpotensi merusak persatuan, maka hal ini menjadi tanggung jawab bersama untuk kembali membawa ke khittoh persatuan bangsa. Guru dan dosen dalam hal ini memiliki peran penting dalam menghidupkan model pendidikan multikultural dalam pembelajaran di kelas.

Guru/dosen dalam hal ini harus berperan sebagai fasilitator yang menyajikan perbedaan secara terbuka dan tidak menjadi penguasa ideologi dan pengetahuan ketika berada di kelas. Murid/mahasiswa harus dipandang sebagai narasumber yang memiliki pengalaman individu yang berbeda serta pengetahuan yang tidak seragam. Dengan berakar dari refleksi masing-masing individu yang secara bebas mengekspresikan pengalamannya, dosen memberi kesempatan yang sama untuk berdialog secara terbuka dengan memperlakukan mahasiswa atau siswa sebagai orang dewasa dan sebagai subjek.

Pembelajaran multikultural dapat juga diterapkan secara integratif dengan mata pelajaran yang lain dengan beberapa strategi yaitu: pertama, mahasiswa dirangsang dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat didiskusikan baik dalam kelompok kecil maupun yang lebih besar. Dalam melakukan ini, dibutuhkan kecerdasan dosen dalam menyusun pertanyaan dengan alur yang sistematis dan sesuai dengan tema materi yang sedang dibahas. Kedua, dengan melihat keberagaman dalam kemampuan cara memandang, menganalisa dan membahasakan, dosen sebagai fasilitator harus memberikan kesempatan yang sama terhadap mahasiswa dalam mengapresikan buah pikirannya tersebut. Tidak ada dominasi salah satu pihak yang dalam istilah multikultural dikenal sebagai asimilasi (assimilation).

Hal yang lebih penting dalam hal ini adalah: sesederhana apapun yang dikatakan oleh mahasiswa, harus ada penghargaan sehingga memunculkan perasaan diterima, dan dihargai sebagai bagian dari komunitas kelas dan memunculkan kepercayaan kelas secara kolektif (collective esteem). Sehingga `sense of belonging’, kesediaan menghormati dan merayakan perbedaan akan tumbuh dengan sendirinya dalam pribadi mahasiswa yang kemudian secara integral merasuk menjadi identitas diri (personal identity). Hal ini juga sebagai upaya dalam mencapai persatuan pemahaman tentang satu wacana tanpa penyeragaman sudut pandang dan ide sehingga secara individu mahasiswa memiliki kepercayaan diri (self-esteem) yang tidak hanya dimilki ketika berada di dalam kelas.

Ketiga, memberlakukan asas subsidiaritas (mengambil istilah dalam term demokrasi) yaitu: memberi kesempatan kepada kelompok kecil untuk menyelesaikan suatu permasalahan tanpa harus melibatkan kelompok yang lebih besar. Dalam hal ini, dosen tidak menjadi sumber ilmu sehingga kelas akan ”kering” jika dosen kehabisan energi karena segala keterbatasannya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam dinamika kelas, menjadi tangggung jawab komunitas kelas untuk mencari jawabannya, sehingga mahasiswa memiliki hak sekaligus kewajiban untuk aktif dan kreatif menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Dari sinilah akan nampak kekayaan intelektual karena masing-masing mahasiswa memiliki pendapat yang beragam. Dosen hanya memberi sesuatu yang minimalis namun efektif menjadikan yang minimalis tersebut menjadi semangat bagi mahasiswa untuk mencari yang ”banyak” dan lebih terinci. Dengan adanya proses mencari ini, mahasiswa belajar untuk menjadi subjek yang mandiri dengan menggunakan pendekatan berdasarkan kebutuhan (need-based approach) sehingga pencarian pengetahuan adalah kebutuhan dia secara individu bukan kepentingan dosen. Jika ini terjadi, maka proses belajar tidak hanya terjadi dalam ruang dan waktu yang terbatas ketika terjadi tatap muka dengan dosen, namun mahasiswa lebih banyak belajar di luar kelas dengan waktu yang tidak terbatas dengan motivasi yang muncul dari dalam dirinya sendiri.

Dalam melakukan pembelajaran multikultural ini, mengingat beragamnya apresiasi mahasiswa terhadap pengetahuan, termasuk juga dengan kemampuan yang tidak sama, (gejala ini dipahami juga sebagai gejala multikultural), maka hal ini menjadi kesulitan ketika mahasiswa tidak terbiasa dengan model pembelajaran yang menuntut mereka untuk lebih mandiri dan punya ruang yang lebih luas untuk bergerak dalam mengeluarkan idenya. Untuk mensiasati hal tersebut, maka keempat mahasiswa diberi tawaran materi yang akan dibahas untuk pertemuan selanjutnya sehingga ketika masuk pada materi, masing-masing tidak dalam ”pikiran yang kosong” namun memiliki bahan untuk berbagi dengan yang lain sesuai bacaannya masing-masing.

Keterlibatan mahasiswa ini merupakan hal yang baru mengingat model sebelumnya lebih cenderung top-down di mana mahasiswa hanya dijadikan sebagai konsumen pengetahuan dan dosen adalah produsennya sehingga ilmu pengetahuan. Karena berlaku secara terus menerus, sistem seperti ini menjadi sebuah budaya yang dirasakan menjadi suatu ”kenyamanan”, sehingga jika ada metode baru yang masuk, maka ada semacam culture shock yang menimbulkan ketidaknyamanan karena merusak status quo yang telah mapan meski sebenarnya metode yang telah langgeng tersebut tidak mencerdaskan. Untuk itu, kelima pembelajaran multikultural merupakan kerja kolektif yang harus dilakukan secara bersama-sama oleh semua pengajar dalam satu civitas akademik, sehingga usaha satu sama lain saling mendukung dalam melakukan pembelajaran salah satunya dengan membentuk pribadi yang menyadari akan kehadiran dirinya dan dapat berkontribusi terhadap komunitas sosialnya dengan mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, penghargaan dan dan penghormatan akan hadirnya pribadi lain di muka bumi.

Keenam, untuk menghadapi mahasiswa yang (sudah terlanjur) berpandangan keras, hitam-putih, perlu pendekatan khusus. Forum dialog terbuka di kelas bukan pilihan tepat mengingat kebanyakan dari mereka bersifat tertutup (paling tidak itu yang saya temui). Mereka perlu didekati secara personal dengan mencoba memahami perjalanan dan tujuan mereka. Dengan tidak membuat klaim atas mereka dan memberikan wacana yang damai dalam beragama, maka perlahan hatinya akan melunak. Tentunya, guru dan dosennya harus memiliki pemahaman agama yang kuat, tidak instan.

Dengan pengalaman empat belas tahun menjadi pendidik, saya berpendapat bahwa saat ini penting bagi guru atau dosen untuk memiliki pemahaman keagamaan yang baik, yang belajar dari sumber dan sanad yang jelas terpercaya, mengingat tantangan yang dihadapi saat ini adalah perpecahan atas nama agama. Dengan kata lain, untuk menghidupkan kembali pendidikan multikultural, perlu guru yang nyantri.

Oleh karena itu, AYO MONDOK!!!

            *Lindra Darnela, pendidik di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Anggota Divisi Litbang PW Fatayat NU DIY

 

Ket: riwayat tulisan, draf 15 Mei 2006, diedit kembali 23 Desember 2018.

Gambar ilustrasi diambil dari google image (red.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here