Cerpen  Siwi Nurdiani*

 

Zara membutuhkan rasa pahit dari secangkir kopi. Untuk keinginan itu, ia harus pergi jauh dari kotanya. Ia juga butuh bicara dengan siapa saja biar beku dalam otak sedikit meleleh. Sayapnya telah lama tidak terbentang, bertegur sapa bersama angin di angkasa. Ia ingin kembali berada di antara rerimbun awan dan luas cakrawala, bercengkerama bersama kebebasan. Dengan mimpi itu, ia kini berada di satu kota, di mana ia bisa duduk di sebuah kursi dan memesan secangkir kopi.

Aplikasi di androidnya tengah bekerja menemukan sopir ojek online, 1 menit lagi pengemudi Anda sampai di titik jemput. Beberapa saat, layar itu berkedip, pengemudi Anda telah  sampai. Tepat di depannya, pengemudi itu mengangguk sambil membuka helm. Seorang perempuan berkerudung, seusia dirinya.

“Dua puluh menit dari bandara. Saya bisa mencarikan jalur alternatif yang tidak macet. Hanya saja tidak sesuai rute, bagaimana?” pengemudi itu meminta persetujuan Zara.

“Apa itu tidak menyalahi aturan perusahaan?” tanya Zara ragu.

“Sistem perlindungan di kota ini sebanding dengan fungsi mahram, Mbak…” ujar pengemudi itu sembari tersenyum ramah. Zara takjub.

Zara mengumpulkan rasa percaya itu pada seorang perempuan yang tidak ia kenal sebelumnya, di kota asing pula. Dengan percaya diri,  pengemudi bernama Vita itu memilih jalur-jalur alternatif, masuk perkampungan, membelah persawahan, untuk hindari kemacetan. Terbukti. Beberapa menit sebelum waktu yang ditargetkan, mereka telah sampai. Bahkan sebelum Vita menjawab pertanyaannya, kenapa ia memilih profesi ojek online.

Jam Sembilan malam ketika ia singgah di resepsionis. Seorang lelaki seumuran Hamzah, suaminya, berdiri—menyapanya ramah. Zara tercengang. Di kota ini, ia baru  berbicara pada empat orang. Petugas bandara, tukang parkir, tukang ojek, dan resepsionis. Semuanya perempuan, kecuali resepsionis itu.  Zara sebutkan jika ia memesan kamar sekaligus akan berada di salah satu pojok kafe, begadang selesaikan esai untuk kolom di beberapa portal internet dan semedi untuk materi sebuah acara diskusi publik.

Di kamar, ia hanya meletakkan tas ransel, mandi sebentar, ganti baju. Ia telah berada di pojok kafe itu dengan laptop dan setumpuk buku di meja. Buku itu hadiah dari beberapa teman di berbagai kota, yang sengaja dikirim sebagai hadiah ulang tahun.

Tempatnya sangat luas, bisa jadi dua kali luas rumahnya. Meski sudah hampir jam  sepuluh malam, pengunjung masih ramai. Ia berdecak kagum, sebab di berbagai sudut, perempuan bekerja dengan laptopnya tenang damai tanpa gangguan.

Secangkir coffeelate di meja bundar ditemani sepiring keripik pisang itu kemewahan bagi Zara. Sedari tadi ia menimang-nimang mug dan menghirup-hirup aroma late. Matanya terpejam-pejam. Sepertinya ia tak akan sanggup meminum kopi saat itu, sebab ia masih belum puas memanjakan indera pembauannya. Aroma kopi itu, seperti menunggu petrichor datang, sementara musim hujan baru saja berlalu, dan kemarau berlangsung dua periode.

Lama—sangat lama. Ia memandangi cangkir porselen itu. Matanya berkaca-kaca. Bahunya berguncang. Kian lama kian kencang. Sesenggukan. Air mata deras mengucur dari dua mata, kian kabur memandangi lukisan bubuk cokelat di  atas kopi yang telah mendingin.

Lampu utama di kafe itu dipadamkan. Ia masih duduk di sana. Tanpa meminum kopi.

Ia merasa   tak bisa menelan seteguk kopi.

Pegawai kafe tidak ada yang berani menegur Zara. Mereka mengamati dari jauh. Berbisik-bisik.

 

 

***

 

Semua pegawai kafe telah pulang. Tinggal Zara sendirian di kafe itu,  tepatnya berdua bersama mug berisi late yang masih utuh.

Mereka menyerahkan Zara kepada resepsionis, dengan alasan hanya resepsionis yang berada di kafe selama dua puluh empat jam. Sang resepsionis tak berani mendekat pula. Ia menjadi takut, bahwa perempuan dan secangkir kopi itu tengah sama-sama menjalani meditasi    atau ritual. Ia hanya melihat punggung  Zara dari kejauhan.

Dalam ‘mabuk’nya, Zara masih menyadari adanya sepasang mata mengawasi. Matanya berpapasan dengan wajah familiar itu. Ia merasa pernah bertemu, entah di mana. Wajah itu lebih jernih dari mata air asli pegunungan. Ketika tersenyum dan mengangguk, ia ingat bahwa lelaki itu resepsionis yang menyambutnya tadi sore.

“Sudah larut, Mbak. Kenapa tidak istirahat?” tanya resepsionis itu sopan. Sangat sopan, hanya berdiri  di seberang meja. Zara memberi isyarat untuk duduk di kursi, resepsionis itu hanya mengangguk. Zara menghela nafas.

“Bagaimana saya bisa istirahat sedangkan ini semua kemewahan yang saya perjuangkan.”  Tutur Zara, membuat resepsionis itu berkerut dahi.

“Kemewahan? Ah, ini hanya secangkir kopi  dan warung ini hanya warung kopi biasa, Mbak…” Resepsionis itu tidak mengerti. Zara menggeleng.

“Kamu tidak akan mengerti!” tatapannya seperti hendak mencabik-cabik ketidakpahaman lelaki itu pada dirinya. Resepsionis itu menelan ludah.

“Dari logatnya, Mbak ini pasti pengunjung luar kota…”

“Saya harus naik bis selama lima jam lalu berada dalam pesawat satu jam, untuk bisa duduk di kafe dan menikmati secangkir kopi seperti ini,” ungkap Zara.

“Ah, kalau kafe seperti ini, di kota mana pun—bahkan di pelosok desa juga ada,” bantah sang resepsionis. Ia bahkan berniat merekomendasikan kafe-kafe yang ia tahu ada di seluruh Indonesia. Zara menggeleng keras.

“Tidak di kota saya. Di sana, perempuan tidak boleh masuk kafe. Tidak boleh minum kopi.” Ia hampir menangis lagi. Akan tetapi kini rasa marah itu telah menghilangkan titik air mata.

“Ah, kenapa begitu Mbak?”

“Sekarang, apa kamu pikir dengan saya ada di sini, sendirian—ahh, berduaan dengan si kopi, lantas membuat kamu ingin memperkosa saya?” Pertanyaan Zara itu membuat sang resepsionis jengah. Lelaki itu menggeleng.

“Mbak lihat sendiri, di kafe ini….pengunjung tidak melibatkan tendensi apa pun.” Jawaban yang membuat Zara tersenyum.

“Saya tidak menunggu akhirat untuk merasakan surga…di sini, bagi saya surga…” Ujar Zara. Lelaki  itu tertawa. Zara terdiam. Ia mengutuk tawa itu, yang baginya mengandung kegenitan. Lalu kenapa selama ini, perempuan saja yang  dilarang tertawa begitu.

“Apa selama ini, di kota ini, lelaki tidak dilarang tertawa seperti itu?” Tanya Zara. Tawa lelaki itu terhenti mendadak. Sepertinya tidak menyangka ia dapat serangan seperti itu. Ia berdiri seakan melayang, berpijak di awang-awang. Setiap saat akan limbung.

“Iya, saya tahu jawabannya. Semua di sini bebas. Karena di sini surga. Kafe ini bebas untuk siapa saja yang ingin ngopi. Tanpa embel-embel perkosaan kan?” Zara terkekeh. Resepsionis itu   tersenyum mengangguk.

Ngopi itu hakikatnya membuat jiwa selalu terjaga, waspada…” timpal resepsionis baik hati itu. “Bukan membuat seseorang mabuk. Setiap yang berkunjung ke kafe ini, dalam rangka menjaga jiwa masing-masing, agar mata batin tak tumpul…”

Zara mengembara pada percakapan dengan seorang kawan di dewan pertimbangan kota. Sangat bertolak belakang. Bagaimana bisa, kawan itu menafsiri minum kopi di kafe itu pemicu cinta terlarang? Lagi-lagi, kaumnya dianggap tak lebih dari kain pel.

Azan Subuh berkumandang. Resepsionis itu berpamitan, hendak ke masjid.

Zara masih memandangi secangkir kopi  itu. Masygul.

 

 

***

 

Malam terakhir di kota itu, setelah siangnya mengisi sebuah acara, ia duduk lagi di bangku yang sama. Kali ini ia memesan kopi asli, tanpa gula, tanpa late. Dilengkapi sepiring keripik pisang. Laptop di meja menyala sedari tadi, dan jemarinya menari lincah di atas keyboard. Menghasilkan harmoni tulisan seperti pianist menghasilkan irama yang indah.

Ia telah berkorespondensi dengan para  perempuan di seluruh negeri, untuk mendukungnya mendapatkan penghapusan undang-undang itu. Agar ia tak perlu jutaan rupiah untuk menikmati secangkir kopi dan bisa menulis indah tanpa gangguan. Sebab ia, merasa semua ide tulisan mengalir ketika duduk di kursi kafe menghadapi secangkir kopi.

Bagus, sang resepsionis bermata jernih itu, ia undang sebagai teman berbincang.

“Bagus tidak keberatan, saya undang ke sini?” tanya Zara ragu.

“Untuk tamu yang datang jauh dari ujung negeri, saya menjadi tuan rumah yang baik. Sedia membantu apa pun yang Zara perlukan…”

Ia membaca ketulusan Bagus, seperti halnya pertemuannya dengan Vita, ojek online, yang juga hadir dalam diskusi publik tadi siang. Ia tentu bukan satu-satunya perempuan yang beraktivitas ekstrem di kota ini. Kunjungan ini benar-benar menghidupkan simpul energi dalam diri Zara.

“Besok saya pulang dengan membawa satu tulisan. Tulisan ini, mewakili suara hati para perempuan di kota saya. Sungguh, kota ini sangat menginspirasi…” puji Zara tulus. Di kota ini sama sekali tidak ada kecurigaan pada para perempuan yang keluar rumah, berkumpul, berdiskusi, atau hanya ngopi.

“Syukurlah. Istri saya senang bisa bertemu Zara. Ia bercerita, bagaimana Zara menyampaikan gagasan-gagasan dan kisah inspiratif. Saya yakin kamu tidak akan berhenti berjuang…” ujar Bagus. Zara mengagumi pasangan itu bekerja sama. Pagi hingga sore, Vita, istri bagus bekerja sebagai ojek online, Bagus di rumah menjaga anak mereka yang masih balita. Sore hingga pagi, Vita di rumah ketika Bagus bertugas di kafe.

“Akan saya ceritakan,  hidup ini kalian jalani bersama, dengan penuh cinta…” ujar Zara. Diam-diam ia ingin membangun kembali harmoni itu di antara dia dan suaminya. Telah lama mereka saling diam, bila tak saling adu argumen. Telah lama tatapan mareka tak lagi meriah, tinggal rasa sebeku freezer. Entah, ia akan mulai dari mana, sedang Hamzah telah mengatakan niatnya pada Zara. Tentang cinta lain yang ingin dihalalkannya.

Kepergian Zara ke berbagai kota, singgah di berbagai kafe, adalah keinginannya mencari kekuatan. Mencari ketegasan di dalam pahitnya secangkir kopi.

“Minumlah kopimu….” ujar Bagus.

Zara mengangguk. Ia menyeruput kopinya tanpa beban. setelah bersemedi malam itu, ia memutuskan untuk tidak merasa melankolis.

“Saya akan membuat setiap perempuan di kota saya menikmati kopi sebahagia ini…” kata Zara semangat. Ia pun telah merancang negosiasi itu. Antara ia dan Hamzah. Ia akan melanjutkan mimpinya tentang kebahagiaan satu pihak yang tak mungkin mengkhianati lainnya. Tentang satu cinta yang saling memberi. Jika ia berani memberikan satu cinta untuk Hamzah, maka seharusnya demikianlah cinta yang dia harap dari Hamzah. Satu.

 

 

 *Siwi Nurdiani, seorang perempuan aktivis muda NU Kulon Progo. Berkhidmah merawat grassroot Nahdhiyyin di gugusan perbukitan menoreh, wilayah kecamatan Girimulyo, dataran tinggi sisi utara wilayah kabupaten Kulon Progo. Pengurus bidang sosial budaya PC Fatayat NU Kulon Progo. Termasuk penulis asli Kulon Progo yang produktif. Kontributor di portal mubaadalah.co. Tulisan-tulisannya telah menyebar di berbagai media. Novelnya yang telah terbit, Sihir Negeri Pasir dan Gumam Tebing Menoreh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here