Oleh : Husnul Khotimah*
Di era millenial, masalah ketidakadilan gender masih terjadi, di mana perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak cukup diperhitungkan dalam memegang peran kepemimpinan. Berangkat dari hal tersebut, Korps PMII Putri (KOPRI) sebagai Badan Semi Otonom (BSO) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan melakukan kunjungan ke Malaysia. Salah satu agendanya adalah berkunjung ke beberapa organisasi/lembaga yang konsentrasi pada isu-isu perempuan antara 28-31 Januari 2019.
Lembaga pertama yang kami kunjungi adalah Tun Fathimah Hasyim Women Leadership Centre di Universitas Kebangsaan Malaysia. Tun Fathimah Hasyim merupakan menteri perempuan pertama Malaysia dan lembaga ini terinspirasi olehnya. Lembaga yang berdiri pada tanggal 1 Agustus 2011 ini memiliki visi untuk memberdayakan perempuan dalam bidang kepemimpinan, organisasi, komunitas, dan keluarga serta mengampanyekan perempuan sebagai pemangku pembangunan nasional.
Begitu tiba di lokasi, kami diajak berkeliling untuk melihat beberapa dokumentasi seperti foto dan narasi tentang kiprah dan perjuangan Tun Fathimah Hasyim yang dijuluki sebagai Srikandi Negara. Kami memasuki ruangan dan bertemu dengan pimpinan Tun Fathimah Hasyim. Untuk mencapai visi-misi, lembaga ini memiliki beberapa program di antaranya program kepemimpinan perempuan. Dalam struktur di kementrian, perempuan masih diposisikan pada level bawah dan tidak bisa ikut andil dalam mengambil keputusan. Harapannya, dengan program tersebut dapat menyiapkan barisan perempuan agar menduduki posisi strategis sehingga berpartisipasi dalam mengambil keputusan.
Selain itu, gerakan yang dilakukan lembaga ini adalah mengadakan ceramah umum. Metode ceramah dikemas dengan sharing ilmu dan pengalaman, khususnya pengalaman sebagai seorang pemimpin. Mayoritas yang menjadi pembicara adalah perempuan. Tidak berhenti sampai di situ, untuk menyebarluaskan pemahaman mereka secara lebih massif lembaga ini juga menghasilkan buku untuk membuka kesadaran masyarakat tentang keadilan gender. Tahun 2019 baru-baru ini, mereka memiliki tiga program; Malaysia Urban Forum, Hari Perempuan Antar Bangsa, dan “boot camp perempuan muda women fast 2019”. Dengan terselenggaranya program tersebut, harapannya infrastruktur dapat lebih ramah terhadap perempuan, terwujudnya pengarusutamaan gender, berbesar hati membantu gender inclusive report, dan publikasi buku yakni menghantarkan kajian untuk diterbitkan.
Pada hari kedua kami berkunjung ke organisasi Sister in Islam yang berada di Petaling Jaya Selangor. Berbeda dari organisasi Tun Fathimah Hasyim yang lebih bergelut di bidang kepemimpinan dan hukum positif, organisasi Sister in Islam lebih mendasarkan gerakan perempuan dari perspektif Islam. Karena itu, agenda-agenda reformatif yang mereka perjuangkan adalah seperti mengkaji ulang Undang-Undang Keluarga Islam dan membahas isu-isu problematis seperti poligami, pernikahan dini, kekerasan seksual, LGBT, zina, khalwat, kriminal, dan lain sebagainya.
Lembaga yang didirikan pada tahun 2003 ini memiliki misi untuk menyebarluaskan pemahaman bahwa Islam mengakui prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan kemuliaan dalam negara dan demokrasi. Untuk mencapai misi tersebut, beberapa langkah yang mereka ambil antara lain membangun suatu kerangka kerja untuk pemenuhan hak perempuan dalam Islam, menghapus ketidakadilan dan diskriminasi dengan cara mengubah nilai dan amalan yang menganggap perempuan berkedudukan rendah, menggalakkan pembaruan undang-undang dalam rangka menuju keadilan dan kesetaraan dalam Islam, dan mewujudkan kesadaraan masyarakat umum mengenai kesetaraan gender dan menentang diskriminasi.
Menariknya, ada dua tokoh pejuang gender asal Indonesia yang mereka jadikan idola. Dalam sesi diskusi, mereka menyebutkan nama KH. Husein Muhammad (Pengasuh Pondok Pesantren di Cirebon) dan Dr. Nur Rofiah (alumni PMII UIN Sunan Kalijaga yang sekarang menjadi dosen di PTIQ Jakarta) yang mereka anggap sebagai dua aktivis keadilan gender yang wawasan dan pandangannya sangat mencerahkan.
Dalam mengampanyekan dan memperjuangkan paham gendernya, para aktivis Sister in Islam kerap mendapat berbagai tantangan dan penolakan. Bahkan karena dianggap sebagai organisasi ‘liberal’, organisasi ini difatwakan sebagai organisasi ‘haram’ oleh Majelis Agama Islam Selangor (MAIS) pada tahun 2014 yang lalu. Salah satu pandangan mereka yang mengundang reaksi penolakan adalah ketidakwajiban khitan bagi perempuan. Konsekuensinya, mereka dipersulit ketika ingin mengirimkan tulisan-tulisannya ke media cetak.