Oleh: Annas Rolli Muchlisin*
Perlu saya klarifikasi terlebih dahulu bahwa tulisan ini tidak berintensi untuk menyebarkan aib seseorang yang oleh sebagian masyarakat dipanggil sebagai seorang ‘ustadz’. Sebutan ‘ustadz’ pada orang ini pun sebenarnya sangat problematis karena kadar keilmuannya yang belum mencukupi (ia sendiri mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan di lembaga keagamaan seperti pesantren). Ia menjadi populer bukan karena keilmuannya, tetapi karena ‘media’.
Tulisan ini semata-mata bertujuan untuk mengambil ibroh (pelajaran) dari fenomena keberustadzan semacam ini. Sekali lagi tidak ada niat menyebutkan aibnya. Karena itu, nama ustadz dan lokasi tidak akan disebutkan. Tetapi kalau para pembaca yang budiman penasaran siapa ustadz yang disinggung dalam tulisan ini, silakan buka fanspage Dawuh di facebook. Ustadz ini memberikan ceramah pada tanggal 16 Februari 2019 yang lalu.
Ketika itu, si ustadz menceritakan bahwa diri dan anggotanya diancam-ancam oleh ‘cebong’. Cebong adalah anak kodok, tetapi dalam nuansa Pilpres tahun ini kata cebong digunakan untuk menyebut sekelompok orang pendukung salah satu calon presiden.
Tiba-tiba, seorang perempuan dengan berani memotong ceramah ustadz tersebut. Si perempuan mengatakan, “cebong itu binatang ustadz. Jangan bilang cebong karena cebong itu binatang.” Si ustadz merespon, “terus, terus bu.” “Jangan bilang cebong ya, stop cebong. Bilang aja pendukung paslon nomor satu. Cebong itu binatang,” si perempuan berusaha meneruskan.
Setelah mendapat protes dari perempuan tersebut, si ustadz berusaha membela dirinya dengan mengutip ayat al-Qur’an. “Buka surah al-Isra ayat 176. Dengarkan. Buka surah al-Isra ayat 176.” Setelah membacakan hafalan ayatnya, si ustadz mengartikan dan menafsirkan, “Allah berfirman sesungguhnya Aku akan meninggikan derajat orang itu. Tetapi sayang, orang itu lebih memilih merendahkan dirinya sendiri dan menuruti hawa nafsunya. Maka orang-orang seperti itu ibarat ANJING. Itu al-Qur’an yang ngomong.”
Penafsiran si ustadz tersebut disambut dengan teriakan ‘betul’ dan pekikan ‘takbir Allahu akbar’ oleh para jamaahnya. Dan si ustadz kembali menyebutkan bahwa ayat tersebut ada di dalam surah al-Isra ayat 176.
Mari kita perhatikan betul-betul ceramah dan penafsiran ustadz tersebut:
Pertama, si ustadz telah menjatuhkan derajat manusia serendah-rendahnya dengan menyamakannya dengan binatang bernama cebong. Padahal manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baiknya. Allah saja ketika menyeru umat manusia selalu menggunakan bahasa yang lembut ‘yā ayyuha al-nās’ (wahai manusia). Lah, ustadz ini dengan entengnya malah menyeru wahai cebong. Sungguh merendahkan ciptaan Allah. Dan perempuan yang berusaha memprotes si ustadz menunjukkan sikap yang lebih humanis dan islami.
Sebagai seorang pendakwah yang kata-katanya didengar oleh masyarakat, si ustadz seharusnya tidak memperkeruh suasana. Seorang pendakwah harus mampu menyeru kepada kebaikan dan kedamaian dengan cara yang baik pula. Kata al-Qur’an, bi al-hikmah wa al-mau’iẓah al-hasanah (dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik). Ustadz harus menjadi air yang memadamkan kobaran api permusuhan, bukan menjadi bensin yang justru memperbesar api konflik itu.
Kedua, si ustadz dengan pedenya berulang kali mengatakan bahwa ayat yang ia kutip adalah surah al-Isra ayat 176. Padahal anak kecil yang sudah belajar agama pun tahu bahwa surah al-Isra hanya memiliki 111 ayat. Setelah saya lacak, ayat yang ia kutip sebenarnya adalah surah al-A’raf ayat 176. Kita bisa saja berhusnu zhon bahwa si ustadz tergelincir lidahnya saat pertama kali menyebutkan sumber ayat itu. Tetapi kalau dilakukan secara berulang-ulang dan disampaikan dengan pedenya, bukankah itu menunjukkan kadar keilmuannya yang masih sangat minim?
Ketiga, memang benar bahwa dalam beberapa ayat dan hadis, Allah bisa menggambarkan orang-orang yang berbuat dosa seperti binatang. Dalam surah al-A’raf ayat 179, Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang memiliki hati tetapi tidak digunakan untuk memahami, memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, dan memiliki telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar maka ulāika ka al-an’ām bal hum aḍall (mereka seperti binatang bahkan lebih sesat).
Yang perlu kita pahami bahwa yang punya hak prerogatif untuk menilai apakah manusia seperti binatang atau tidak itu HANYA Allah karena hanya Dia yang mengetahui segala hal yang ada di bumi, baik yang zahir maupun yang batin. Dia yang mengetahui semua hal yang diperbuat dan dipikirkan oleh manusia. Karena itu, hanya Dia yang berhak menilai.
Adapun kita sebagai manusia hanya mengetahui bagian kecil dari perbuatan orang lain, tidak mengetahui yang batin. Karena itu, ayat di atas tadi sebenarnya harus digunakan bukan untuk menjelek-jelekan dan memprovokasi orang lain, tetapi digunakan untuk menilai dan mawas diri. Sadar diri bahwa ilmu belum seberapa, jangan sampai berani menjelekkan dan menyalahkan apalagi memprovokasi orang lain. Orang arif mengatakan, “ketika jari telunjuk menunjuk orang lain maka pada saat yang bersamaan empat jari lainnya menunjuk diri sendiri.”
Terakhir, ada dua poin besar yang bisa disimpulkan dari tulisan sederhana ini. Pertama, bagi orang yang ditokohkan khususnya oleh media, jangan merasa sudah memiliki ilmu yang mumpuni. Popularitas bukanlah jaminan kebenaran. Jagalah kata-kata, jangan memperkeruh suasana. Dan lebih baik lagi mengakui kelemahan diri sendiri, lalu dengan rendah hati mengaji ke pesantren. Pintu pesantren selalu terbuka lebar untuk siapa saja.
Kedua, masyarakat harus mampu bersikap kritis. Tidak semua orang yang ‘diustadzkan’ itu memiliki kedalaman ilmu. Kita hidup di zaman yang serba instan. Orang yang tidak pernah belajar agama secara mendalam tiba-tiba dicap sebagai ‘santri pos-Islamisme’ misalnya. Jangan pula tertipu dengan simbol-simbol agama. Si ustadz tadi secara penampilan memang terlihat seperti ustadz sungguhan, memakai peci dan jubah, dan tidak jarang ia mengutip ayat al-Qur’an pula. Tetapi jangan lupa bahwa dahulu orang-orang Khawarij yang membunuh para sahabat juga meneriakkan al-Qur’an untuk membenarkan aksi brutal mereka. Simbol itu tidak bisa sepenuhnya merepresentasikan kebenaran karena itu jangan tertipu oleh simbol.