Oleh: Saiful Bari
Umat Islam akan merayakan Tahun Baru Islam 1442 Hijriyah atau 1 Muharram yang jatuh pada Kamis (20/8/2020). Muharram merupakan bulan pertama dalam sistem kalender Qomariyah (kalender Islam). Bulan Muharram dikenal juga dengan sebutan lain bulan Syuro/Asyura. Pemaknaan bulan Muharram berawal dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.
Berangkat dari pemaknaan ini, berbagai tradisi dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia. Tradisi, menurut para Antropolog, ialah kebiasaan yang menjadi adat istiadat yang dilaksanakan semenjak dahulu, sehingga ketika mempunyai keturunan sebagai generasi selanjutnya mereka akan ikut serta dalam melakukannya sebagai rasa ketaatan.
Hari ini, Muharram atau Asyura, menjadi tradisi dan populer di tengah-tengah umat Islam, meskipun dalam perspektif yang sangat berlawanan secara diametral. Bagi kalangan Syi’ah hari ini merupakan hari kesedihan atas terbunuhnya Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad saw pada peristiwa Karbala tahun 61 H (680 M). Sedangkan bagi kalangan Sunni, dapat dilihat dari berbagai perspektif, yaitu perspektif hadis (doktrin), perspektif sejarah (historis), dan perspektif budaya masyarakat (antropologis).
Dalam perspektif doktrin, hari Asyura adalah hari yang disunahkan berpuasa berdasarkan beberapa petunjuk hadis. Sementara, dari perspektif historis dapat dilihat bagaimana cara pandang peristiwa 10 Muhharam menurut Sunni, tentu saja berdasarkan data dan fakta sejarah. Sedangkan dalam perspektif antropologis, hari Asyura ditandai dengan berbagai kegiatan atau tradisi yang beragama di berbagai daerah dan tempat yang merupakan refleksi dari kesyukuran atas berbagai peristiwa – meskipun validitas argumennya masih dalam perdebatan.
Melalui keberagama perspektif dan – bahkan agama – keyakinan masyarakat Indonesia telah mewarnai berbagai tradisi dan ritual yang dilakukan masyarakat pada bulam Muharram. Berbagai tradisi di antara lain, membuat makanan berupa bubur merah-putih, mencuci keris, membaca doa-doa, menyantuni anak yatim, dan sampai pada kirab di Solo dan Yogyakarta. Bagi masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta, satu Muharram dikenal dengan ‘Satu Suro’ yang artinya hari pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam Kalender Hijriah.
Satu Suro biasa diperingati pada malam hari setelah Magrib pada hari sebelum tanggal satu yang biasa kita kenal dengan sebutan malam Satu Suro. Hal ini karena, pengertian hari Jawa tidak seperti pergantian hari dalam kalender Masehi yang dimulai tengah malam, melainkan dimulai setelah terbenamnya matahari dari hari sebelumnya.
Terlepas dari pandangan di atas, Islam memiliki legal standing sendiri terkait apa dan bagaimana menyikapi bulan Muharram tersebut. Dalam Islam, Muharram adalah bulan yang mana umat Islam mengawali tahun kalender Hijriah berdasarkan peredaran bulan. Muharram menjadi salah satu dari empat bulan suci yang tersebut dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang tersurat dalam firman-Nya: Yang artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan di kitabullah itu ada dua belas bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram,” (QS. At-Taubah: 36).
Keempat bulan itu, menurut jumhur ulama, adalah Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Oleh karena itu, bulan Muharram, dalam umat Islam, memiliki keutamaan luar biasa karena termasuk dari Arba’atun hurum (empat bulan yang diharamkan) dan bulan mulia yang dimuliakan oleh Allah.
Karena keutamannya itulah, ada beberapa amalan yang dianjurkan untuk dilakukan di bulan Muharram yakni berpuasa. Keutamaan ini didasarkan pada bunyi Hadis, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam,” (HR. Muslim).
Di samping keutamaannya, puasa di hari Asyura dapat juga menghapus dosa satu tahun. Hal ini dikuatkan oleh bunyi Hadis sebagai berikut: “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram), maka Beliau bersabda: “Bisa menghapus (dosa-dosa kecil) satu tahu yang lewat,” (HR. Muslim).
Selain itu, jumhur ulama, menyarankan agar puasa hari Asyura didahului oleh puasa satu hari sebelum puasa hari Asyura. Alasannya, seperti diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa orang Yahudi hanya berpuasa pada hari Asyura saja dan Rasullah SAW. ingin membedakan puasa umat Islam dengan puasa orang Yahudi. Oleh sebab itu Nabi Muhammad menyarankan umat Islam berpuasa pada hari Asyura ditambah puasa satu hari sebelumnya sehingga puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Dengan demikian, oleh karena bulan Muharram merupakan bulan istimewa, maka meminimalkan perbuatan dosa dan maksiat itu merupakan sebuah langkah positif yang radikal dan bahkan ditekankan keharamannya pada bulan ini.
Akhirnya, dalam momentum ini, meningkatkan kualitas kedewasaan kita dalam beragama: dari perspektif menuju tradisi merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan beragam, berbangsa dan bernegara.
Banyuwangi, 19 Agustus 2020
*Saiful Bari lahir di Banyuwangi. Saat ini ia tercatat sebagai alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini, aktif sebagai peneliti the Al-falah Institute Yogyakarta. Penulis dapat ikuti melalui akun media seperti Facebook (Saiful Bari) atau Instagram dan Twitter (Albarisaif).