Cerpen: Muyassarotul H

“Aisyah, cepat temui mereka sebentar,” perintah ibu.

“Kenapa harus Aisyah, bu? Aisy kan masih sibuk, nih tulisan belum rampung,” kelakku.

“Isy…., mereka jauh-jauh dari Surabaya, ke sini ingin ketemu kamu.”
<>
“Bu, Aisy gak kenal mereka. Ibu dan Bapak saja yang temui,” jawabku yang kemudian membuat ibu sedikit marah.

“Terserah kamu. Sampai kapan kamu seperti ini? Kamu mau jadi perawan tua?” tanya ibu membuatku merinding.

(Gawat juga kalau ibu sudah berkata seperti itu. Aku takut itu sebuah kutukan.) 

“Ih serem juga ya,” batinku.

“Ibu gak boleh nyumpahin anaknya sendiri lho! Emang Ibu mau punya anak perawan tua?” 

Aku melihat ibu semakin marah. Segera aku mendekati ibu dan memeluknya.

“Baik, ibuku sayang, Aisy keluar. Jangan duko geh… Aisy pake jilbab dulu,” kataku yang kemudian memberikan ketenangan bagi ibu.

Di ruang tamu rumahku yang ukurannya tidak terlalu luas ini, kami duduk cukup berdesakkan. Beberapa menit saling diam. Keluarga haji Ismail, teman bapak, memandangiku sedikit aneh, mungkin mereka mengira cantik-cantik kok belum laku? 

(Hehe muji diri sendiri.)

Ya, banyak orang yang bilang aku cantik, pintar, udah sarjana, udah ngajar walaupun ngajar di langgar. Namun belum juga menikah. Di desaku masih mempercayai mitos. Kalau menurutku bukan mitos. Tapi semacam konstruk sosial atau stereotype. Jika perempuan sudah jadi sarjana tidak langsung menikah namun lebih memilih kerja atau melanjutkan studi, pasti gak ada laki-laki yang mau. Nah, termasuk keluargaku mempercayai hal itu.

“Mbak Aisy ini sekarang lagi sibuk apa ya?” tanya haji Ismail.

“Sibuk nulis, Pak. Juga ingin melanjutkan S2,” jawabku.

“Oh, begitu ya, masih mau sekolah? Terus sudah niat mau nikah belum?”

(Wuih pertanyaanya kok langsungan gini. Aku harus jawab apa ya?)

“Niat sih ada, Pak. Cuma mungkin bukan dalam waktu dekat ini.” 

Mereka mengangguk-angguk. Aku melirik ibu dan bapak. Mereka sedikit gugup.

“Gini lho, Pak, Aisy itu emang ingin S2, tapi gak apa-apa kok kalau nikah dulu,” tiba-tiba ibu bersuara.

“Ih ibu, kata siapa Aisy gak apa-apa nikah dulu. Kapan ibu tanya Aisy kayak gitu? Ehmm…, Gini aja, Pak, saya sudah tahu maksud Bapak dan keluarga ke sini. Saya ingin bicara empat mata sama anak Bapak dulu. Baru nanti saya bisa memutuskan, atau bahkan Mas-nya nanti yang memutuskan.” 

Mereka menyetujui syarat yang aku ajukan. 

Aku dan anaknya haji Ismail keluar rumah. Kami menuju halaman dan duduk di bawah pohon mangga kesayangan ibu.

“Namanya mas Wahid ya?” 

Dia mengangguk. 

“Mas mau nikah sama saya?” 

pertanyaanku ini membuatnya sedikit terkejut.

(Wajahnya cukup ganteng sih…)

“Kok Aisy tanya gitu? Harusnya saya yang tanya duluan.” 

Aku tersenyum mendengarnya.

Gak apa-apa, Mas. Tapi kalau emang mas Wahid ingin saya jawab duluan, juga gak papa,” kataku. 


“Saya yakin mas Wahid ini orang berpendidikan. Saya mau nikah sama mas Wahid, tapi mas Wahid mau tidak nunggu saya, minimal 5 tahun lagi?”

Matanya terbelalak.

“Aisy bercanda ya?” katanya.

Aku menggeleng, “Mau tidak?”


***

Ibu dan bapak marah-marah setelah mendengar mas Wahid menjelaskan untuk tidak jadi melamar saya. Sekali lagi ibu mengatakan hal yang sama.

“Kamu mau jadi perawan tua?”

Kalau mendengar itu hatiku sangat sedih. Aku bukannya tidak ingin menikah, tapi aku belum menemukan seseorang yang mampu bertahan hidup denganku.

Aku merenung kembali. 

(Duh Gusti, jika menikah akan membahagiakan orang tua hamba, mohon temukan hamba dengan jodoh hamba…”)

***

“Aisyah…,“ panggil Usman, teman lamaku. 

“Hai, mau kemana?” tanyaku.

“Aku mau ke kantor pos. Mau ngirim berkas-berkas,” katanya.

“Berkas apa?” tanyaku. 

“Formulir pendaftaran dan persyaratan ke pasca-UNY.” 

Aku terkejut, Usman mau melanjutkan S2. 

(Jangan-jangan dia berjodoh denganku) pikiranku mulai kemana-mana.

“Oh ya, Isy, aku mau ngomong bentar sama kamu. Setelah dari pos, kita ngeteh di warung, yuk,” katanya. 

“Boleh,” jawabku.

Beberapa menit setelah kami saling diam di warung mbok Yun, dia mengungkapkan perasaannya. Dia menyukaiku. Dia ingin menikah denganku. Bahkan dia bilang, 

“Mari sama-sama kita melanjutkan S2.” 

Saat itu perasaanku berbunga-bunga. Visi dari Usman sama denganku, tapi tunggu, aku tidak bisa begitu saja menerima perasaannya. Walaupun dia cukup lama aku kenal, namun aku belum mengetahui yang satu ini.

“Kamu benar-benar mencintaiku?” tanyaku. 

Dia mengangguk yakin. 

“Apakah aku cantik bagimu?” tanyaku. 

Dia lebih megangguk yakin. 

“Tapi, bukankah gadis di belakangmu itu lebih cantik dariku?” tanyaku lagi. 

Kemudian dia menoleh ke belakang sambil berkata, “Siapa? Yang mana?” 

Aku menghembuskan nafas panjang. Mungkin kekecewaan yang aku rasakan. 

“Usman, katanya kamu mencintaiku, tapi kenapa kamu masih menoleh ketika aku berkata ada yang lebih cantik dariku? Maaf ya, aku tidak bisa menerima perasaanmu,” kataku sambil berdiri dan segera beranjak. 

Aku mendengar kata terakhir Usman. 

“Tunggu Isy, aku tidak bermaksud seperti itu.” 

Namun aku tidak memperdulikannya kembali.

Apakah karena hal semacam ini yang kemudian membuat banyak hati perempuan terluka. Laki-laki memang lebih mementingkan fisik perempuan. Hufh….

(“Duh Gusti, siapa jodohku?”)

***

Aku mendekati Wahyu, teman di kampusku dulu. Dia sekarang menjadi guru SD. Dia cukup pintar dan terlihat begitu berbakti kepada orang tuanya. Katanya sudah lama dia menaruh hati kepadaku. 

“Baru pulang ngajar ya?” sapaku. 

“Hey! Iya nih Isy, kamu dari mana?” 

“Aku dari rumah Mbak Dian, jahitin kain.” 

Dia mengangguk. 

Kami melangkah bersama, kebetulan rumah kami satu arah. 

“Apa pendapatmu tentang perempuan yang sudah S2, sudah kerja dan cukup pintar?” tanyaku.

“Wah, hebat sekali. Kenapa kamu tanya seperti itu?” tanyanya balik.

“Ehmm…, nggak kenapa-napa kok. Cuma sayangnya perempuan itu belum nikah, gimana?” 

Wahyu menghentikan langkahnya. 

“Oh, kalau menurut aku sih, perempuan tersebut perempuan yang hebat dan mampu mandiri, cuman kalo dia belum menikah aku khawatir tidak ada cowok yang mau dengannya.” 

Aku terkejut mendengar jawabannya. 

“Maksud kamu?” tanyaku lagi.

“Ya… laki-laki tidak akan berani mendekati perempuan yang seperti itu, bisa minder mereka,” katanya. 

“Jadi maksud kamu, perempuan seperti itu bakal jadi perawan tua?” 

Dia mengangguk. Aku kembali mengela nafas dan memukul dahiku sendiri.

(Maaf Wahyu, kamu bukan untukku).

Aku heran. Kenapa perempuan serbasalah; tidak berpendidikan salah, berpendidikan tinggi pun bisa salah. 

(“Gusti… lalu siapa jodohku?”)

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi memikirkan pernikahan. Aku konsentrasi dengan niatku S2. Ibu dan bapak pun tidak henti-hentinya menanyakan kapan nikah? Kapan nikah? Dan aku pun tidak henti-hentinya mengatakan, “Kalau sudah ketemu jodoh, njih kulo nikah, Bu.”

Di sela-sela kesibukan kuliah, ibu selalu menyuruhku pulang. Ibu selalu bilang, kenapa harus ngekos. Di rumah juga bisa, kuliah naik motor. Tapi aku tidak mau, pasti konsentrasiku pecah, gara-gara selalu disuruh untuk menikah. 

Karena aku orang yang paling takut jika ibu duko, akhirnya setiap ibu menyuruhku pulang, pasti aku penuhi walaupun akhirnya di rumah aku selalu menemui orang-orang yang ingin melamarku. Namun tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab pertanyaanku secara adil atau bijaksana, atau minimal memahami perempuan atau sekedar menjawab sesuai dengan yang ku inginkan.

Orang pertama

“Mas Adi, saya mau menikah dengan mas Adi. Tapi mas, jika seandainya saya mandul atau tidak bisa memberi keturunan kepada Mas Adi, apakah mas Adi akan menikah lagi?”

Orang kedua

“Mas Hisyam sudah berapa kali pacaran? Terus putusnya kenapa?”

Orang ketiga

“Menurut mas Udin, kalau seorang istri bekerja, lalu seorang suami mengerjakan pekerjaan rumah, boleh tidak?”

Orang keempat

Awalnya aku menaruh harapan sama dia, karena beberapa pertanyaan sesuai dengan keinginanku. Tapi kemudian,

“Mas, kenapa mau memilih saya?”

“Kamu gadis pintar, cantik, namun sederhana,” katanya.

“Tapi saya masih harus menyelesaikan kuliah,” kataku. 

“Saya akan menunggu, sampai kamu mau menikah denganku,” katanya.

“Di belakang, Mas, ada yang lebih cantik dari saya lho.” 

Dia tidak menoleh.

“Gadis di depanku yang paling cantik.” (Wwuuuih aku jadi klepek-klepek).

“Ehmm… mas Khilmi, jika kita sudah menikah, kemudian umur saya tidak panjang. Apa mas Khilmi akan menikah lagi?” 

Dia terdiam lama, cukup lama. Karena terlalu lama diam, aku pun kecewa kembali.

(“Gusti…, siapa jodohku?“)

Ibu kembali duko. Kalimat-kalimat yang membuatku merinding kembali terdengar.

Namun bapak sedikit memberi udara segar bagiku. 

“Ya sudah Aisy, bapak sekarang tidak akan memaksa kamu untuk menikah. Carilah jodoh yang kamu inginkan, namun jika sampai kamu lulus belum juga ketemu jodohmu, kamu harus mau dengan pilihan kami. Siapapun pilihan kami!”

Suara bapak cukup tegas mengatakan kalimat ini. Walaupun syarat ini sepeti tantangan dari bapak, tapi aku tetap merasa lega. Ya, setidaknya untuk sementara aku bisa lebih konsentrasi pada kuliahku.

***

Beberapa waktu tak terasa aku lewati. Keseriusanku dalam belajar membuatku dengan mudah menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Bahkan tesis pun sudah selesai. Namun aku melupakan sesuatu. 

HP-ku berdering, aku segera mengangkatnya

“Assalamualaikum, Pak? Pripun kabare?” kataku.

“Alhamdulillah, nduk. Kamu katanya bulan depan sudah mau sidang?” kata bapak.

“Iya, Pak, Alhamdulillah…,” kataku. 

“Kamu tidak lupa kan, nduk?” 

“Lupa apa, Pak?”

“Kamu sudah punya pacar belum?” 

Mendengar pertanyaan bapak aku baru menyadari  janjiku setahun yang lalu.

(Duh Gusti bagaimana ini?

Njih, Pak, saya ingat, tapi Bapak sabar, njih. Masih ada beberapa bulan ke depan. Insyaallah Aisy akan menemukan pilihan Aisy.” 

“Ya sudah, nduk, semoga ujiannya sukses,” kata bapak.

Aku menutup telepon bapak. 

(Gustii… aku harus mencari ke mana lagi jodohku? Berilah petunjuk-Mu.

Sementara kekacauan hati ini selalu menghantuiku. Selama itu pula, pikiranku kosong. Aku bingung. Aku membayangkan wajahku berubah menjadi lebih tua karena memikirkan hal ini. 

Bukannya tidak ada cowok yang mendekatiku, aku lebih asik dengan diriku sendiri, asik dengan buku-buku bacaanku, asik dengan hobi menulisku, asik dengan kesendirianku, dan mungkin lebih tepatnya aku terlalu meragukan laki-laki, apa ada laki-laki yang sesuai keinginanku, sesuai doa-doaku.

Aku tidak pernah pacaran, wajar jika aku mengharapkan laki-laki yang tidak pernah pacaran. Aku mencintai ilmu, wajar jika aku mengharapkan laki-laki mencintai ilmu. Aku perempuan mandiri tentu wajar juga kalau aku mengharapkan laki-laki yang mandiri. Terakhir aku perempuan yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan aneh, pikiran-pikiran rumit, wajar jika mengharapkan laki-laki yang mampu menjawab pertanyaanku dan memecahkan kerumitan pikiranku.

Tapi mengingat kalimat bapak setahun lalu, membuatku berpikir, apakah keinginanku itu terlalu muluk-muluk? Aku sadar tidak ada manusia yang sempuna, begitupun aku yang masih banyak kekurangan. Aku mulai benar-benar serius memikirkan yang namanya pernikahan.

Malam-malamku terisi penuh dengan shalat dan dzikir yang selalu aku panjatkan. Berharap Tuhan memberi petunjuk kepadaku. Terkadang aku sampai tertidur di perpustakaan. Aku tidak mengenali diriku sendiri, aku tidak bisa ceria seperti biasa, tenang seperti biasa. Bahkan porsi makan pun ikut berkurang. Semua ini sama sekali bukan karena aku akan menghadapi ujian, namun karena janjiku kepada bapak, menikah dengan laki-laki pilihannya, bukan pilihanku.

Beberapa kali aku mencoba mendekati teman-temanku yang belum menikah, siapa tahu karena mereka sudah kuliah di pasca jadi memiliki pemikiran yang lebih bijak. Namun sayangnya, tak satu pun yang membuat hati ini cocok.

Pernah, suatu malam aku mengalami mimpi yang aneh. Benar-benar aneh. Aku pikir selama ini jarang sekali aku bermimpi, tapi mimpi malam itu terlihat jelas dan masih teringat sampai saat ini. ketika aku sedang berjalan bersama pamanku, tiba-tiba banyak sekali ular yang mengelilingiku, ada yang hitam panjang, ada juga yang pendek namun menyeramkan. Juga ada yang warnanya bercampur antara putih dan biru kehitaman sepertinya ular itu memiliki bisa yang beracun. 

Paman mencoba menjagaku dari ular-ular tersebut. Anehnya semua ular tidak ada yang berhasil mendekatiku. Semua menyerang paman, sampai paman kewalahan menangani ular-ular itu. 

Ketika aku dalam keadaan panik dan bingung melihat kondisi pamanku, tiba-tiba dari samping, persis samping kananku muncul seekor ular. Ya, ular ini terlihat terbang dan memiliki sayap yang indah. Bukan hanya sayap yang indah, namun juga warnanya yang bening keemasan. Aku terpukau melihatnya, bahkan aku begitu mengagumi keindahannya. 

Saat aku terlena, ular emas itu melilit tubuhku kencang, nafasku pun sesak. Kepala ular tersebut mengarah padaku, dan matanya menatap mataku. Kemudian ular emas itu mematuk bibirku. Saat itu paman berteriak memanggilku, namun aku sudah tidak merasakan apa-apa, aku pun terjatuh. 

Kemudian aku terbangun.

(Duh Gusti…, pertanda apakah itu?)

***

Ujianku lancar. Nilaiku “A”. IPK-ku juga cantik, tapi kenapa perasaanku tambah kacau seperti ini? Gusti…,

Aku melangkah ke belakang gedung pasca. Aku duduk di bawah pohon beringin. Aku melempar pikiranku jauh, entah apa yang aku pikirkan. Tak terasa air mata ini jatuh membasahi pipiku. 

Gusti, kenapa hamba tidak bisa memilih sendiri suami untuk hamba. Apakah perempuan memang ditakdirkan untuk dipilih bukan memilih?” Aku merasakan perasaan yang berat, berat banget.
“Aisy, kenapa menangis?” 

Aku menghentikan tangisanku, segera aku usap air mata dan menoleh pada asal suara. 

“Ahmad?”

Aku melihat Ahmad, teman kampusku, namun tidak satu jurusan. Aku mengenalnya ketika mengikuti seminar nasional tahun lalu. Kemudian kami hanya beberapa kali ketemu ketika diperpustakaan.

Nggak apa-apa. Eh, kamu ngapain di sini?” tanyaku.

“Aku tadi mau ke perpus, tapi dari atas aku lihat kamu sendirian, terus kayak lagi nangis gitu, jadi aku turun dan nemuin kamu. Kamu jelek juga kalau nangis,” katanya membuatku terbahak.

“Bukannya kamu baru lulus? Kenapa malah sedih? Oh ya, selamat ya! Aku masih nunggu jadwal ujian nih, belum keluar,” katanya, membuatku kembali tersenyum.

“Oh ya! Kamu kenapa nangis? Boleh kok kalau mau berbagi. Siapa tahu aku bisa membantu,” katanya. 

“Siapa bilang aku nangis, ini tadi ada debu masuk mata,” kataku mengelak, dan dia malah terbahak.

“Kamu gak bisa pura-pura di depanku. Dah, cerita aja, biar plong, masalah ilang deh,” katanya.

“Mana bisa kamu bantu masalahku ini.”

“Siapa tahu bisa,” katanya lagi.

“Ehmmmm, Aku dah disuruh nikah sama orang tuaku,” kataku. 

Dia diam dan kemudian tertawa mendengar keluhanku. 

“Koq malah tertawa sih, katanya mau bantuin?” 

“Maaf, maaf…… jadi gara-gara disuruh nikah sampe nangis-nangis di bawah pohon, nanti kesambet setan lho!” 

Kami pun malah tertawa bersama.

“Eh, Mad, kalau kamu, apa sudah menikah atau hampir menikah, atau sudah punya pacar gitu?” tanyaku. 

Dia kembali tertawa. Aku mengernyitkan dahi.

“Umurku sudah 29 tahun dan orang tuaku juga sudah mengingatkanku tentang pernikahan. Tetapi aku belum menemukan gadis yang kuinginkan,” katanya. 

(Emmm, aku jadi penasaran seperti apa gadis yang diinginkannya.)

“Sebenarnya gak neko-neko sih, yang sederhana dan simple saja. Aku punya keinginan, memiliki istri yang satu visi, yang bisa diajak berjuang mandiri tidak bergantung kepada orang tua, dan istri yang hebat di mataku, anak-anakku dan di mata keluarga.” 

Aku mengangguk. 

“Istri yang hebat itu seperti apa? Apa dia harus selalu berada di rumah, memasak, membereskan pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan melayani suami?” tanyaku, dia kembali terbahak.

“Wah, pertanyaanmu seperti mau menjebak saja,” katanya sambil tersenyum. “Trus yang seperti apa?” tanyaku.

“Kalau itu semua sih bukan hanya pekerjaan istri, suami juga harus bisa semua itu. Ya istri yang hebat itu istri yang mau melengkapi kekurangan suami, mau melindungi suami, selalu bangga kepada suami. Juga mau dilengkapi suami, dilindungi suami dan mau dibanggakan suami. Bukankah masing-masing punya kelebihan dan kekurangan? Satu lagi, istri yang hebat itu istri yang mandiri,” katanya. 

(Oh, Gusti,  kenapa dadaku semakin sesak? Degupannya kenceng banget? Aku baru kali ini grogi di depan laki-laki.)

“Hey, Isy kok diam saja?” tanyanya. 

Aku terkejut dan tersenyum malu.

“Kalau misal istrimu tidak memiliki umur yang panjang, atau istrimu mandul, kamu akan menikah lagi?” tanyaku. 

Dia menatapku heran. 

“Kenapa kamu tanya seperti itu?” tanyanya. 

“Ya, anggap saja, aku itu pura-puranya calon istrimu. Jadi kamu harus jawab pertanyaan ini,” kataku sambil menahan malu. 

Dia tertawa.

“Kamu ada-ada saja? Emang kamu mau jadi istriku?” katanya. Hatiku malah ndredeg dengan pertanyaannya.

“Tergantung jawabannya dulu,” kataku. 

Dia kembali tertawa.

“Isy, dengerin ya! takdir seseorang, bukanlah ditentukan oleh orang tersebut, namun yang Maha Qodir yang menentukan. Kalau aku menjawab iya, aku akan menikah lagi atau tidak, aku tidak akan menikah lagi, itu seakan aku sudah mendahului takdir,” katanya. 

“Ya, maksudku kalau, kalau saja, ini cuma ‘ka-lau’, terus apa jawabanmu?” kataku. 

Dia menatapku.

“Isy, kalau suamimu tidak berumur panjang, atau mandul, kamu mau minta cerai dan nikah lagi?” tanyanya.

“Ih, kok kamu malah balik tanya?”

“Kamu jawab duluan, baru aku memberimu jawabannya.” 

Aku terdiam ketika Ahmad malah memberiku pertanyaan yang sama.

(Duh Gusti, kenapa aku malah bingung ya? Aku pun tidak bisa menjawab pertanyaan ini.) 

Aku terdiam cukup lama.

“Aisy… aku tahu kamu pasti sedang mencari laki-laki yang kamu harapkan mampu menjawab pertanyaan ini, karena aku tidak bisa menjawabnya, jadi aku bukan pilihanmu ya?” katanya kembali bercanda. Kami pun kembali tersenyum. 

“Oh ya, aku harus segera pulang, tadi ibuku telpon, lusa aku harus menemui seseorang. Katanya sih calon istriku…hehehe,” katanya. 

“Kamu mau menikah?” tanyaku, sedikit kecewa. Entah kecewa kenapa.

“Ya, kalau dia bisa menjawab pertanyaanku, hahahaha……” Katanya, “tapi bukan pertanyaan yang tadi itu. Kalau pertanyaan tadi, kamu yang pinter aja gak bisa jawab? Hahaha…” katanya lagi dengan ketawanya yang khas. 

Dia berdiri hendak meninggalkanku.

“Ahmad, aku penasaran. Kamu mau bertanya apa pada calon istrimu,” kataku. 

“Aisy penasaran? Beneran mau tahu?” Aku mengagguk yakin.

“Baiklah, itung-itung latihan, hehehe… kamu harus jawab ya, kan pura-puranya kamu calon istriku.” 

Aku tersenyum dan mengangguk. 

“Jika kamu jadi istriku nanti, maukah kamu melengkapi kekuranganku, karena aku akan berusaha melengkapi kekuranganmu.” 

Tanpa aku sadari aku menjawab pertanyaannya dengan hati.

“Ya, aku mau,” jawabku. 

Tiba-tiba kami saling diam. Dan saling pandang. Dia memandangku cukup lama dan aku memandanginya cukup lama.

Kemudian segera kami tersadar dan saling membuang pandangan.

“Weh, Aisy aja mau, semoga perempuan yang dipilihkan ibu juga menjawab demikian…hehehe,” katanya mengagetkan perasaanku. 

Aku pun mengangguk. 

“Semoga jodoh ya, Mad,” kataku. 

Dia pun berlalu. 

Kemudian berhenti beberapa meter di depanku. Dia bertemu dengan temannya. Untuk beberapa saat, aku bebas memandanginya. Aku benar-benar memandangi tubuhnya yang tinggi rambutnya yang ikal tapi rapi, gaya bicaranya yang santun, dan senyum khasnya yang bisa membuat orang nyaman berlama-lama ngobrol dengannya. Ah, kenapa pikiranku penuh harap tentangnya.

Kenapa perasaanku jadi aneh, Gusti, sekarang aku berharap Ahmad adalah jodohku.

Duh Gusti,  giliran aku jatuh cinta kepada seseorang, ternyata engkau berkehendak lain. Dia sudah akan bertemu dengan jodohnya. Benar kata Ahmad. Takdir, hanya Engkau yang menentukan.

HP-ku berdering, aku segera mengangkat telponku.

“Ya, Bu, Alhamdulillah nilainya baik. Besok ya, Bu? Iya nanti sore Aisy pulang, Bu. Aisy boleh tahu namanya? Ya, nama yang mau dikenalin sama Aisy. Siapa nama laki-laki pilihan bapak itu?” 

Aku kurang mendengar suara ibu.

“Maaf, Bu, Aisy gak denger. Ini lagi ada pesawat lewat. Bisa diulang. Siapa, Bu? Ahmad Najmu Tsaqib?” teriakku agak kencang karena bising mendengar pesawat lewat. 

Tak kusangka karena suaraku yang keras sampai terdengar mereka yang berdiri di depanku, termasuk Ahmad.

“Apa Aisy? Kamu memanggilku?” Tiba-tiba dia berbicara kepadaku. Aku pun bingung, siapa yang manggil dia? Aku menggeleng. Dia pun kembali berbicara dengan teman-temannya. 

Aku kembali berbicara dengan ibu, namun beberapa saat kemudian aku tersadar, aku kembali memanggilnya dan bertanya kepadanya. 

“Hey Ahmad,” dia menoleh ke arahku. “Iya Isy, ada apa?”

“Emang nama lengkapmu siapa?” 

Dia mendekatiku. Suara ibu masih terdengar “Isy, kamu kenapa? Isy halo halo…”

“Kamu tanya nama lengkapku?” katanya. 

Aku mengangguk. 

“Nama lengkapku, Ahmad Najmu Tsaqib” katanya. 

Aku terdiam, tak tahu lagi harus berkata apa. Suara ibu masih terdengar di telingaku.

“Isy, Nduk, kamu kenapa, Halo…. kamu baik-baik saja kan?”

Hatiku berdegup kencang, apakah perempuan yang akan dia temui besok lusa adalah aku? Apakah laki-laki pilihan bapak adalah dia? Akankah kami berjodoh?

Gusti…., inikah yang dinamakan takdir?


Krapyak Kulon 3 April 2013
Pukul 01.08 

(Pernah dimuat d NU Online pada  21 April 2013: Ada sedikit perubahan dari tulisan sebelumnya, namun konten tetap sama.)

*Muyassarotul H, pendidik di TPA Masjid Az Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul.

(Terima kasih sudah membaca, jika bermanfaat, monggo bisa dibantu membagikan sehingga lebih meluas manfaatnya. Salam Cinta….”

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here