SATU
KEBERANIAN
Arus air sungai yang dingin itu menyentuh kulit kakinya tepat ketika bayangan seseorang yang begitu dia cintai hadir dalam pikirannya. Dia membiarkan dirinya larut dalam bayangan itu dan menurutkan kata hatinya sampai dia merasakan suatu kedamaian yang membuatnya merasa lebih tangguh dan kuat. Sejenak dia mendesah, menarik nafas sedalam perasaannya dan menggerak-gerakkan kedua kakinya sehingga air sungai itu memasuki sela-sela jari kakinya. Dan sebongkah batu yang dia duduki mulai terasa dingin, mendinginkan pikiran-pikiran akan masa lalunya. Dia bersyukur bisa sendirian menikmati ketenangan itu.
Dia membuka mata setelah lama terpejam, saat mendengar seseorang memanggilnya.
“Hilda! Ayo pulang, sudah sore. Nanti bisa tertinggal jama’ah Maghrib.” Andin muncul di belakangnya dengan wajah sedikit cemberut. “Ngelamun apa sih? Beberapa kali aku memanggilmu, masih saja merem.” Hilda tersenyum, lalu bangkit dan mengambil sandalnya. Kemudian mereka kembali ke pesantren.
***
Bagi Hilda, Pesantren Darussalam adalah seperti rumahnya yang nyaman, teduh dan penuh harapan. Hilda sangat mencintai semua orang yang ada di pesantren ini, khususnya Pak Kiai dan Ibu Nyai.
“Ketika saya dan ibu tersesat dalam hutan yang penuh dengan iblis, ada cahaya teduh yang memancar dan menuntun kami untuk mendekatinya. Cahaya itu berasal dari bilik pesantren Darussalam.” Begitu ditulis Hilda dalam buku hariannya.
“Tidak mudah bagi saya untuk meraih cahaya itu. Seperti berjalan melewati bayangan hitam, gelap dan menyeramkan.”
***
Hari ini adalah hari yang dia nantikan, di mana hari itu akan diadakan acara Dialog Keagamaan dan dia ingin mencurahkan segenap perasaannya yang mendalam di acara tersebut. Acara yang melibatkan santri putri se-Kebupaten Jepara itu memang diadakan setiap tahun. Dan tahun ini, Pesantren Darussalam yang ditunjuk menjadi tuan rumah. Walaupun acara ini merupakan ajang latihan bagi para santriwati untuk melakukan ijtihad dalam rangka memutuskan suatu hukum, akan tetapi semua pesertanya benar-benar menyiapkan jawaban dan argumen berdasarkan dalil-dalil yang telah mereka pelajari sebelumnya.
Hilda masih terlihat tenang ketika muncul pertanyaan pada sesi pertama. Tetapi pada saat muncul pertanyaan kedua, perasaan Hilda mulai resah. Hatinya bergemuruh dan badannya mulai mengeluarkan keringat dingin. Rasa kepercayaan dirinya tiba-tiba luntur saat beberapa peserta memberikan tanggapan atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi.
Pertanyaan itu ditanyakan oleh salah satu kakak kelas Hilda yang merupakan seorang mahasiswi semester akhir dan juga aktif dalam Organisasi Perempuan. Karena pertanyaan itulah, Hilda berusaha sekuat tenaga untuk belajar. Dia sering menghabiskan waktu seharian di perpustakaan kampus untuk mengumpulkan referensi. Bahkan dia juga kerap menghabiskan waktu luangnya dengan membaca kitab-kitab di sudut Mushalla pondok atau di balik jendela biliknya.
Saat di perpustakaan, Hilda menemukan data mengerikan tentang kekerasan seksual terhadap perempuan. Sepanjang 2010 hingga 2011, rata-rata setiap dua jam ada tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Dan itu berarti ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Hilda terdiam membayangkan kengerian-kengerian yang dirasakan oleh mereka, kaum perempuan yang menjadi korban itu.
“Ada yang ingin berpendapat lagi terkait pertanyaan tadi? Apakah perkosaan hukumnya sama dengan perzinahan?” sang moderator kembali mengulang pertanyaan kedua. Tak lama kemudian salah satu peserta mengangkat tangan.
“Seperti yang sudah disampaikan oleh teman-teman yang lain, bahwa ada persamaan antara perkosaan dan zina. Memang sih, dalam perkosaan ada unsur penolakan dari perempuan, tetapi mungkin juga karena perempuannya itu yang salah,” katanya.
Seketika Hilda menatap peserta tersebut dengan sorot mata penuh amarah.
“Dalam Islam, kita sebagai perempuan seharusnya menggunakan pakaian yang tertutup sehingga tidak mengundang syahwat laki-laki. Rasulullah bersabda: Shinfani min ahli al-nari lam arahuma… wa nisaun kasiyatun ‘ariyatun mailatun ruusuhunna kaasimatin al-bukhti al-mailati la yadkhulna al-jannah wa la yajidna riĥaha. Atinya, ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu para wanita yang berpakaian tapi telanjang (tipis atau tidak menutup seluruh aurat), berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya. Hadist Riwayat Abu Dawud.” Hasanah, salah satu santri perwakilan dari Pesantren Ar-Rahmah menyampaikan pendapatnya.
“Ada hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: Tidak diterima salat perempuan yang sudah haidh (balighah) kecuali dengan menggunakan kerudung. Hadis ini Riwayat Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah rahimahumullah. Jadi, jika perempuan demikian, ya hukumnya sama saja dengan mereka berzina,” tambah Hasanah.
Perasaan yang penuh pemberontakan dalam hati Hilda semakin memuncak, tapi mulutnya tak kunjung terbuka. Ia merasa seakan ada yang menahannya untuk bersuara, dan dia takut, tubuhnya bergetar dan keringat dingin semakin mengucur deras dari tubuhnya.
“Saya sependapat dengan Mbak Hasanah,” seorang peserta lain menimpali. “Terkadang perkosaan itu terjadi karena kesalahan dari perempuannya sendiri. Kita sebagai perempuan tidak boleh bersolek berlebihan, kecantikan kita hanya kita dan suami yang boleh menikmatinya. Jika kita bersolek berlebihan, apalagi tidak menutup aurat, kita seolah-olah membiarkan orang lain menikmati kita.”
“Perempuan seperti itu yang menjadi sebab utama terjadinya zina. Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 19 bahwa sesungguhnya orang-orang yang menginginkan tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Bunyi ayatnya sebagai berikut innalladzina yuhibbuna an tasyi’a al-fahisyatu fi al-ladzina amanu lahum ‘adzabun alimun fi al-dunya wa al-akhirati. Itu pendapat saya. Jadi ada persamaan hukum antara perkosaan dan zina,” lanjutnya.
Kali ini tak terasa Hilda meneteskan air mata. Betapa menderitanya perempuan yang menjadi korban perkosaan. Meskipun mereka menanggung beban yang berat, mereka bukannya dilindungi tetapi malah dianggap sebagai penyebab terjadinya perbuatan keji tersebut.
Ketika perempuan minta keadilan, kebanyakan dari mereka tidak mampu memperjuangkan dan mendapatkan keadilan itu. Aturan hukum menuntut mereka mendatangkan saksi dan bukti. Sementara sangatlah sulit bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan untuk mendatangkan saksi dan bukti. Sebab kejadian keji seperti itu biasanya dilakukan di tempat sepi, atau bahkan dilakukan ketika perempuan tidak sadarkan diri. Tidak cukupkah mereka yang tersakiti menjadi saksi utama atau bukti utama dari kejahatan tersebut?
Namun sebaliknya, laki-laki sebagai pelaku pemerkosa dapat dengan mudah lolos dari jeratan hukum. Sulitnya menghadirkan bukti membuat para pelaku perkosaan tidak jera, mereka merasa aman dari hukum sehingga sangat mungkin mereka mengulangi lagi perbuatannya.
Andin, yang bertugas sebagai moderator, sesekali memandang Hilda dari jauh. Dia menunggu Hilda untuk ikut bersuara. Sebagai teman sekamarnya, Andin tahu bahwa selama berbulan-bulan sebelum acara ini, Hilda sering terjaga di malam hari untuk membaca buku dan kitab-kitab. Apalagi menjelang acara ini Hilda selalu mengigau dan bermimpi buruk.
“Sepertinya saya belum mendengar pendapat dari santri Darussalam sendiri untuk menanggapi masalah ini,” kata Andin ‘memancing’, dan ia berhasil. Afwa, salah satu peserta dari Pesantren Darussalam mengangkat tangan.
“Saya kurang setuju dengan beberapa pandangan yang sudah dikemukakan tadi. Masalahnya, kita membahas perbedaan antara perkosaan dan zina, tapi malah melebar kepada persoalan perempuan. Apalagi ada kalimat perempuan jadi penyebab terjadinya perilaku tersebut.”
Belum selesai Afwa berbicara, tiba-tiba ada peserta yang menyela, “Maaf, saya menyimpulkan pendapat ini bukan menurut pendapat pribadi, tapi tadi saya juga sudah menjelaskan sumber-sumber rujukannya.”
“Iya Mbak, tapi pendapat anda…”
“Sebutkan sekali lagi sumber rujukan yang Anda sampaikan tadi!” Kali ini tiba-tiba Hilda ikut menyela dan hal itu cukup membuat Afwa merasa lega. Termasuk juga Andin. “Akhirnya, dia berani angkat suara juga,” Afwa membatin.
“Itu ada hadis dari Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah rahimahumullah, juga sudah jelas dalam Al-Qur’an,” jawab Hasanah memenuhi permintaan Hilda.
“Mohon Mbak Hasanah menjelaskan dengan jelas, seperti hadis itu ada di kitab apa? Posisi hadisnya kuat atau lemah?” Andin selaku moderator ikut menimpali.
“Bukan hanya itu, pastikan juga asbabul wurud–nya. Untuk ayat Al-Qur’an yang sudah dikutip, mohon jelaskan juga asbabun nuzul-nya,” tambah Hilda dengan sorot mata tajam dan suara lantang. Hal itu membuat Hasanah dan juga peserta yang lain tampak terkejut.
Di tempat lain, Gus Imam, putra Ibu Nyai, yang ikut mengamati jalannya dialog tersebut juga tampak lega saat mengetahui Hilda akhirnya ikut berbicara. Ia tahu betul kemampuan dan penguasaan Hilda atas teks-teks kitab hukum Islam dan juga kemampuannya dalam menghafal. Hilda termasuk satu dari sekian santri Darussalam yang cemerlang dalam masalah intelektual.
“Da, jaga emosimu! Sampaikan apa yang kamu tahu, tapi tetap tenang, oke!” Hilda mengangguk mendengar saran Afwa dan dia mencoba mengatur nafasnya sebelum berbicara.
(Bersambung)
*Cerita Muyassaroh H, asal Panguragan Cirebon. Saat ini menetap di Wonocatur Baguntapan Bantul. Bersama keluarga kecilnya Ia menemani anak-anak di TPA Masjid Az-Zahrotun.