Luka

Sementara itu Hasanah terlihat kebingungan. Beberapa kali dia membuka lembaran kertas yang ada di tangannya. “Ehmm.. mohon maaf, kebetulan saya belum mengetahui dengan jelas kedudukan hadis tersebut.”

“Tetapi untuk ayat 19 Surah An-Nur tersebut sudah jelas, bahwa mengumbar aurat adalah perbuatan yang tidak baik dan mendatangkan perbuatan keji, dan azab Allah akan menimpa perempuan yang mengumbar auratnya,” kata Hasana dengan intonasi yang sedikit gugup.

“Anda mendapatkan penjelasan seperti itu dari mana? Tolong sebutkan rujukan kitabnya!” kata Andin.

“Terus terang saya dapatkan dari internet. Di sana ada sebuah website yang menjelaskan hal itu,” jawab Hasanah.

“Bisa sebutkan link websitenya?!”

“Saya lupa mencatat link-nya.”

“Mohon maaf, Mbak, sebaiknya kita berhati-hati kalau mengambil sumber informasi dari internet. Setidaknya, kita harus tahu alamat websitenya apa,”  

Kali ini Hasanah terdiam. Dan pada saat yang bersamaan Hilda mengangkat tangan. Andin yang sudah menunggu dari tadi langsung memberikan waktu kepada Hilda untuk menyampaikan pendapatnya.

“Jadi, menurut Anda, perempuan yang tidak menutup auratnya dan kemudian dia menjadi korban perkosaan, maka itu adalah bentuk azab bagi dia?” tanya Hilda kepada Hasanah. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Hasanah semakin terlihat kebingungan.

“Baiklah saya ingin menyampaikan pendapat saya terkait masalah ini. Akan tetapi sebelumnya, saya ingin meluruskan pendapat Mbak Hasanah dan rekannya tadi.” Hilda mengatur nafas sehingga dia menjadi lebih tanang.

“Pertama, saya juga belum tahu terkait hadis yang disampaikan tadi. Kedudukannya kuat atau lemah. Saya juga belum mengetahui asbabul wurudnya. Karena itu, menurut saya, kedua hadis tersebut kurang tepat dijadikan dalil untuk menjawab permasalahan ini.” Hilda kembali menarik nafas, seolah ingin menghirup kekuatan baru sebelum melanjutkan ucapannya.

“Tapi yang jelas, mengatakan bahwa kejahatan perkosaan itu disebabkan oleh perempuan yang tidak menutup aurat adalah pendapat yang salah dan fatal.” Hilda sedikit memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya sehingga membuat peserta yang lain memperhatikannya.

“Kemudian tentang tafsir yang Anda sampaikan juga kurang tepat. Apalagi Anda tidak menjelaskan tafsir karangan siapa yang Anda gunakan? Saya pernah membaca tafsir Ibnu Katsir tentang surah an-Nur ayat 19 itu. Beliau menjelaskan bahwa, ayat tersebut merupakan larangan yang ditujukan kepada orang yang mendengar suatu perkataan buruk, lalu hatinya menanggapi dan ingin membicarakannya. Maka janganlah ia banyak membicarakannya dan janganlah ia menyiarkan dan menyebarkan perkataan itu. Karena sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) tentang perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, kepada mereka akan ditimpakan azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. Maka kembalikanlah segala sesuatunya kepada Allah, niscaya kalian mengambil sikap yang benar,” penjelasan Hilda kali ini membuat beberapa peserta dialog hari itu merasa takjub dan tampak sebagian dari mereka mengangguk-anggukkan kepala.

“Selanjutnya, dalam riwayat Imam Ahmad yang ia terima dari Muhammad ibnu Bukair, Maimun ibnu Musa Al-Mar’i, Muhammad ibnu Abbad Al-Makhzumi, Sauban, dan dari Nabi Muhammad Saw telah dijelaskan bahwa Nabi bersabda: Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah dan jangan pula mencela mereka, serta janganlah mencari-cari keaiban mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang mencari-cari keaiban saudaranya yang Muslim, Allah akan membuka­kan aibnya hingga mempermalukannya di dalam rumahnya.” Hilda menjelaskan secara detail apa yang dia ketahui dan itulah kelebihan Hilda. Dia mampu mengingat bacaan yang pernah dia baca dengan sangat baik.

“Dengan demikian, sudah sangat jelas, bahwa ayat tersebut subjeknya bukan tentang aurat perempuan. Tapi tentang mengumbar berita keji. Dan yang perlu diingat baik-baik adalah,  bahwa kalau ada perempuan yang telanjang sekalipun, mereka tetap tidak boleh diperkosa!” Suara Hilda terdengar sangat keras dan membuat seluruh peserta di ruangan itu terdiam hening, sehening malam tanpa angin, sehening pagi tanpa kicaua burung.

“Perkosaan adalah kejahatan yang membunuh mimpi seorang wanita, menghancurkan masa depannya, membuat luka yang tak bisa disembuhkan. Karena itu perkosaan termasuk dalam kategori Hiraabah, sebuah kejahatan yang hukumannya jauh lebih berat daripada hukuman zina,” diujung kalimatnya, Hilda tak mampu menahan air matanya. Sangat jelas telihat ia menitikkan air mata sampai membasahi jilbabnya.

“Apakah kalian semua tahu, dalam Al-Quran Allah melarang manusia menggauli atau melacurkan seorang budak jika mereka menginginkan kesucian. Anda bisa baca firman Allah dalam surah An-Nur ayat 33, Wala tukrihu fatayatikum ‘ala al-bighai in aradna  tahashanan litabtaghu ‘aradha al-ĥayati al-dunya wa man yukrihhunna fainna allaha min ba’di ikrahihinna ghofururoĥim.’  Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran -sedang mereka sendiri menginginkan kesucian- karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang,” Hilda menarik ujung jilbabnya dan menyeka air matanya.

“Mari perhatikan status perempuan dalam ayat tersebut. Dia budak, yang oleh masyarakat Arab dianggap wajar kalau diperkosa dan dilacurkan. Tapi dalam ayat itu, Allah dengan tegas melindungi perempuan meskipun ia budak dari tindakan keji berupa perkosaan dan pelacuran. Lalu bagaimana bisa Anda dengan mudah mengatakan bahwa tindakan perkosaan itu penyebabnya semata-mata perempuan?”

Ruangan yang semula hening mulai terdengar suara bisik-bisik. Sebagian peserta ada yang menitikkan air mata, dan bahkan ada juga yang menunjukkan rasa penyesalannya dengan pandangan dan keyakinan mereka selama ini yang seakan-akan runtuh oleh argumen Hilda. Sementara sebagian yang lain tampak bangga dan kagum dengan argumen Hilda.

“Anda pasti sudah hafal dengan hadis berikut ‘ya ma’syara al-syababi man istatho’a minkum al-ba’ata fal yatazawwaj, fa innahu aghoddhu lilbashori, wa aĥshonu lilfarji, waman lam yastathi’ fa’alaihi bi al-shoumi fa innahu lahu wijaun.’ Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menanggung sebuah pernikahan, maka menikahlah. Karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu dapat meredam (berahi) baginya,” kali ini nada suara Hilda terdengar lebih rendah.

“Jadi, jika laki-laki tidak bisa menahan hasratnya ketika memandang perempuan, maka tundukkan pandangannya dan berpuasa. Bukan malah memperkosa perempuan, meskipun dia tidak menutup aurat!”

“Memang, perkosaan dan perzinahan sama-sama termasuk dalam kategori seksual yang dilarang oleh agama. Tetapi keduanya berbeda. Pezinahan adalah hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan pernikahan dan biasanya dilakukan secara sukarela antara kedua pihak. Sementara dalam perkosaan ada unsur paksaan, sehingga ada pihak pemaksa yakni pemerkosa, dan ada pihak yang dipaksa yakni korban. Dalam kasus ini, posisi laki-laki sebagai pelaku tentu berbeda dengan perempuan sebagai korban. Ketika melakukan perkosaan, maka si pelaku telah melakukan dua kejahatan sekaligus; dia melakukan perzinahan dan tindakan pemaksaan atas perempuan sehingga dengan terpaksa mau melakukannya. Karena itu, perempuan yang jadi korban perkosaan, tidak boleh disamakan dengan mereka yang melakukan zina, sebab mereka dipaksa, disakiti, dinodai, dan ini berbeda dengan zina. Perempuan korban perkosaan tidak boleh dikenai hukuman karena mereka tidak melakukan pelanggaran. Mereka adalah korban. Sebaliknya, laki-laki pelaku perkosaan itulah yang seharusnya dihukum karena dialah yang melakukan pelanggaran.”

“Jadi, tolong sampaikan kepada para laki-laki, tundukkan pandanganmu, tundukkan cara pandangmu! Jika ingin melihat perempuan, jangan jadikan mereka objek seksual. Tapi lihatlah mereka sebagai manusia yang patut dimuliakan, bukan dilecehkan, patut dicintai dan dikasihi bukan dinodai dan disakiti.” Hilda semakin tidak kuasa menahan tekanan perasaannya ketika menyampaikan kalimat-kalimat terakhirnya ini. Tapi dia berusaha untuk menahan gemuruh yang makin meluap di dadanya. Melihat pemandangan itu, sebagian peserta mulai resah. Apalagi santri Darussalam sendiri yang sudah banyak mengetahui  perasaan Hilda. Sementara peserta yang lain mulai menerka-nerka; siapakah Hilda itu?.

Makin gemuruhnya perasaan yang menghimpit dada Hilda membuat dia semakin tertekan. Hilda kemudian meminta izin kepada Andin untuk keluar ruangan. Saat meninggalkan ruangan, Hilda merasa bahwa dirinya semakin tidak kuasa menahan air matanya dan dia dengan langkah terburu-buru berjalan menuju pintu sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Aduh…!!!”

Tanpa sengaja Hilda menabrak seseorang yang sedari tadi berdiri di belakang pintu aula.

“Maaf. Kamu tidak apa-apa?” tanya orang itu.

“Astagfirullah. Maaf, saya tidak melihat Anda. Nyuwun ngapunten, saestu,” kata Hilda saat menyadari bahwa dia baru saja menabrak seorang laki-laki.

“Iya, tidak apa-apa.”

“Permisi.”

Laki-laki itu mengangguk dan membiarkan Hilda berlalu dari hadapannya.

***

“Argumen santri tadi luar biasa. Dia benar-benar menguasai materi. Tatapan dan kata-katanya bagaikan busur panah yang dilepaskan tepat menuju sasaran,” Wafa membatin. Dia juga merasa penasaran dengan sosok perempuan yang mampu menyihir seluruh peserta dialog agama di aula. Dia merasa beruntung datang ke aula tepat pada saat Hilda menyampaikan argumennya, meskipun kedatangannya sebenarnya bukan untuk mengikuti acara tersebut. Dia datang untuk menemui dan meminta restu Bu Nyai dan Pak Kiai, dan juga ingin menemui Gus Imam yang kebetulan hadir di acara dialog keagamaan tersebut.

Pada saat mau memasuki aula, tanpa disangka-sangka langkah Wafa tertahan dan dia malah terdiam di depan pintu. Ketika itu seorang santriwati sedang memperlihatkan kejeniusannya dalam berargumen di hadapannya.

“Fa!,” panggil Gus Imam untuk kesekian kalinya kepada Wafa yang masih tampak melamun di depan pintu aula.

“Eh, Mas Imam. Assalamualaikum.” Wafa mencium tangan kakak sepupunya itu dan Gus Imam hanya senyam-senyum saja melihat tingkah adik sepupunya.

Piye rencana S2, sido?” tanya Gus Imam dan Wafa mengangguk. Mereka kemudian mulai larut dalam obrolan.

“Kamu gak capek dari tadi berdiri di depan pintu aula?” goda Gus Imam yang sudah tahu kalau Wafa ikut memperhatikan acara dialog keagamaan santri hari itu. Ditanya seperti itu, Wafa hanya tersenyum tanpa menjawab.

“Ayo ke ruanganku!” ajak Gus Imam

“Memang sudah selesai acaranya, Mas?” tanya Wafa.

“Belum, tapi ini sudah Dzuhur, waktunya salat dan istirahat. Nanti dilanjutkan lagi, dan biasanya selesai sampai sore,” papar Gus Imam.

“Eh Mas, siapa nama santriwati yang tadi?”

“Santri yang mana?”

“Itu, yang punya argumentasi tajam soal perkosaan dan zina tadi?”

“Wah… ada yang penasaran nih!”

“Cuma tanya mas,” balas Wafa berkelit.

“Namanya Hilda. Dia santri dengan kemampuan yang unik. Jika ingin mempelajari sesuatu,  pasti dia kejar sampai berhasil. Dia juga pembaca yang kuat, pembelajar dan juga penghafal yang baik.”

Wafa mengangguk-angguk mendengar penjelasan Gus Imam soal Hilda, santriwati yang sepertinya mulai menarik perhatiannya kini.

“Sudah kuliah atau belum, Mas?” Gus Imam mengangguk.

“Kuliah di mana dan semester berapa?” Wafa semakin penasaran. Kali ini Gus Imam memandang Wafa dengan penuh curiga. Mengetahui hal itu, Wafa segera menghindari tatapan saudaranya itu.

“Hahahaha. Baru kali ini aku melihat kamu tertarik dengan perempuan, Fa.”

“Saya kan cuma nanya doang,” Wafa kembali mengelak dan Gus Imam semakin terkekeh-kekeh dibuatnya.

“Iya, iya.. Hilda itu semester empat dan kalau tidak salah jurusannya Manajemen.”

Wafa terkejut mendengar penjelasan Gus Imam, “Gila! Baru semester empat sudah mampu menguasai teks-teks agama begitu luas. Jurusannya juga bukan tafsir hadis atau ilmu keagamaan tapi malah jurusan Manajemen, Wafa kembali membatin.

Tanpa sadar Wafa memegang dadanya. Ia merasa ada debaran-debaran aneh jauh di dasar dadanya.  (Bersambung)

*Cerbung Muyassaroh H, asal Panguragan Cirebon. Saat ini menetap di Wonocatur Baguntapan Bantul. Bersama keluarga kecilnya Ia menemani anak-anak di TPA Masjid Az-Zahrotun.
Silahkan ikuti akun penulis:
FB: Muyassaroh Hafidzoh
IG: muyassaroh_h 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here