“Sudah ya membicarakan tentang Hilda. Sekarang Mas mau tanya, kamu jadi ambil S2 di mana?” tanya Gus Imam membuyarkan lamunan Wafa.

“Di Australi, Mas,” jawab Wafa. Ada perasaan bangga ketika ia menyebut nama negara yang akan menjadi tujuan studinya kali ini. Tapi entah kenapa ia sebenarnya lebih tertarik membicarakan Hilda dari pada soal kuliahnya. “Makanya Wafa ke sini mau minta doa restu dari semuanya. Hari Minggu lusa, ibu ingin mengadakan khataman di sini Mas. Tapi ibu berangkat ke Jeparanya hari Sabtu besok.”

“Lalu kamu kapan berangkatnya?”

“Sekitar tiga bulanan lagi Mas.”

“Lho, kok mendadak. Tak kiro tahun ngarep.”

“Iya Mas. Sebenarnya saya juga masih ingin lama-lama dulu di sini. Tapi ayah sudah memutuskan begitu. Tahu sendiri kan kalau ayah sudah memutuskan, ibu sekalipun tidak berani menentangnya.”

Gus Imam hanya tersenyum saja.

“Assalamualaikum,” suara salam terdengar dari luar.

Wafa dan Gus Imam menjawab salam dan melihat ke arah pintu bersamaan. Di sana ada Hilda berdiri dengan badan agak membungkuk memberi hormat.

Mengetahui ada Hilda, jantung Wafa yang semula tenang kembali berdetak kencang. Detaknya semakin terasa saat Wafa memperhatikan raut kulit wajah Hilda yang kuning lansat, hidung yang mancung, dan bibir kecil mungil dengan warna merah muda. Ditambah lagi dengan jilbab ungu yang dikenakan Hilda semakin membuat perasaan Wafa berkebat-kebit.

Nyuwun sewu, Gus., Ini kitab-kitab yang Hilda pinjam beberapa hari yang lalu,” kata Hilda saat meletakkan beberapa kitab di atas meja, tepat di depan Wafa.

Kedua mata Wafa tak berkedip melihat cara Hilda meletakkan kitab-kitab itu tepat di depannya. Ia memandangi jari-jari Hilda yang bersih tanpa pewarna dan ia tahu ada sebuah tanda lahir terlihat jelas di bawah kuku jari manisnya yang lentik itu. Wafa benar-benar terpesona dengan seseorang yang ada di depannya. Begitu Hilda pamit dan keluar dari ruangan, Wafa seperti baru tersadar dari lamunannya. Ia menghela nafas, berusaha menenangkan perasaannya yang semakin gaduh. Ia merasa kalau sepertinya dirinya mengagumi santriwati itu..

“Sebanyak ini kitab yang dia baca!?” tanya Wafa, seakan tidak percaya.

“Ya. Aku aja nggak yakin kamu sudah membaca kitab-kitab ini.”

Mereka berdua tertawa lepas mendengar seakan tidak menyadari kehadiran seseorang di ruangan itu.

“Wah, kalian kalau sedang ngobrol lupa waktu. Ayo sudah ditunggu Ummi dan Abah untuk makan siang,” Mbak Amira, istri Gus Imam sudah berdiri di tengah-tengah mereka.

***

Hilda memandangi hujan yang tiba-tiba turun. Saat itu, ia merasa begitu rindu kepada ibunya dan juga Kareem. Hujan memang seringkali memunculkan perasaan-perasaan rindu yang sentimentil. Tetapi dengan memperhatikan titik-titik air hujan itu ia merasa sedikit tenang. Hilda membayangkan tetes air hujan itu seperti malaikat-malaikat yang sedang turun untuk memberikan kesegaran bagi setiap makhluk yang merasakannya. Hilda jadi teringat ketika suatu waktu ia dan ibunya pulang dari kantor polisi saat motor yang dikendarainya mogok di tengah perjalanan. Saat itu hujan turun dengan derasnya.

“Kenapa tidak berteduh dulu, Bu?” tanya Hilda saat itu.

“Tidak perlu. Kita harus tetap jalan. Ibu pernah mendengar dari seorang Kiai, jika dalam perjalanan lalu hujan turun membasahi tubuh kita, maka saat itu ada malaikat-malaikat yang akan mengamini doa kita. Mending kita berdoa saja, semoga kita bisa melewati banyak kesulitan dan kamu jadi perempuan kuat, tangguh dan memiliki masa depan yang cerah,” jawab ibunya sambil terus berjalan menerobos hujan.

Ah, ibu adalah belahan jiwaku. Hilda membatin. Dia tidak mungkin bisa menjadi seperti sekarang ini jika bukan karena doa dan dukungan ibunya. Mengingat semua itu, Hilda semakin rindu kepada ibunya dan ia begitu mencintainya seperti halnya ibunya yang juga sangat mencintai dirinya. Seandainya seluruh manusai memiliki cinta yang besar dan suci, maka akan damailah dunia ini. Hilda menuliskan kalimat-kalimat itu dalam buku hariannya.

Aku mengingat syair Jalaludin ar-Rumi:

Karena cinta, duri menjadi mawar

Karena cinta, cuka menjelma anggur segar

Karena cinta, pukulan menjadi mahkota penawar

Karena cinta, kemalangan menjelma keberuntungan

Karena cinta, rumah penjara bagaikan kedai mawar

Karena cinta, tumpukan debu bagaikan taman

Karena cinta, api yang berkobar menjadi cahaya yang menenangkan

Karena cinta, setan berubah menjadi bidadari

Karena cinta, batu keras menjadi lembut bagaikan keju

Karena cinta, duka menjadi riang gembira

Karena cinta, hantu berubah menjadi malaikat

Karena cinta, singa tidak menakutkan seperti tikus

Karena cinta, sakit jadi sehat

Karena cinta, amarah berubah menjadi keramah tamahan

 

Cukuplah aku mencintai ibu dan ibu mencintaiku. Itu sudah seperti aku menemukan surga dalam hidupku. Tuhan, bukannya hamba ingin membuat-Mu cemburu, lantaran cintaku pada ibu. Tetapi, cinta ini wujud syukurku pada-Mu, yang telah menjadikanku terlahir dari rahim seorang ibu yang selalu mencintaiku. Tuhan, cintaku pada ibu adalah isyarat bahwa aku mencintaiMu, sangat sangat mencintaiMu.

“Hilda!” terdengar suara Andin memanggil. Hilda menghentikan menulisnya dan menutup buku catatan hariannya.

Seneng banget, kamu akhirnya bisa menyampaikan pandangan-pandanganmu. Oh iya, aku dapat kabar kalau acara dialog keagamaan kemarin dimuat media online. Katanya banyak yang merespon pendapat yang kamu sampaikan kemarin,” kata Andin. Hilda agak terkejut karena dia tidak tahu jika ada yang meliput acara itu.

Lho memangnya kemarin ada wartawan yang datang?”

Andin menggeleng.

“Saya diberitahu Bu Amirah. Beliau bilang, waktu itu ada Mas Wafa, adik sepupuh Gus Imam, ikut melihat acara dialog dan dia yang menuliskan beritanya. Katanya sih Mas Wafa punya website gitu. Jadi mungkin Mas Wafa memposting acara kita di web-nya,” jelas Andin.

“Aku tadi diliatin beritanya sama Bu Amirah. Sepertinya Mas Wafa memperhatikan betul pendapatmu. Dalam tulisannya, pendapatmu itu tertulis lengkap. Aku juga pernah denger dari mbak-mbak pondok, kalau Mas Wafa itu pinter orangnya,” Hilda hanya mengangguk mendengar penjelasan Andin.

“Kamu sudah pernah lihat Mas Wafa, kan?” tanya Andin.

 “Belum.”

“Bukannya waktu kamu mengembalikan kitabnya Gus Imam, di ruangan beliau kan ada Mas Wafa?”

Hilda coba mengingat-ingat. Memang saat itu Gus Imam sedang berbincang dengan seseorang dan orang itu sepertinya orang yang sama dengan yang dia tabrak di depan pintu Aula. Tapi Hilda tidak ingat jelas wajah laki-laki yang kemungkinan namanya Mas Wafa itu.

“Iya, tapi aku tidak memperhatikannya. Jadi aku belum jelas betul seperti apa wajah Mas Wafa itu.”

“Ganteng lho, Da. Orangnya tinggi, kulitnya putih, hidungnya mancung, alisnya tebel, bulu matanya tipis dan panjang walau matanya tidak terlalu lebar. Tatapannya itu lho,” kata Andin dengan bersemangat dan mulai merancang cara bahwa dia akan mendekati Mbak Amirah, sehingga bisa mencuri perhatian Mas Wafa.

“Mulai menghayal ya, Ndin?” goda Hilda. Andin tersenyum malu karena merasa Hilda mengetahui apa yang sedang ia pikirkan.

Sesaat setelah percapakannya dengan Andin, Hilda mulai berpikir tentang media yang ternyata bisa dijadikan sarana untuk dia menuangkan ide-idenya yang dia simpan selama ini. Kenapa aku baru sadar. Jika aku tidak berani bersuara secara langsung, aku bisa menuliskan dan menyebarkan ide-ideku di media,” Hilda membatin.

“Alhamdulillah, terima kasih Andin,” kata Hilda, membuyarkan lamunan Andin.

“Kenapa berterima kasih?”

Hilda hanya senyum dan mencubit pipi Andin tanpa memberikan jawaban.

Nggak papa, lanjutkan saja deh mengkhayalnya bersama Mas Wafa. Semoga bisa jadi kenyataan,” kata Hilda sambil berlalu pergi masuk ke bilik asrama.

Pada malam harinya menjelang tidur, Hilda menyempatkan diri menulis sesuatu di buku hariannya.

Andin memang teman yang baik. Aku sangat menyayanginya seperti saudaraku sendiri. Walapun ide cemerlang itu muncul dari bibir Andin, tetapi sepertinya aku harus mengucapkan terima kasih pada Mas Wafa. Ponakan Ummi yang menjadi cowok idaman Andin ini berhasil menyadarkanku bahwa sudah saatnya aku menulis untuk dibaca orang banyak.

Hilda menutup buku hariannya dan lalu membaringkan tubuhnya sambil berharap hari esok dia masih bisa memupuk dan memperjuangkan harapan-harapannya. 

Gadis bernama Hilda itu memasuki rumahnya dengan tubuh yang lemah. Isak tangisannya pun terdengar pilu. Dia mencari seseorang dan berharap orang itu bisa menghentikan tangisannya. Langkahnya yang tidak teratur membuat kakinya menendang meja kecil sampai vas bunga yang ada di atasnya terjatuh dan pecah. Suara pecahan vas bunga itu membuat ibunya, Bu Zubaidah, yang sedang asyik memasak lari menghampiri. Dilihatnya sosok gadis yang dicintainnya terduduk sambil tersedu-sedu. Segera dia peluk gadis itu.

“Masya Allah nak, kenapa sayang? Ada apa?”

“Ibuuuuuuu……..,” tangisnya kian pecah seperti vas bunga yang baru saja jatuh hancur berantakan.

“Sayang, Hilda.. ada apa? Kenapa kamu menangis seperti ini?”

Bu Zubaidah merasa kebingungan. Ia berusaha mengingat-ingat bahwa semalam Hilda pamit untuk menghadiri acara pentas seni dengan teman-temannya dan dia sempat mengirim sebuah pesan kepadanya bahwa putrinya itu akan  menginap di rumah temannya.

Tangan Bu Zubaidah terus mengelus-ngelus kepala putrinya yang masih menangis sesenggukan. Dan setelah memeluk putrinya untuk kesekian kalinya, tangis Hilda lambat laun mereda. Ia memapah Hilda menuju kamarnya sambil terus bertanya dengan penuh penasaran dan rasa cemas. Hilda yang ia kenal sebagai gadis yang tegas, murah senyum dan selalu memancarkan sorot kebahagiaan dari kedua matanya, hari itu telah menjadi sosok yang asing baginya. Ia melihat Hilda bukan seperti yang biasanya. Tatapan mata gadis itu sekarang begitu kosong dan tidak ada rona kebahagiaan lagi di wajahnya sehingga kecemasan dan ketakutan makin meliputi perasaannya.

Setelah suara tangisan Hilda mulai menghilang, terlihat ia mengatur nafasnya dan berusaha menyampaikan sesuatu kepada ibunya. Tetapi ibunya melihat ada keraguan yang membuat Hilda seperti kesulitan mengatakan sesuatu kepadanya.

“Ada apa sayang? Katakan saja, ibu selalu bersamamu, ibu akan selalu menjadi pelindungmu,” kata ibunya.

Hilda pun berusaha membuka mulut. Ia merasa perlu menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi meski ia tahu ibunya pasti akan mengalami penderitaan yang sama dengan dirinya.

“Ibu. Hilda, Hilda sudah tidak suci lagi,” kata Hilda dengan suara yang parau dan berat. Tangisnya kembali pecah dan terdengar lebih keras dari sebelumnya. Dalam tangisannya itu, seolah tergambar rasa sakit yang begitu menyayat.

Nafas Bu Zubaidah yang sejak tadi memeluk tubuh Hilda seakan terhenti. Dadanya seperti dihantam palu besi dengan hantaman yang sangat kuat dan membuat pandangannya berkunang-kunang. (bersambung)

*Cerita Muyassaroh H, asal Panguragan Cirebon. Saat ini menetap di Wonocatur Baguntapan Bantul. Bersama keluarga kecilnya Ia menemani anak-anak di TPA Masjid Az-Zahrotun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here