Haruskah Bersembunyi?

Laporan penjualan hari ini sudah aku kirim ke pak Salim, sekarang tinggal menyelesaikan tugas kuliah untuk besok. Hari-hari yang kulalui di sini membuatku merasa lebih tenang. Kuliah dan kerja sungguh pengalaman hidup yang menyegarkan. Apalagi bu Yanah dan pak Salim yang baik hati selalu membuatku merasa nyaman. Di tambah kegiatan masjid yang cukup menghibur, bisa belajar bersama anak-anak TPQ dan juga ngaji bersama ibu-ibu jamaah masjid. Aku bersyukur tahun pertama ini kulalui dengan penuh pengajaran hidup dan kebahagiaan.

Ponselku berbunyi, kulirik nama mbak Nur yang memanggil, tumben malam-malam mbak Nur menghubungiku, segera aku angkat.

“Hilda, besok kamu ada kuliah?” suara mbak Nur yang cukup nyaring terdengar di telingaku.

“Iya mbak, apa apa?”

“Haduh…. baru saja ibu telpon, mbak Ijah yang biasa masak dan bersih-bersih rumah besok gak bisa masuk, katanya anaknya lagi sakit. Aku disuruh ibu gantiin tugas mbak Ijah. Besok itu bu Yanah sama Bapak pulang, aku diminta bersih-bersih dan masak. Nah, masalahnya aku gak yakin masakanku sesuai selera mereka.” Aku mencoba mendengarkan mbak Nur yang berbicara cukup cepat.

“Kata bu Yanah, kalau aku butuh bantuan, suruh hubungi kamu. Jadi intinya gini Da, kamu bisa bantu gak? Tapi kamu ada kuliah ya?” tanya mbak Nur lagi.

“Insyaallah bisa mbak, yang jam pagi hanya ngumpulin tugas saja, nanti saya titipkan teman, tapi jam satu siang Hilda sudah harus ke kampus, karena jam duanya ada kuliah.”

“Syukurlah, berarti kamu bisa bantu ya, jadi kamu yang masak dan biar aku yang bersih-bersih rumah.”

Aku tersenyum mendengar keputusan dari mbak Nur.

“Mbak, masakan saya juga belum tentu enak, hehehe….. aku bantuin mbak aja ya,”

“Halaaah Da, enak enak, kamu kan pinter masak. Ayolah bantu aku, ya!”

“Emangnya mbak udah pernah makan masakanku, kok dah bilang enak? Hehehe… ya sudah mbak, saya nanti bantu mbak Nur, tapi saya juga belum tahu selera makanan keluarga bu Yanah seperti apa. Beliau minta dimasakin apa mbak?”

“Gampang koq, bu Yanah bilang masak sayur lodeh, dadar telur, sambel trasi, oreg tempe sama ada tiga ikan mas di kulkas, terserah mau digoreng atau diapain.” Aku mengangguk mengerti dengan menu masakan tersebut, cukup sederhana.

“Ya sudah mbak Nur, Hilda coba ya, semoga mereka suka.”

“Nah gitu dong, nanti kalau gak enak kamu siap diomelin pak Salim ya, kalau enak bilang itu masakanku, hahahaha…”

“Dasar mbak Nur sukanya bercanda.” Kamipun menutup telpon dengan menyepakati beberapa hal, yakni yang belanja di pasar mbak Nur, yang masak aku dan yang bersih-bersih rumah mbak Nur. Aku pun melanjutkan mengerjakan tugas kuliah yang belum selesai, kembali fokus pada buku-buku yang sudah aku siapkan di atas meja ini.

***

Setelah aku titipkan tugas kuliah kepada temanku, aku segera ke rumah bu Yanah. Aku cukup sering ke rumah tapi hanya sekedar memberikan laporan penjualan kalau pak Salim tidak ke toko. Rumah yang cukup luas dan besar, tapi terkesan sederhana. Uniknya depan rumah beliau adalah bangunan rumah Joglo khas Jepara.

Setelah aku melewati tempat parkir mobil, aku dimanjakan dengan pemandangan berbagai macam bunga yang cantik-cantik. Bu Yanah memang menyukai bunga-bunga tersebut, dengan dibantu pak Toyo, bu Yanah merawat taman bunga ini.

Rumah Joglo sebagai ruang tamu rumah ini. Cukup luas untuk sebuah ruang tamu, di samping kanan ada dua aquarium besar yang berisi ikan-ikan cantik. Bagian tengah ada kursi tamu dengan ukiran khas Jepara. Samping kanan tergelar karpet besar yang di tengahnya ada meja pendek dengan ukiran peta Indonesia yang dilapisi kaca bening dan ada juga beberapa pot-pot bunga yang menghiasi sudut-sudut ruangan ini.

Aku terus berjalan memasuki ruang tengah, dengan melewati pintu gebyok yang indah. Ruang tengah yang juga cukup luas, ada beberapa lemari buku dan tetap dengan hiasan bunga-bunga di berbagai tempat, juga ada alat musik seperti piano dan sebuah gitar berada di sudut ruang tengah. Tidak jauh dari ruang tengah ada dua buah kamar yang aku tidak tahu itu kamarnya siapa, dan ada tangga berbentuk melingkar ke atas yang menyambungkan lantai satu dengan lantai dua. Aku tidak berani naik ke atas, jadi aku tidak bisa menggambarkan ruang lantai dua.

Membuat saya tertarik adalah sebuah foto keluarga yang terpasang di ruang tengah, terlihat di sana pak Salim dengan jas Hitamnya dan bu Yanah cantik dengan baju kebaya biru dongker dengan mengenakan jilbab silver, bu Yanah masih terlihat sangat muda. Di samping kanan pak Salim ada perempuan kecil cantik dengan rambut panjang dengan pita biru di rambutnya, di samping kiri bu Yanah berdiri dua remaja laki-laki, wajah mereka mirip, tapi salah satunya lebih tinggi, mungkin anak pertama beliau.

Aku terdiam beberapa waktu memandangi foto tersebut, sedikit mengherankan kenapa aku cukup familiar dengan wajah anak pertama bu Yanah, seperti mirip seseorang yang aku kenal. Siapa ya?

“Mbak Hilda,”

“Iya pak Toyo ada apa?”

“Gas sudah saya ganti, tadi pagi habis, silahkan kalau mau memulai  memasak.”

“Oh iya pak, mbak Nur sudah datang?”

“Belum.”

“Baiklah, saya ke dapur aja menyiapkan alat-alat masaknya dulu.”

Sambil menunggu mbak Nur, aku mengupas semua bumbu-bumbu dan membersihkan ikan mas. Tak lama mbak Nur datang dengan penjelasan yang panjang lebar terkait kondisi pasar yang lebih rame dari biasanya, sehingga dia telat datang, kemudian dia menjejer semua barang belanjaannya.

“Sudah ya, aku tinggal bersih-bersih rumah dulu.” Aku mengangguk dan memulai memasak.

Aku teringat di pesantren, setiap minggu pasti kami kebagian tugas memasak, di sanalah aku belajar memasak. Mungkin karena ibuk adalah juru masak jadi tidak sulit bagiku untuk mempelajari masakan dan menghafal menu. Untuk permintaan menu bu Yanah kali ini tidak membuatku kesulitan. Aku memasak sesuai dengan yang aku ketahui, hanya saja untuk telur dadar aku buatkan seperti telur dadar yang ada di warung padang, aku tambahkan potogan daun bawang dan beberapa cabe juga aku tambahkan tahu di dalamnya, sehingga bentuk telur dadar besar mengembang dengan cantik.

Setelah sayur lodeh matang aku mulai memasak ikan mas acar bumbu kuning, dan untuk sambel terasi aku sesuaikan dengan sambal terasi kesukaan ummi. Aku menyelesaikan masakan sebelum dzuhur, kemudian aku melihat ada krupuk udang mentah di toples, sekalian aku goreng beberapa dan aku taruh di toples krupuk yang kebetulan isinya sudah kosong.

“Waaaah…. aromanya enak banget mbak Hilda,” sapa pak Toyo dari belakang dapur.

“Pak Toyo, cicipin masakannya dulu ya, enak apa nggak, hehe… takut gak enak,” kataku sambil menyodorkan masakan yang sengaja sebagian aku taruh di piring-piring kecil untuk dicicipi terlebih dahulu.

Pak Toyo dengan senang hati mencicipi masakanku.

“Enak koq mbak,” katanya dengan wajah yang benar-benar menunjukkan rasa suka dengan makanan yang dia cicipi.

“Alhamdulillah… oh ya mbak Nur mana ya pak? Dia juga harus cicipi masakanku dulu,”

“Ada di atas, saya panggilkan mbak?”

“Tidak usah pak, biar saya panggil sendiri,” kataku sambil berlalu dan menaiki tangga menuju lantai dua rumah ini.

“Mbak Nur…. Mbak…” aku mencari mbak Nur di semua ruangan lantai dua, ada empat kamar di sini dan ada ruang keluarga di antar kamar tersebut. Aku menuju dua kamar sebelumnya tapi mbak Nur tidak ada, aku kembali mencari mbak Nur di kamar ujung barat, terlihat pintu kamar terbuka. Aku memasuki kamar tersebut, aku terperangah ketika memasuki kamar ini, kamar yang cukup besar, tepat di depan pintu berdiri gagah lemari buku besar dan tinggi yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran minimalis namun cantik memenuhi ujung tembok ke ujung lainnya. Aku mengira ada ratusan buku terpasang di rak buku sebesar ini.

Pandanganku tak kunjung beralih, seketika aku lupa kalau aku sedang mencari mbak Nur. Aku memandang satu persatu koleksi buku dalam lemari tersebut. Dua baris paling atas dari ujing ke ujungnya dipenuhi dengan ensiklopedi, kamus-kamus besar dari berbagai bahasa, dan kitab-kitab kuning yang berjilid-jilid. Baris-baris selanjutnya buku-buku filsafat, sejarah, buku-buku agama, buku komunikasi, politik, hukum dan berbagai buku lainnya. Baik dari bahasa indonesia, inggris maupun arab. Dan dua baris paling bawah berjejer buku-buku sastra dan novel-novel lawas dan beberapa novel terbaru, juga koleksi lengkap komik Detektif Conan dan Shanaou Yoshitsune. Akupun tak henti menyentuh tubuh-tubuh buku yang berjejer rapi di lemari besar ini. Seandainya aku punya kamar yang memiliki lemari sebesar ini dan koleksi buku selengkap ini, wah seperti aku menemukan surga dunia.

“Hey…. malah mlongo. Udah selesai belum masaknya?” Aku terperanjat mendenger panggilan mbak Nur.

“Haduh mbak ngagetin aja.”

“Puluhan kali aku memanggilmu Da, kamunya aja yang bengong lihat buku-bukunya mas Wafa.”

Deg! aku terpaku dengan nama yang disebut mbak Nur.

“Siapa mbak? Ehm maksudku, mbak tadi bilang ini bukunya siapa?”

“Ya bukunya mas Wafa lah, bukunya siapa lagi?”

“Mas Wafa?”

“Iya, dia anak pertama bu Yanah, yang kuliah di luar negeri. Lha ini kan yang mau pulang mas Wafa, kata mb Ijah, mas Wafa paling seneng kalau kamarnya bersih apalagi rak buku besarnya ini, kalau kotor gak tanggung-tanggung dia sendiri yang bersihin, kan nggak enak kalau raknya masih kotor dan berdebu, kasian mas Wafa baru sampai rumah malah bersih-bersih. Makanya aku lama bersih-bersihnya, rak segede ini aku bersihin sendiri. Bagian atas aja kudu pake tangga ini,” kata mbak Nur.

Aku masih terdiam mendengarkan mbak Nur. Bu Yanah memang saudaranya ummi, mas Wafa juga keponakan ummi, rumah mas Wafa juga di Jogja, kenapa aku tidak pernah berpikir bahwa bu Yanah mungkin saja ibunya mas Wafa, mas Wafa mungkin saja anaknya bu Yanah. Aku kembali mengingat foto keluarga yang terpasang di ruang tengah, salah satu remaja laki-laki dalam foto tersebut wajahnya memang mirip seseorang yang aku kenal, ya mirip dengan mas Wafa.

Aku ingin memastikan apakah mas Wafa yang dikatakan mbak Nur adalah mas Wafa yang aku kenal. Aku pun berjalan mengelilingi kamar ini, aku menuju meja kerja dan ku perhatikan satu persatu, aku berharap menemukan fotonya. Namun tidak ada foto yang terpajang di atas meja juga di dinding kamar, kemudian aku melihat lemari kaca sederhana tidak terlalu besar berdiri di samping meja, di sana ada setumpuk klipingan koran, juga ada sebuah foto wisuda. Aku dekati lemari tersebut dan membuka pintu kacanya. Ku lihat semua keluarga bu Yanah dalam foto tersebut dan seorang yang memang tidak asing mengenakan baju toga dengan senyuman khasnya yang pernah aku lihat saat kami bertemu di parkiran candi Prambanan. Benar dia mas Wafa yang ku kenal.

Aku melirik tumpukan kliping koran dan kubuka lembar perlembar, kulihat ini adalah kliping opini dari berbagai macam koran, dan di sana tertulis jelas nama penulis opininya adalah “Ali Muhammad Abu Al-Wafa”

Seketika kaki ini melemas, entah mengapa? aku tidak mau dia tahu kalau selama ini aku tinggal dan kerja di tempat orang tuanya. Aku mulai cemas dan bingung, apa yang akan terjadi jika dia tahu aku di sini. Aku hanya berharap semoga dia sudah tidak memiliki perasaan apapun terhadapku, sehingga jika dia melihatku, maka perasaan itu tidak akan mengganggunya lagi.

“Ayo Da, aku udah selesai. Aku pingin nyicip makananmu dulu,” kata mbak Nur menyadarkanku.

“Eh iya mbak, ayo, aku udah siapin sebagian untuk mbak.”

Kami pun turun ke dapur. Mbak Nur segera mencicipi masakanku dan memuji masakanku. Aku masih memikirkan tentang apa yang akan aku lakukan. Aku melihat mbak Nur menerima panggilan, aku masih dalam posisi bingung.

“Da, bu Yanah dan keluarganya sudah sampai bandara, sekarang udah menuju rumah. Mumpung masih belum jam satu, tunggu bentar ya sampai ibu datang, bandara sini kan deket. Kamu kuliahnya jam dua kan?” tanya mbak Nur.

“Ehm… tidak bisa mbak, eh maaf mbak maksudku aku harus segera ke kampus, karena ada sesuatu yang harus aku kerjakan terlebih dahulu. Jadi mbak Nur aja yang nemui beliau. Bilang saja maaf kalau makanannya tidak enak.”

“Oh ya sudah, tenang aja, masakanmu enak kok. Makasih ya sudah bantu aku.”

Aku mengangguk dan segera pergi meninggalkan rumah ini, bagaimanapun aku harus berusaha keras untuk tidak muncul di depan mas Wafa baik di rumah, di masjid, di toko, haduh…. pokoknya di lingkungan sini, bahkan di semua tempat di Jogja ini. Aku tidak mau mas Wafa tahu kalau aku di sini.

(bersambung)

*Cerbung Muyassaroh H, asal Panguragan Cirebon. Saat ini menetap di Wonocatur Baguntapan Bantul. Bersama keluarga kecilnya Ia menemani anak-anak di TPA Masjid Az-Zahrotun.
FB: Muyassaroh Hafidzoh
IG: muyassaroh_h 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here