MEREBUT HATI TANPA PERMISI
Melihat Hilda, Wafa seperti merasakan hal yang aneh dalam dirinya. Sebelum bertemu dengannya, setiap perempuan sepertinya sama saja bagi Wafa. Tidak ada perempuan yang spesial baginya sehingga ia tidak pernah diketahui dekat dengan perempuan manapun.
“Dia misteri bagiku. Kadang dari caranya mengungkapkan sesuatu membuat aku semakin terkagum-kagum. Pancaran cahaya matanya memiliki kekuatan yang mampu menaklukkan siapa pun. Ada cahaya kelembutan dalam dirinya. Apalagi ketika berbicara, bibirnya seperti hanya melontarkan berbagai pesona bagi siapa saja yang melihatnya. Ketika aku memperhatikan kedua matanya serta gerakan jari-jari tangannya saat berbicara, dia terlihat dipenuhi dengan cahaya-cahaya keanggunan sehingga muncul keinginan untuk merengkuhnya dalam hidupku. Aku ingin selalu menjadi penjaganya, pelindungnya. Apakah perasaan seperti ini yang juga dulu dirasakan Jalaludin Rumi ketika mengungkapkan sosok perempuan sehingga baginya perempuan digambarkan sebagai seberkas cahaya Ilahi. Perempuan yang sedang aku bicarakan ini adalah seorang intelektual dan juga memiliki tingkat spiritual yang sulit kutebak.”
Wafa sibuk bercengkerama dengan perasaannya tentang Hilda. Ketika mengingat Hilda, Wafa merasakan cahaya keanggunan yang terpancar dari dalam diri wanita itu seperti cermin yang sangat besar di mana dia bisa melihat dirinya sendiri di sana. Wafa kemudian teringat senandung Al-Hallaj;
Ana man ahwa wa man ahwa ana
Nahnu ruhani halalna badalna
Fa idza abshortani abshortahu
Wa idza abshortahu abshortana
Aku adalah orang yang menyinta
Dia yang menyinta adalah aku
Kami adalah dua ruh yang menyatu
Jika kau melihatku, kau melihatnya
Jika kau melihatnya, Kau melihat kami
Tunggu! Apakah aku sedang jatuh cinta?
***
Kehidupanku memang biasa saja. Aku selalu berkutat dengan pendidikan dan media. Meskipun ayah selalu mengarahkanku untuk melanjutkan bisnisnya, tapi aku belum tertarik memikirkan bisnis. Apalagi melanjutkan bisnis ayah. Biar adik saja yang sepertinya lebih tertarik dengan dunia bisnis.
Sama seperti ibu yang menolak ketika ditawari Mbah untuk membantu mengurus pondok pesantren bersama Bu dhe. Ibu merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengelola pesantren, dan ibu yakin bahwa kakaknya, yakni Bu dhe-ku yang lebih pantas untuk mengelola pondok. Ibu memilih menemani ayah dalam suka maupun duka.
Sejak semester tiga, aku memutuskan untuk mandiri dengan cara menolak segala pemberian dari ayah dan ibu. Semua keperluan kuliah dan kehidupan sehari-hari aku mencoba memenuhinya sendiri. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Sejak kecil aku lebih dekat dengan ibu dibanding ayah. Semua itu mungkin karena kesibuan ayah mengurusi bisnis mebelnya sehingga membuatku jarang berinteraksinya.
Ibu bukan sekadar ibu rumah tangga yang menghabiskan waktunya mengurus semua urusan rumah. Setiap hari, di tengah kesibukannya mengerjakan banyak pekerjaan rumah, ibu selalu meluangkan waktu untuk membaca buku dan menulis menggunakan laptop. Itu semua sudah aku lihat sejak usiaku masih anak-anak. Tidak jarang aku sering mengganggu ibu dengan ikut menekan tombol-tombol laptopnya sampai mengeluarkan bunyi ceklik..ceklik sambil tertawa. Dan ibu tak pernah marah padaku.
Dulu, saat adikku mulai bisa merangkak, pernah dia menumpahkan kopi yang biasa menemani ibu ketika menulis. Tumpahan kopi itu berceceran dan mengenai laptop ibu. Benda itu pun rusak. Tapi ibu hanya menghela nafas panjang dan dia sama sekali tidak memarahi adikku. Sebaliknya, ia malah mengeluarkan kata-kata ajaibnya, “Nggak apa-apa nak, cah bagus, cah pinter, besok jangan diulangi ya.”
Kata-kata itu, bagiku dan adikku, adalah bentuk kekuatan seorang ibu yang optimis bahwa anaknya bisa menjadi anak yang lebih baik setelah melakukan kesalahan dan menyesalinya tanpa harus dimarahi ataupun diperlakukan kasar. Semua yang selalu diajarkan ibu benar-benar membekas dalam hidupku. Meski hanya seorang ibu rumah tangga, ibuku tidak pernah lelah belajar, selalu rajin membaca buku dan menuliskannya di dalam lembaran-lembaran kertas putih. Dan kini, apa yang ada dalam diri ibu mengalir dalam darahku. Darah seorang penulis.
Aku mulai semakin keranjingan menulis saat masuk semester tiga. Tepatnya setelah karya opiniku dipublikasikan salah satu koran terkenal di Jawa Tengah. Saat itu aku merasa sangat bahagia. Aku menemui ibu dan memeluknya erat sambil menunjukkan koran yang memuat tulisanku kepadanya. Aahhh…. ternyata seperti ini perasaan ketika hasil karya kita diakui publik. Aku baru tahu tentang satu hal, yakni ibu selalu tersenyum lepas ketika dia pulang dari pasar dengan membawa koran di tangan. Rasa senangnya itu seolah menghilangkan rasa lelahnya dalam menjalankan pekerjaan rumah.
“Nak, sekarang pintumu sudah dibuka oleh Allah. Teruslah menulis ya.”
Aku mengangguk dan merasa semakin bersemangat ketika ibu menyampaikan bahwa aku dengan menulis di media itu aku akan menerima honor. Betapa senangnya aku mendengar hal itu. Mulai saat itu aku meminta izin kepada ibu dan ayah untuk hidup mandiri. Berbeda dengan ibu yang memang sudah yakin dengan kemampuan anaknya, ayah malah meragukan keputusanku. Beruntung ibu mampu meyakinkan ayah dan memberi dukungan penuh kepadaku.
Sejak saat itu aku selalu berusaha keras untuk banyak membaca dan berdiskusi dengan kawan-kawan. Bahkan juga aku juga sering berdiskusi dengan dosen-dosenku untuk melatih kepekaanku dalam menanggapi sebuah isu sebelum menuliskannya dengan baik. Ratusan tulisan selalu aku kirimkan ke redaktur-redakur media massa. Alhamdulillah, tulisanku selalu diterima dan dimuat meskipun banyak juga yang ditolak. Tapi sejak itulah aku mulai berani hidup mandiri, bahkan bisa membiayai kuliahku sendiri. Semuanya berkat tulisanku.
Setelah menekuni dunia tulis menulis, aku juga mulai tertarik dengan dunia teknologi. Jika sudah main komputer, aku gemar mengotak atik berbagai kode di dalamnya, mempelajari jaringan-jaringannya. Aku gemar mempelajari, menganalisa, memodifikasi bahkan menerobos masuk ke dalam sistem jaringan komputer lain. Kemampuanku ini tentu tidak aku gunakan sembarangan, aku hanya menggunakan kemampuanku untuk mempelajari dan menganalisa lebih dalam tentang dunia teknologi.
Di tengah-tengah semua itu, kemudian aku bertemu dengan seorang perempuan yang selalu megusik perasaan. Ya, dialah Hilda, seorang perempuan yang ternyata sudah bertahun-tahun menjadi santrinya Bu dhe ku dan baru kali ini aku bertemu dengannya meski sudah berkali-kali aku ke rumah Bu dhe. Kesibuanku dalam dunia media dan teknologi memang membuatku seperti abai pada urusan cinta, kasmaran, pacaran, yangyangan seperti teman-temanku yang lain. Selama ini aku selalu menempatkan perempuan sebatas teman biasa yang bisa diajak berdiskusi tentang banyak hal tanpa ada perasaan apa pun di dalamnya. Dan aku memiliki banyak teman yang seperti itu.
Sebut saja Zulfi, perempuan cantik, berkulit putih, berhidung mancung dengan postur tubuh yang ideal. Dia juga terkenal sebagai anak yang cerdas, pintar dan ahli dalam bidang sosial politik. Banyak kawan-kawanku yang jatuh hati kepadanya. Tapi banyak pula yang patah hati lantaran dia sepertinya menikmati masa-masa belajarnya dari pada sibuk bermain cinta. Prinsipku pun sama sebagaimana Zulfi. Aku menilai Zulfi sebagai sosok perempuan yang memiliki intektualitas yang tinggi. Aku mengaggumi dia karena kecerdasannya, bukan karena kecantikannya apalagi ingin memacarinya. Dia teman diskusiku. Ketika kami sedang berdiskusi, kami bisa sangat sengit beradu argumentasi dan hasil diskusi itulah yang kemudian aku tulis dan kupublikasikan dalam websiteku.
Namun berbeda dengan perempuan Hilda. Jika memandang masalah kecantikan, Zulfi jauh lebih cantik dari Hilda. Apalagi dalam hal pengalaman dan kematangan ilmu pengetahuan tentu masih sangat jauh di bawah Zulfi. Tapi kenapa ia terasa begitu istimewa dalam pandanganku? Semakin aku memikirkannya, maka yang terpikir olehku adalah kenapa Tuhan mempertemukan aku dengannya. Kerap aku bertanya kepada diriku sendiri, kenapa kehadiran Hilda membuatku semakin yakin kalau aku sebenarnya sedang jatuh cinta kepadanya. Hilda sepertinya sudah mengambil tempat tersediri dalam hatiku, pikiranku, detak jantungku. Ia ada dalam waktu diamku dan kerap menghiasi mimpi-mimpiku.
Semakin membayangkan bahwa aku memang sedang jatuh cinta pada Hilda, rasanya kalimat Kahlil Gibran –meski kadang tidak kupahami maksudnya- itu kini malah seolah mengalir dalam denyut irama jantungku.
Cinta tak memberikan apapun, kecuali keseluruhan dirinya, utuh penuh,
dia pun tak mengambil apa – apa, kecuali dari dirinya sendiri.
Cinta tak memiliki ataupun dimiliki. Karena cinta telah cukup untuk cinta
Cinta memiliki jemari yang sehalus sutera,
yang kuku – kukunya yang runcing meremas jantung
dan membuat manusia menderita karena duka.
Dan cinta adalah sekumpulan duka yang terangkum dalam pujian doa,
membumbung ke angkasa bersama harum aroma dupa.
Oh, Hilda……
Bahkan ketika ibu merangkulku dan merayuku untuk tidak pergi belajar jauh-jauh hingga di benua yang berbeda, aku menolak dan berkata, “Aku harus pergi ibu, dunia di luar sana akan menambah wawasan dan pengetahuanku. Bukankah ibu selalu mendoakanku untuk bisa meraih impian dan cita-citaku. Lihat ibu, ayah yang jarang mendukungku saja, terlihat bangga dan sangat mendukung keputusanku ini.” Aku sanggup menolak permintaan ibu. Tapi sosok Hilda yang kukenal dalam hitungan hari saja itu sudah membuatku berat untuk berada jauh darinya. Hilda benar-benar seperti sudah merebut hatiku tanpa sisa.
Kulihat jam dinding yang ternyata sudah menunjuk pada angka dua. Kuakhiri lamunanku tentang Hilda, melepaskan kaca mata dan beranjak mengambil air wudlu. Aku menggelar sajadah hijau pemberian Bu dhe, dan kunikmati perjumpaanku dengan Allah dalam salat dan lalu berdoa meminta sesuatu yang sebelumnya belum pernah kuminta.
“Ya Allah Yang Maha Kasih dan Sayang, selalu kuharap curahan kasih dan sayangMu. Ya Allah Yang Maha Pencipta Cinta, Engkau Telah menciptakan cinta dalam hati ini untuk perempuan bernama Hilda, bahkan cinta ini datang tanpa aku minta, maka ciptakanlah cinta yang sama kepadanya untuk mencintaiku. Ya Allah Yang Maha Pencipta Makhluk berpasang pasangan. Jadikanlah hamba berpasangan dengan perempuan yang kau cipta bernama Hilda. Amin….” Aku tertunduk oleh rasa malu di hadapan-Nya. Aku adalah makhluk yang takluk dan tak berdaya.
***
“Subhanallah….!!”
“Ada apa Da, kamu mimpi buruk lagi?” Andin yang baru selesai salat tahajjud kaget mendengar sahabatnya itu menggumam dan bangun dengan wajah pucat.
“Nggak papa Ndin, hanya kaget saja.”
Hilda terdiam cukup lama. Ingin rasanya dia cerita kepada Andin bahwa Mas Wafa baru saja hadir dalam mimpinya. Akan tetapi itu tidak mungkin dilakukannya. Dia tidak mungkin menyakiti hati temannya. Hilda menoleh menatap jam yang menunjukkan pukul tiga pagi. Ia bangkit dan segera bergegas menunaikan salat sunnah yang sudah dilakukannya bertahun-tahun. (bersambung)
*Oleh: Muyassaroh H, asal Panguragan Cirebon. Saat ini menetap di Wonocatur Baguntapan Bantul. Bersama keluarga kecilnya Ia menemani anak-anak di TPA Masjid Az-Zahrotun.