Janji Seekor Burung

Cerbung: Muyassarotul H

Gus Syauqi masih memandang pesawat kertas buatan Farah, dia tersenyum membayangkan tingkah Farah beberapa hari yang lalu. Hatinya mulai penasaran dengan apa lagi yang akan dilakukan Farah. Setiap hari dia melakukan hal yang tak pernah terlintas dalam benaknya.

Setelah hari itu, tiap pagi dan sore Farah selalu menunggu di bawah pohon mangga, dia menunggu burung yang sudah berjanji akan kembali menemuinya. Begitupun dengan Gus Syauqi, setiap duduk di dekat jendela dia mencari-cari apakah burung tersebut sudah mendatangi sarang yang dibuat Farah.

“Kenapa aku harus percaya sama Farah, dia aneh, gak mungkin burung yang lepas bisa kembali. Apalagi bukan burung yang terlatih, pasti sudah bebas terbang.” Gumam Gus Syauqi.

Pagi itu Farah berputar-putar di sekitar pohon mangga, Gus Syauqi melihatnya dari jendela kamarnya dan menunggu apa yang akan dilakukan Farah. Hampir lima belas menit Farah masih belum beranjak dari  tempat itu. Akhirnya Gus Syauqi menulis surat dan seperti yang dilakukan Farah, Gus Syauqi pun membuat kertasnya menjadi pesawat dan melemparnya ke bawah.

Farah yang melihat ada pesawat kertas jatuh dari atas langsung mendangakkan kepalanya. Farah melihat Gus Syauqi sedang di dekat jendela kamarnya. Gus Syauqi memberi isyarat Farah untuk membuka surat yang dibuatnya.

Farah pun mengambil dan membacanya.

“Sudahlah, tidak usah menunggu sesuatu yang sudah pergi. Mana ada burung yang sudah dilepas akan kembali.”

Farah merasa jengkel dengan surat yang dikirim gusnya, dia kembali mendangakkan kepalanya. Farah melempar ekspresi wajah yang sangat aneh bagi Gus Syauqi. Ekspresinya semacam marah, kesal atau sedih. Farah pun berlalu pergi.

Gus Syauqi masih bingung berusaha mencerna ekspresi Farah, “Kenapa wajahnya jadi seperti itu, dasar aneh!” katanya.

Farah berjalan menuju kamar dengan perasaan kesal. Dia kesal sudah beberapa hari ini, sarang burung yang dibuatnya belum ada penghuninya. Dia juga kesal Gus Syauqi tidak percaya dengan keyakinannya bahwa burung itu akan menepati janji yang dibuatnya.

“Sebel, sebel, sebeeeeeeel…”

Icha yang sedang membaca Al-Quran pun berhenti karena ocehan Farah.

“Kenapa kamu? Burungnya belum kembali ya? bhahahahaha…. lagian kamu aneh, mana ada burung yang sudah dilepas bisa kembali lagi. Kecuali burung itu sudah terlatih,” kata Icha.

“Semua gak ada yang percaya denganku. Padahal aku tulus melepaskan burung itu, niatku juga baik, aku kasihan kalau lihat burung dikurung seperti itu, dia tidak bisa bebas merasakan kehidupannya. Ya Allah……, Njenengan kenapa tidak juga segera mengirim burung itu kembali.”

“Lho kamu malah nyalahin Allah. Sudahlah Farah sebaiknya kamu fokus ngaji, belajar, bentar lagi sekolah masuk.”

“Aku tidak menyalahkan Allah, mbak. Aku yakin gusti Allah akan memerintahkan burung itu untuk menepati janjinya.” Icha geleng-geleng kepala.

“Aku jadi ingat, Ramadhan tahun lalu abah ngaji kitab, di sana ada kisah burung pipit yang diselamatkan Sayyidina Umar.” Farah mendekati Icha, “Trus, trus mba, di kitab itu ceritanya kayak gimana?” tanya Farah.

“Kalau gak salah inget, burung yang diselamatkan Sayyidina Umar membalas kebaikannya dan menyelamatkan Sayyidina Umar ketika menghadapi pertanyaan di alam kubur.”

“Oh iya mb? Waah ada kisah sekeren itu? Berarti kalau Sayyidina Umar saja diselamatkan burung dari malaikat munkar nakir, pasti aku juga diselamatkan dari kemarahan ummi, hehehe..” kata Farah sambil memikirkan rencana untuk membalas surat Gus Syauqi yang tidak percaya padanya.

“Yo bedo to Fa…. kamu kok nyama-nyamain sama sayyidina Umar,” kata Icha. Farah tidak begitu mendengarkan perkataannya.

“Awas aja gus, kamu akan menyesal gak percaya sama aku,” kata Farah sambil mengepalkan telapak tangan kanannya dan memukulkan pada telapak tangan kirinya. Dia merasa punya senjata untuk dikirim ke gusnya.

Farah menggulung lengan bajunya dan kembali melanjutkan pekerjaannya melipat dan menyetrika pakaian keluarga kiainya.

Semua pakaian sudah tersusun rapi di keranjang baju. Farah mengambil kertas dan menuliskan surat balasan untuk gusnya. Lalu dia menyelipkannya di saku baju gusnya.

“Lihat aja nanti, gus.”

Farah berjalan menuju ndalem, ketika menuju ruang tamu Farah melihat Gus Syauqi sedang mengaji dengan abahnya. Dia pun berjalan menggunakan lutut menuju kursi besar untuk menaruh keranjang pakaian. Setelah keranjang dia taruh, dengan berani matanya menatap cukup lama gusnya yang sedang membaca kitab tafsir di depan abahnya.

Pertama Farah mengenalnya bukan sebagai putra kiai, kemudian Gus Syauqi menyelamatkan dirinya dari rencana pernikahan yang tidak dia inginkan, Gus Syauqi pula yang memberi kesempatan untuknya bisa mengenyam pendidikan di pesanren ini. Farah memandangi gusnya yang khusyu’ mengaji dengan abah. Farah tersenyum membenarkan kata-kata Icha dan Ulun kalau gusnya itu ganteng dan pinter.

“Mba.. mba…” Farah terkejut suara Ummi memanggilnya.

“Dalem Ummi,”

“Beberapa hari ini Ummi lihat kamu mondar-mandir di bawah pohon mangga. Kamu lagi ngapain itu?”

“Ehmmm… anu Ummi, Farah menunggu burung yang dilepaskan Farah kembali ke sini. Dia sudah janji kalau Farah nglepasin, maka dia akan kembali ke sini.”

Terdengar suara gus Sayuqi tertawa kecil, Farah menengok gusnya dan melihat abah menepuk bahu Gus Syauqi, “lanjutkan!” kata abah menegur putranya yang mulai tidak konsen karena mendengar kalimat Farah.

Ummi tersenyum dengan alasan Farah, “Ummi sudah memaafkanmu, jadi gak usah mondar mandir nungguin burung di bawah pohon mangga lagi ya. Sebentar lagi sekolah mau masuk, sebaiknya kamu mulai menyiapkan diri dan mulai membuat jadwal kegiatan biar pekerjaanmu tidak mengganggu pelajaranmu.”

“Njih ummi… nyuwun sewu,” kata Farah sambil berlalu pergi.

Abah masih menjelaskan tentang tafsir yang telah dibaca putranya. Walaupun sekolah dan ngaji dengan saudaranya libur, Gus Syauqi tetap mengaji dengan abahnya.

“Qi, bajumu sekalian dibawa sendiri ya,” perintah ibu yang melihat putranya selesai mengaji dan hendak pergi ke kamar.

“Njih ummi,” jawab Gus Syauqi.

Gus Syauqi membawa pakaiannya ke kamar dan langsung menaruhnya di lemari. Tapi ada yang aneh, dia merasa ada sesuatu di salah satu saku bajunya.

“Apa ini?” Gus Syauqi melihat sebuah kertas di dalam sakunya. Segera dia membuka dan membaca apa yang tertulis dalam kertas tersebut.

“Gus, aku tahu kamu tidak percaya dengan apa yang aku lakukan. Tapi aku pikir, kamu tidak secerdas sebagaimana yang orang-orang katakan. Tahukah kamu kisah sayyidina Umar bin Khattab yang menyelamatkan seekor burung pipit. Kemudian burung pipit itu menyelamatkannya ketika berhadapan dengan malaikan penjaga alam kubur. Bahkan seekor burung bisa menyelamatkan seseorang dari siksa kubur, lantas akan lebih mudah baginya menyelamatkan seseorang yang masih hidup seperti saya ini. lihat saja besok pagi, aku yakin burung itu sudah hinggap di sangkar yang aku buat dan akan bernyanyi indah, sehingga ummi akan senang mendengarnya.”

Gus Syauqi tersenyum, “ini surat dari Farah? Berani sekali dia mengirimi surat padaku? Gimana kalau ketahuan ummi?” katanya sambil melipat kembali surat dari Farah. Setelah merapikan baju –bajunya, Gus Syauqi membuang surat Farah ke tempat sampah, tapi seketika langsung diambilnya kembali.

“Kenapa tidak aku simpan saja,” katanya sambil menaruh surat Farah dalam kardus tempat penyimpanan barang-barang kesayangannya. Dia merasa setiap bertemu dengan Farah, perasaan bahagia selalu dirasakannya, mungkin karena memang dia sudah tertarik pada Farah sejak pertama kali bertemu.

Gus Syauqi penasaran, apa ada cerita seperti itu, kenapa aku tidak pernah mendengarnya. Segera ia turun dan kembali menemui abahnya. Dia menanyakan cerita yang ditulis Farah dalam suratnya pada abah.

“Oh kisah itu. Kisah yang masyhur, memang kamu belum pernah baca Qi?”

“Dereng bah, memang ada dalam kitab apa?” tanya Gus Syauqi.

“Kitab al-Mawaidh al-‘Ushfuriyyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakr al-Ushfury.”

“Syauqi mau lihat kitabnya bah,” kata Syauqi.

“Ada di rak buku, cari saja.”

“Njih bah.”

Gus Syauqi langsung membaca kitabnya. Memang dalam kitab tersebut terdapat banyak hikayat atau kisah yang unik. Hampir setiap hadis dilengkapi satu atau dua kisah. Kisah yang ditulis Farah dalam suratnya ada pada hadist pertama dalam kitab tersebut.

Disitu mengisahkan Sayyidina Umar bin Khatab Ra. suatu ketika mendapati seorang anak kecil bermain burung pipit dengan tidak semestinya. Dia kasihan melihat burung kecil itu dipermainkan sedemikian rupa. Lantas Dia membeli burung itu dan melepaskannya. Ketika Sayyidina Umar bin Khattab wafat, sebagian ulama memimpikan bahwa ia mendapatkan rahmat Allah Swt. di alam kubur sebab kasih sayangnya terhadap burung pipit tadi.

Gus Syauqi membaca ulang hadist tersebut,

الرَّحمُوْنَ يَرْحَمْهُمْ اَلرَّحْمَنُ, إِرْحَمُوْ مَنْ فِي الاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فَي السَّمَاء..

“Orang penyayang adalah orang yang disayangi oleh Allah yang Maha penyayang, Maka sayangilah makhluk di bumi niscaya kalian akan disayangi Dzat yang di langit”. 

Dia kembali tersenyum, “baiklah Farah, kita lihat apa besok burung itu akan mendekati sarang yang sudah kamu buat?” bisik hatinya.

***

Seperti biasa, selepas sholat subuh, Gus Syauqi menambah hafalan al-Qur’annya. Beberapa saat sebelum menyelesaikan bacaannya, dia mendengar suara yang sempat hilang beberapa hari lalu. Suara burung kesayangan abah dan ummi, kembali terdengar di telinganya. Dia segera menyelesaikan bacaannya dan membuka jendela kamarnya. Betapa dia terkejut melihat burung cantik yang sama persis dengan burung yang telah dilepaskan Farah sedang memakan makanan yang ada di sangkar buatan Farah.

Suara indahnya terdengar kencang, hingga abah dan ummi pun keluar rumah.

“Lho, koq suaranya sama ya bah, sepertinya ada di atas pohon mangga.” Terdengar suara Ummi dari teras rumah.

“Iya mi,” Jawab abah singkat.

Gus Syauqi berlari turun menemui abah dan umminya.

“Qi, kamu juga dengar suaranya?”

“Iya mi, dari kamar Sayuqi sangat jelas terlihat burung yang dilepas Farah ada di pohon mangga ini.”

“Lho, kayaknya sudah ada sarang burung ya di sana?” tanya ummi sambil menunjuk ke tas pohon. Gus Syauqi diam tak menjawab.

Tiba-tiba Farah dari pintu samping ndalem berlari keluar dan berputar putar.

“Dengarlah, dengarlah kicauan indah burung itu, akhirnya dia menepati janjinya… alhamdulillah…..”

Abah, Ummi dan Syauqi terdiam heran melihat tingkah santrinya.

“Huss.. Farah wes, nduk. Lihat ada abah sama ummi.” Sari berlari menghentikan adik sepupuhnya.

“Ups… hehe… ngapunten…” Farah dan Sari membungkukkan badannya dan berlalu pergi. sebelum masuk mata Farah melirik tajam ke arah gusnya. Tiba-tiba dia mengeluarkan lidahnya, mencoba meledek Gus Syauqi.

“Apa itu? Ada apa dengan lidahnya?” bisik Gus Syauqi disertai senyuman.

“Qi, kok senyum senyum sendiri?”

“Ehm… mboten Ummi, ngapunten,” katanya sambil berlalu meninggalkan abah dan ummi.

Ummi mendekati abah, “Bah, si Farah itu anaknya sedikit aneh ya, juga terlalu berani,” kata ummi pada abah.

Abah hanya tersenyum dan berkata, “biarkan saja, kelak dia akan jadi orang yang gemar menebar kemanfaatan.”

“Amin…” jawab ummi.

***

Gus Syauqi menuju dapur berniat mengambil sarapan, dia melihat Farah ditempat pencucian masih tersenyum bahagia sambil mengambil pakaian dari mesin cuci. Farah merasa ada yang memperhatikannya, dia pun menoleh ke arah dapur, dilihatnya Gus Syauqi yang sedang diam berdiri memandanginya. Tanpa berpikir panjang Farah menuju dapur mendekati gusnya.

“Gimana gus, sekarang sudah percaya? Lihat, Allah menunjukkan rahmat-Nya padaku,” kata Farah masih dengan ekspresi wajah bahagianya. Gus Syauqi hanya tersenyum.

“Sedang apa kamu? Ngapunten gus,” kata mba Sari yang tiba-tiba menepuk punggung Farah.

“Jangan pernah mengajak gus Syauqi bicara duluan, mengerti! Itu tidak sopan.”

“Mba, aku sudah berteman dengannya sebelum aku ke sini, dia temanku, kenapa aku gak boleh bicara dengannya?”

“Dia gusmu, bukan temanmu!”

Farah menoleh ke arah Gus Syauqi, dia melihat gusnya tersenyum dan mengangguk. Farah ikut tersenyum manis, sambil melambaikan tangannya.

Gus Syauqi memegang dadanya, “Masya Allah, senyumnya.”

(Bersambung)

*Muyassarotul H, adalah ibu dari tiga anak. kegiatan sehari-harinya adalah membersamai keluarga di rumah serta anak – anak di TPA dan Madrasah Diniyah Masjid Az Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Bisa dihubungi melalui fb: Muyassaroh Hafidzoh dan Ig: Muyassaroh_h

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here