Nyai Hj Syamsiyah, Dakwah Seni Menyampaikan Syiar Ukhuwah dan Sosial

Oleh: Nur Rokhmi Hidayati

Fatayatdiy.com – Menjadi sosok ibu nyai, ustazah, atau daiyah tak pernah menjadi cita-citanya. Apalagi, menjadi pucuk pimpinan pondok pesantren. Hal itu tak pernah terlintas dalam benak Dra. Hj. Syamsiyah, M.Pd.I, pengasuh Panti Asuhan dan Pondok Pesantren (PAPP) Zuhriyah.

“Tidak ada ‘krenteg’ menjadi ibu nyai, ustazah, daiyah, atau apa pun sebutannya. Tapi memang, orangtua sering memberi kesempatan untuk ceramah dari saya masih berusia lima tahun,” papar Umi Yayah, sapaan akrabnya setelah pindah ke Yogya.

Lahir di Malang, 10 Desember 1960, trah pesantren lekat pada sosok Umi Yayah. Sang ayah KH Abdul Hayyi Muhyiddin Al Amin sosok kiai pimpinan pesantren besar di Malang, Pondok Pesantren Baiturrahmah. Kiai Abdul Hayyi Muhyiddin Al Amin memang terbiasa mendidik ketat Umi Yayah dalam hal agama sejak kecil. Bahkan, Ning Syam, panggilannya kala masih di Malang, sepertinya sudah diplot untuk meneruskan jejak orangtua. Anak kedua dari empat bersaudara, sejak usia lima tahun, hampir selalu diajak abahnya berkeliling ceramah hingga ke luar Pulau Jawa. Pada saat diajak berkeliling seperti inilah, dirinya diberi kesempatan memegang mik atau pelantang suara di hadapan para jamaah pengajian yang hadir. “Biasanya di acara khaul, mantenan, atau acara keluarga,” ungkap Umi Yayah yang merasa tak pernah takut dan selalu percaya diri tampil di depan publik.

Pendidikan formalnya dirampungkan di Malang. Dari SD hingga SMP di Singosari. Lulus SMP 1977 melanjutkan di SMA Alfalah, Ploso, Kediri sambil nyantri di Tebuireng hingga 1979. Selanjutnya, Umi Yayah melanjutkan ke Universitas Hasyim Asyari (Unhasy) jurusan Tarbiyah lulus sarjana muda lalu melanjutkan ke IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pada semester delapan ia ditembung menikah oleh H. Muhammad Tonny Welly Haryanto, S.H. putra Buchori Pranotokusumo, seorang mantan bupati Sleman kala itu.

Sebelum diboyong ke Yogya 1986 silam, abah pernah berpesan kepada Umi Yayah agar mendirikan pesantren di Yogya. Hal itu pun disampaikan kepada masyarakat sekitar bahwa nanti anaknya tersebut akan membuat pesantren di Yogya. Setahun berikutnya (1987) abahnya wafat.

Pesan orangtua terpatri betul di hati bahwa sebagai orangtua mereka tak bisa memberikan warisan apa pun kecuali ilmu maka jika ingin mengembangkan akan mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan dunia akhirat. Motivasi itulah yang melatarbelakangi Umi Yayah terus berjuang dan kuat menghadapi segala halangan mendirikan Pondok Pesantren Zuhriyah di Jalan Palagan Tentara Pelajar km 10 Rejodani, Sariharjo, Ngaglik, Sleman. “Abah menjadi contoh ribuan orang. Masa saya sebagai putrinya tidak bisa? Jadi, saya termotivasi orangtua,” paparnya.

Selain pesan orangtua, dukungan juga diberikan oleh bapak mertuanya yang juga berkeinginan membangun pesantren. Menurut Umi Yayah, barangkali dengan mengambilnya sebagai menantu cita-cita tersebut dapat diwujudkan. Bermodal ilmu pesantren dan pendidikan formal, Umi Yayah merintis Madin dan MTs Sultan Agung di Babadan Baru Jalan Kaliurang Km 7 yang kala itu masih dalam naungan Yayasan Sultan Agung milik mertuanya. Kini MTs tersebut sudah berstatus negeri.

Mengajar privat dan menjadi dosen UMY pun dilakoni Umi Yayah. Pada 1992 dirinya mendapat SK pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Perlahan mengurangi jam mengajar di kampus dan fokus di MTs rintisannya. Pada 1999 Umi Yayah pindah ke Pandanaran membantu KH Mufid Mahfud mengajar di MTs Sunan Pandanaran hingga 2005. Selanjutnya, Umi Yayah pindah ke SMP Negeri 1 Ngaglik dan langsung menjadi pengawas sampai 2012. Kemudian,  ia mengajukan pensiun dini dan fokus di pondok pesantren.

Pondok Pesantren Zuhriyah berdiri pada 1Juli 2000. Berselang 13 tahun atau bertepatan usianya 40 tahun dari ucapan ayahandanya dulu yang mengatakan ia kelak bakal memimpin pesantren di Yogya. “Saya menganggap ucapan Abah dulu sebagai harapan sekaligus doa. Padahal, selisih waktunya masih jauh. Antara ucapan dan terwujudnya ucapan selisih 13 tahun,” terangnya.

Masyarakat sekitar pesantren diakui Umi Yayah cukup majemuk. Berasal dari berbagai latar (organisasi) yang berbeda. Tetapi, perbedaan tersebut  menurutnya menjadi tantangan yang sangat indah. Maka, dalam “babat alas” Umi Yayah berusaha sungguh-sungguh agar dapat diterima sepenuhnya. Berbagai kegiatan dilaksanakan. Mencoba menyatukan dengan salawat, tahlil, dan ceramah setiap malam Jumat.

Umi Yayah mengajak masyarakat luar wilayahnya sebanyak tujuh dusun yang sampai sekarang kegiatannya masih berjalan. Awal mula mendirikan pesantren, Umi Yayah sengaja mengambil “embrio” dari Malang untuk dipindah mengikutinya. Saat itu, ada 17 santri dari berbagai daerah dan tingkat sekolah.

Nyai Hj Syamsiyah, Dakwah Seni Menyampaikan Syiar Ukhuwah dan Sosial

Total luas area pesantren 2000 meter persegi sudah tidak bisa untuk pengembangan bangunan. Maka, pada 2013 Umi Yayah membuka cabang Zuhriyah 2 di Jalan Magelang Km 11 yang lebih megah. Total santri yang berada di bawah pengasuhan Umi Yayah sekarang mencapai 80-an santri. Semuanya tidak dikenakan biaya sebab latar belakang mereka dari orang yang tidak mampu atau yatim piatu. Bagi Umi Yayah hal terpenting saat menerima santri, mereka semangat belajar dan mau menaati semua tata tertib, norma, dan etika yang diberikan. Pada penerapan tata tertib pun menjadi tantangan tersendiri. Dalam mengasuh santri Umi Yayah menggunakan pendekatan penuh kasih sayang. Para santri dianggap seperti anak sendiri, mitra, saudara, dan juga teman. Asalkan semuanya masih sesuai etika.

“Saya masak, kerja bakti, nyapu, ngepel, dan pekerjaan lainnya ikut turun tangan. Jadi, tidak sekadar tunjuk-tunjuk atau hanya main perintah. Kami bersinergi semua dikerjakan bersama. Tentu semuanya masih dibatasi etika antara saya dan mereka sebagai santri,” terang ibu dari H. Muhammad Adam Ilhami, M.Pd yang kini sudah diberikan tanggung jawab estafet pengasuhan pesantren.

Ada hal yang membuatnya sangat bahagia, yaitu ketika mengetahui para alumnus berhasil setelah pulang dari mondok. Beberapa dari mereka ada yang membangun pesantren, menjadi guru ngaji. Tapi, ada juga yang belasan tahun tetap tinggal di Zuhriyah menjadi pengurus pesantren dan sesekali menggantikannya berceramah jika ada jadwal berbarengan.

Dalam hal keuangan, Umi Yayah tak pernah khawatir terkait rezeki. “Allah itu Maha Kaya. Jika mau mengalkulasi, laporan keuangan itu minus. Tapi, bagi saya yang terpenting adalah saat butuh ada,” ujarnya. Umi Yayah menjalani semua penuh dengan keikhlasan sebab membiayai puluhan santri membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Jadwal di pesantren, lanjut Umi Yayah, dimulai sejak pukul 03.00 dini hari, Umi Yayah dan para santri melakukan Salat Tahajud, membaca Alquran di antaranya surat Yasin, Waqiah, Al-Mulk, dan Arrahman. Setelah Salat Subuh pun seluruh jamaah melakukan riyadoh atau mujahadah membaca Asmaul Husna.

Dakwah sudah menjadi nafas bagi Umi Yayah. Baginya, dakwah itu seni dalam menyampaikan syiar, nilai ukhuwah atau sosial. Semua disampaikan dengan cara merangkul. Karena, dari situlah semua menjadi mudah diterima semua masyarakat. Pesan moral dari abah tentang berdakwah pun dijunjung dan selalu diingat. “Tidak boleh menyinggung salah satu organisasi, mazhab, agama lain, atau segala bentuk perbedaan,” ucapnya.

Demikian Nyai Hj Syamsiyah, Dakwah Seni Menyampaikan Syiar Ukhuwah dan Sosial. Semoga bermanfaat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here