Nyai Jauharoh Sebagai Intelektualisme Pesantren dan Potret Tokoh Ulama Perempuan

Oleh: Siswoyo Aris Munandar

Fatayatdiy.com – Hj. Jauharoh Beliau dilahirkan di Krapyak Bantul Yogyakarta pada tahun 1936 dan wafat pada tanggal 9 Desember 1998 pada pukul 20.05 WIB dengan dikelilingi oleh putra-putri dan sanak saudaranya. Beliau dimakamkan di Dongkelan, Bantul yang mana sesuai dengan pesan beliau yang mana ingin dimakamkan di dekat ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Pada tahun 1996, sebelum Hj. Jauharoh melaksanakan ibadah haji, beliau membuat surat wasiat kepada putranya, KH.Mu’tashim Billah. Dan semua wasiat tersebut telah direalisasikan oleh keluarganya. adapun wasiat tersebut yaitu beliau meminta maaf kepada siapapun terutama kepada para santri, sebelum jenazah beliau di angkat beliau meminta untuk menyedekahkan makanan pokok kepada masyarakat sekitar dengan harta yang dimilikinya, dan memberikan sedekah dengan harta beliau kepada masyarakat yang mendoakan beliau selama 40 hari setelah kepergiannya.

Melihat kehidupan Hj. Jauharoh, beliau dari keluarga yang memiliki dasar keagamaan yang kuat dan taat beribadah. Ayahnya, KH. Muhammad Munawwir yang berasal dari Kauman Yogyakarta merupakan seorang ulama pendiri Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Sedangkan ibunya bernama ibu Nyai Salimah binti KH. Ilyas yang berasal dari Wonokromo Bantul Yogyakarta. Beliau merupakan salah satu figur Ibu nyai yang memiliki peran penting dalam perkembangan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta.

Jika melihat dalam majalah Suara Pandanaran, profil Pondok Sunan Pandanaran dan tulisan yang ditulis oleh Cucu dari Hj. Jauharoh yang pertama yakni Ainun Hakiemah beliau menceritakan bahwa umumnya pada saat itu, masa penjajahan, wanita tidak diberi keleluasan mendapatkan pendidikan tinggi, demikian juga dengan Hj. Jauharoh. Beliau hanya mengenyam pendidikan umum di sekolah rakyat, namun pendidikan agama dipelajarinya dari kalangan keluarganya, keluarga besar pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Guru-guru beliau di antaranya adalah alm. KH. Abdul Qodir (putra tertua KH. Munawwir) dan alm. KH. Ali Maksum (menantu KH. Munawwir yang juga putra KH. Ma’shum Lasem Jawa Tengah), sedangkan ayahnya, tidak sempat mengajarkan pendidikan kepada beliau, karena KH. Munawwir meninggal ketika Hj. Jauharoh masih dalam kandungan ibunya. Ciri khas yang paling menyolok dalam tradisi intelektual pesantren adalah jaringan, sisilah, sanad, ataupun genealogi yang bersifat musalsal (berkesinambungan) untuk menentukan tingkat efisoterisitas dan kuliatas keulamaan seorang intelektual. Hal ini pula yang membedakan tradisi intelektual pesantren dengan tradisi intelektual dilingkungan kampus, dan bahkan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.

Pada tahun 1950 Hj. Jauharoh beliau mulai memasuki usia remaja, di usianya yang baru sekitar 14 tahun, Hj. Jauharoh dinikahkan oleh ibu dan kakaknya (KH. Abdul Qodir) dengan salah satu santri di pondok pesantren al-Munawwir yaitu KH. Mufid Mas’ud yang pada saat itu berusia 25 tahun. KH. Mufid Mas’ud, yang sekarang sudah diberi gelar oleh masyarakat dengan sebutan kyai, pada saat itu juga dipercaya untuk mengajar pengajian al-Qur’an bagi santri putri dan pelajaran kitab di pesantren al-Munawwir. Setelah menikah, Hj. Jauharoh belajar sepenuhnya kepada suaminya (KH. Mufid Mas’ud). Meski sudah menikah, beliau tidak segan-segan mempelajari dan mengkaji al-Qur’an dan kitab-kitab kuning. Bahkan, hingga menjelang wafatnya, beliau masih menyempatkan diri untuk menghafal al-Qur’an. Di samping itu, dengan dukungan dan kedisiplinan yang diajarkan oleh KH. Mufid, kiprah Hj. Jauharoh di berbagai bidang kehidupan semakin lama semakin maju dan berkembang.

Nyai Jauharoh Sebagai Intelektualisme Pesantren dan Potret Tokoh Ulama Perempuan

Kehidupannya setelah menikah yang dimulainya dari nol (dari miskin) dan menjadi seorang perempuan yang kaya raya dengan usaha batik dan berliannya tidak menjadikan beliau seorang yang congkak. Hidup sederhana, memberikan sedekah bagi kaum dhuafa, menghormati tamu, dan memberikan santunan kepada siapapun yang dirasa oleh beliau telah membantunya, merupakan hal yang telah menjadi kebiasaan beliau. Beliau tidak segan-segan memberikan sedekah (zakat) kepada siapapun, seperti saat melihat seorang perempuan dengan rukuhnya yang telah lusuh, beliau tidak segan memberikan rukuh yang baru bagi orang tersebut. Pernikahan Hj. Jauharoh dengan KH. Mufid dikaruniai sembilan orang anak, yaitu Hj. Sukainah, H. Ibnu Jauzi, Hj. Ninik Afifah, Hj. Wiwik Fasihah, Hj. Muflihah, Hj. Shofhah, H. Mu’tashim Billah, Hj. Sohihah, dan Hj. Nurul Hikmah yang mana beberapa di antara mereka telah memiliki pesantren sendiri dan juga meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Hj. Jauharoh.

Kiprah beliau di bidang pendidikan, dakwah, ekonomi, dan sosial salah satunya memberi teladan bagi para putra putri, cucu, menantu, santri, dan masyarakat dapat dilihat dari sikap dan kepribadian baik beliau. Diambil dalam tulisan Ainun Hakiemah (ainunhakiemah.blogspot.com) yang mana beliau cucu Hj. Jauharoh, yang mana setiap orang yang mengenal Hj. Jauharoh, akan memberikan penilaian yang sangat positif terhadap sosok dan kepribadian beliau. Sikap ramah, pandai bergaul, selalu memandang orang lain sebagai teman, dan sifat lain yang membawa kehangatan dan kenyamanan bagi sekitarnya. Dengan keramah tamahannya tersebut, beliau cepat membaur dengan masyarakat di sekitar pesantren. Bahkan tak segan, beliau berjalan kaki membaur dengan masyarakat menuju tempat pengajian yang akan diisinya (beliau juga mendirikan majlis ta’lim). Ketika beliau mendirikan majlis ta’lim, penerangan desa masih sangat minim namun berkat jiwa besarnya, beliau dengan tekun mengisi pengajian bahkan terkadang hujan deras tidak beliau pedulikan. Sosialisasinya di tengah masyarakat yang heterogen, masyarakat yang pada awalnya buta dengan agama, sangatlah baik. Predikatnya sebagai seorang nyai tidak ditampakkan olehnya sehingga tidak dapat dipungkiri sosoknya hingga saat ini masih memberikan kesan yang luar biasa bagi mereka yang mengenalnya.

Kiprah beliau di bidang sosial yakni beliau memiliki sifat dermawan, ketika beliau jalan-jalan di tengah masyarakat dan melihat orang yang tidak mampu, tidak segan-segan beliau memberikan uang sedekah bagi mereka. Kejadian seperti ini, bukan hal yang aneh bagi siapa yang mengenal sosok beliau. Memuliakan tamu, merupakan hal yang juga patut menjadi panutan bagi siapapun. Di saat beliau tidur, dengan keikhlasannya, beliau bangun menemui para tamu dan menyiapkan hidangan bagi para tamunya. Hampir setiap tamu yang berkunjung diharuskan untuk makan (dahar) sebelum pulang dan Hj. Jauharoh sudah terbiasa terjun langsung menyiapkan hidangan tersebut. Kedudukan beliau sebagai seorang Nyai dan kekayaan beliau dari hasil perdagangannya tidak menjadikan Hj. Jauharoh menjadi sosok yang sombong dan congkak. Rendah hati, ramah, penuh kehangatan, dan tentunya sikap dermawannya sangat dikenal di berbagai kalangan yang mengenal beliau.[1]

Kita bisa mengambil pesan atau dari suami Hj. Jauharoh yakni KH. Mufid, rajin belajar saja tidaklah cukup. Terdapat hal lain yang menurutnya harus dilakukan oleh seorang pencari ilmu supaya ilmunya berkah. Yaitu Shuhbatu Ustadzin atau taat dan bersahabat karib dengan guru. Sama halnya dengan nasihat Imam Syafi’i, bahwa ilmu itu tidak akan bermanfaat kecuali apabila seorang murid melakukan enam perkara. Salah satunya Shuhbatu Ustadzin.

Pada setiap kesempatan KH. Mufid selalu menekankan pentingnya Shuhbatu Ustadzin. Beliau sering bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh Islam, bahkan mengaku pula telah terpengaruh oleh mereka. Di antaranya, KH. Abdul Hamid (Pasuruan), Sayyid Muhammad Ba’abud (Malang), KH. Muntaha (Wonosobo), KH. Ali Maksum (Yogyakarta), Syaikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa (Makkah), Sayyid Mjuhammad bin Sayyid Alwy Al-Hasani Al-Maliky Al-Makky (Makkah).

Pada 20 Desember 1975 Maghfurlah Al-‘Alim Al-Khafidz KH. Mufid Mas’ud dan istrinya Ny. Hj. Jauharoh mulai mendirikan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran di dusun Candi Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Bermodalkan Al-Quran, pengetahuan keislaman dan jalinan silaturahmi yang erta dengan tokoh-tokoh Islam. Di bidang pendidikan, Hj. Jauharoh ikut berperan dalam membantu kemajuan pesantren Sunan Pandanaran. Beliau tidak segan untuk berdagang dan membuka semacam catering untuk memenuhi kebutuhan dalam berbagai hal, termasuk dalam membantu perekonomian dan pendidikan para santri yang tidak mampu serta membantu keuangan untuk membuka lahan dan pembangunan pesantren.

Nyai Jauharoh Sebagai Intelektualisme Pesantren dan Potret Tokoh Ulama Perempuan

Hj. Jauharoh aktif mendidik para santrinya dan beliau terjun langsung menangani masalah keagamaan bagi santrinya, terutama bagi santri putri. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi Hj. Jauharoh karena sejak beliau masih tinggal di Krapyak, beliau sudah memberikan les privat pada beberapa keluarga terpandang di Yogyakarta di samping itu juga menjadi salah seorang guru Diniyyah putri di pesantren al-Munawwir. Hj.Jauharoh Munawwir yang sangat tegas dan suaranya besar, dia selalu memakai mukena kalau nderes, semua takut sama Ibu Ndalem, biasanya beliau memimpin Nderes berdua bersama anaknya Mbak Nah (Hj. Ninik Afifah). Dalam berdakwah, selain dengan metode ceramah dan menghafal, metode teladan merupakan salah satu metode yang menjadi andalan beliau hingga menjadikan sosok Hj. Jauharoh menjadi panutan bagi para santri dan para ibu-ibu masyarakat sekitar pesantren.

Pondok Pesantren Sunan Pandanaran awal berdiri di atas tanah wakaf sekitar 2000 m2 dengan bangunan di atasnya berupa sebuah rumah dan sebuah masjid, area yang sekarang disebut komplek satu. Seiring perjalanan waktu, PPSPA telah mampu mengembangkan pendidikan-pendidikan yang dikelolanya. PPSPA sekarang memiliki sembilan kompleks asrama yang terpisah-pisah, dengan jumlah santri mukim kurang lebih 3000-an anak. Pondok Pesantren Sunan PandanAran (PPSPA) selain mendidik santrinya untuk belajar agama Islam, tapi juga menyediakan pendidikan formal dari Pendidikan PAUD hingga perguruan tinggi yang dinamakan Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandan Aran (STAISPA).  PPSPA juga menerapkan Filantropi Islam khususnya dalam pendidikan yang mana memberikan beasiswa penuh bagi orang-orang kurang mampu dan yatim piatu, baik di pendidikan Madrasah maupun dalam Perguruan Tinggi.

PPSPA identik dengan al-Qur’an, lembaga ini sejak awalnya memang bertujuan untuk menjadi kawah candradimukanya para calon-calon khaafid-khaamil al-Qur’an. Falsafah pendidikan al-Qur’an menerangkan bahwa Ia merupakan kitab petunjuk (hidâyah) yang mampu menuntun manusia keluar dari kegelapan (dzulumât) menuju arah kehidupan yang penuh pancaran cahaya keimanan (nur). Falsafah itulah yang dijadikan landasan berjalannya roda-roda pendidikan di PPSPA. PPSPA sebagai sebuah institusi pendidikan mengemban misi membebaskan manusia dari gelap-gulitanya kejahiliyahan, mengangkat mereka ke atas kemuliaan hidup dunia-akhirat yang berselimutkan cahaya keagungan Tuhan.

Demikian Nyai Jauharoh Sebagai Intelektualisme Pesantren dan Potret Tokoh Ulama Perempuan. Semoga bermanfaat.

[1] Ainun Hakiemah, http://ainunhakiemah.blogspot.com/2010/01/hj-jauharoh.html, diakses pada 15 April 2021.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here