Yogyakarta, 23 Februari 2023 PW Fatayat NU DIY bekerjasama dengan direktorat Gesi, Universitas Nahdlatul Ulama UNU Yogyakarta mengadakan acara seminar publik dengan pembicara Prof. Etin, MA, Ph.D dan Kh. Muhyidin LC., MA dengan tema teologi dan gerakan resistensi terhadap kekerasan seksual berbasis gender dalam Islam. Acara seminar ini dihadiri oleh Ketua PW Fatayat NU DIY Maryam Fithriati dan Ketua GESI UNU Wiwin Siti Aminah Rohmawati.

Sahabat Maryam Fithriati berharap, seminar ini dapat menggugah motivasi gerakan penghapusan kekerasan seksual dalam bentuk aksi nyata, yaitu melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di berbagai level apapun, di dunia kerja dan di  berbagai ruang manapun, sehingga dapat tercipta ruang aman bebas kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Sementara Sahabat Wiwin menjelaskan kita dihadapkan pada tingginya kasus kekerasan seksual  di institusi pendidikan  termasuk perguruan tinggi dan di pesantren. Sehingga harapannya di lingkungan pendidikan melakukan pencegahan sejak dini dengan membentuk satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kajian seperti ini juga diharapkan terus dilakukan dengan bekerjasama antar komunitas dan organisasi.

Prof. Etin selaku narasumber pertama menyampaikan bahwasanya Al-quran dan Islam tidak pernah mengajarkan laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki dan Perempuan memiliki kesempatan yang sama sebagai ‘abdullah (hamba Allah), dapat menjadi agen perubahan dan bersama-sama memerangi kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Prof. Etin juga menegaskan bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual harus menggunakan pendekatan yang interdisipliner, seperti dibutuhkan ilmu antropologi untuk mengkritisi mitos-mitos tentang perempuan, termasuk juga pendekatan sosiologi, religius dan biologis.

Selain itu kenapa perempuan rentan dimanipulasi dan dijadikan bulan-bulanan kekerasan karena beberapa alasan seperti alasan biologis perempuan dianggap lemah, padahal menurut Prof. Etin, perempuan dianggap lemah dalam peran tertentu karena masalah konstruksi sosial yang berbeda. Misalnya saja perempuan tidak diajari mengerjakan pekerjaan yang sama seperti laki-laki, contoh bekerja memacul di sawah  dan sebagainya. Sementara perempuan cenderung ditempatkan di wilayah domestik dan telah diinternalisasi sejak sedini mungkin untuk bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Selain itu secara teologis perempuan dilatih untuk taat pada suami, padahal ada ayat lain yang tidak boleh mengizinkan ketaatan berlebihan selain kepada Allah. Melihat ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat dan tafsir Agama yang bias gender, Prof Etin  menyerukan agar perempuan turut menjadi subjek yang berbicara untuk kepentingan perempuan dan kemanusiaan, serta turut hadir menyuarakan ketidakadilan dan kekerasan yang sering kali dialami oleh perempuan. 

Narasumber kedua disampaikan oleh Kh. Muhyidin LC., MA, bahwasanya hampir semua yang berbicara tentang perempuan dalam kitab-kitab klasik adalah laki-laki termasuk terkait pengalaman biologis perempuan seperti haid dan menstruasi. Namun saat ini telah lahir ulama perempuan dari para Ibu Nyai yang sudah berkumpul dan berorganisasi membuat karya tentang haid misalnya. Sehingga perempuan dari komunitas Islam bisa mengambil peran yang dulunya hanya didominasi oleh laki-laki. Di sisi lain Pesantren dan NU tidak menutup kesempatan perempuan untuk berkarya untuk memperkaya literatur dan hasanah dalam Islam yang dapat lebih menghasilkan karya yang adil gender. 

Kh. Muhyidin juga tidak memungkiri apa yang disampaikan oleh Prof. Etin bahwa pelaku kekerasan didominasi oleh laki-laki, tetapi tidak menutup kemungkinan perempuan menjadi pelaku juga. Di akhir penyampaian Kh. Muhyidin  memaparkan bahwa dalam konsep tasawuf juga ada konsep kesetaraan dalam konteks Allah dan hambanya, yaitu istilah murraqabah, Muqarrabah dan di akhiri dengan tajalli. Muqarrabah yaitu saling mendekatkan diri, kemudian memunculkan murraqabah saling mengawasi yang akhirnya memunculkan konsep tajalli yaitu merupakan satu fase akhir kejelasan dan kegambalangan dalam tasawuf. Dengan demikian dalam konsep tasawuf juga membutuhkan konsep yang setara antara pencipta dan yang diciptakan, apalagi dalam konsep kemanusiaan antara perempuan dan laki-laki yang sama-sama makhluq. 

Kontributor : Nur Maulida (Bidang Media dan Teknologi Informasi PW Fatayat NU DIY)

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here