Muyassaroh Hafidzoh: Ulama Perempuan yang Berdakwah Melalui Tulisan, Rujukan Perempuan Milenial

Oleh: Muallifah

Fatayatdiy.com – Saya mengenal ulama perempuan dalam tulisan ini melalui karya sastra yang menggugah. Sebab pengalaman perempuan tidak banyak yang berani untuk menuliskannya apalagi dalam bentuk novel yang berjudul “Hilda”. Jika bisa dibandingkan, novel perempuan titik nol karya Nawwal El-Shadawi yang menjadi perlawanan sebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, disertai budaya patriakhi yang begitu kuat, novel “Hilda” juga sama menceritakan pengalaman pahit dalam menjadi korban kekerasan seksual dengan latar pesantren yang begitu kuat.

Hilda, tokoh utama dalam cerita tersebut menggambarkan hiruk pikuk perjalanan hidupnya sebagai korban kekerasan seksual yang pahit. Memilih untuk terus melanjutkan pendidikan di pesantren adalah pilihan yang tepat bagi masa depannya. Dengan dukungan sang ibu sebagai support system yang mendukung terhadap pengembangan keilmuan dan pengetahuannya. Sosok Hilda tampil sebagai perempuan mandiri, berdikari dengan didikan pendidikan pesantren yang kuat disertai kecerdasan emosional yang dimilikinya.

Perjalanan Hilda menuju dewasa dengan kepahitan yang dijalani tidak mudah. Kekerasan seksual yang menimpanya berdampak terhadap kondisi mental, bahkan fisik kepada organ kelamin membuatnya trauma di kemudian hari. Meski demikian, cerita Hilda dilalui dengan berbagai kisah yang begitu sempurna, menguras hati para pembaca dengan kisah yang sangat kuat.

Hilda sosok perempuan muda yang memiliki masa depan cerah. Masa lalu tidak bisa dijadikan representasi masa depan seseorang. Kita temukan sekeliling kita orang yang pernah mendapati kekerasan seksual jarang sekali bersuara. Sebab tuduhan atas tuduhan yang menimpa korban sering terjadi. Bahkan para pemangku kebijakanpun, terkadang melabeli buruk korban kekerasan seksual.

Gambaran tersebut diungkap dalam kisah “Hilda” oleh Muyassaroh Hafidzoh. Saya menyebutnya bahwa penulis novel tersebut adalah ulama perempuan. Disamping menjadi pengurus Fatayat DIY. Ning Muyas, panggilan akrabnya. Perempuan kelahiran Cirebon, 25 Januari 1988 dari pasangan H. Agus Subhan Auqy dan Hj. Juwaeriyah menempuh pendidikan pesantren sejak dini.

Ning Muyas menempuh pendidikan pesantren mulai dari Peguruan Islam Mathliul Falah Kajen, Pesantren Al-Kaustar Kajen, Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, Pesantren Binaul Ummah Bantul, dan Pesantren Krapyak Ali Maksum Yogyakarta.

Menetap di Yogyakarta di Kodama Krapyak, rumahnyapun fokus mendampingi pendidikan santri Madrasah Diniyah, Remaja masjid Azzahrotun, dan PAUD Masjid Azzahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul Yogyakarta.

Saya menyebutnya sebagai rujukan milenial, sebab tulisannya tidak hanya terpaku pada novel “Hilda”. Novel “Cinta dalam Diam” juga turut memberikan makna yang luar biasa kepada para pembaca khususnya para santri perempuan yang sedang semangat mengejar ilmu, belajar menulis bahkan untuk para perempuan penyintas korban kekerasan.

Tulisannya menjadi obor untuk menambah semangat juang para perempuan muda, anak-anak milenial untuk sadar dan berani berbicara tentang kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Tulisan Ning Muyas juga bisa ditemukan di berbagai media online dan media cetak seperti Republika, Jawa Pos, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat dll. Kita juga bisa membaca melalui media Mubadalah.id.

Ning Muyas tidak hanya berdakwah melalui tulisan, ia juga memberikan pelatihan kepenulisan kepada koloman kecil yang diampu olehnya beserta suaminya. Mereka adalah para mahasiswa dan mahasisiswi yang tinggal bersama Ning Muyas.

Tidak hanya itu, Ning Muyas juga perempuan pebisnis yang memanfaatkan berbagai platform media sosial, mulai dari facebook, instagram, dll. Tidak hanya itu, karyanya dalam bentuk sastra bisa dinikmati melalui video puisi yang dibacanya dikanal youtube.

Bahkan, caranya berdakwah tidak berhenti pada karya itu saja. Ia turut berkarya bersama anak-anaknya dengan lagu-lagu mendidik untuk –anak. Channel yang dibangun untuk menjadi rujukan para ibu-ibu agar bisa memberikan edukasi kepada anak tentang sholawat, rukun Islam, rukun Iman, dll.

Memberikan edukasi melalui media sosial merupakan salah satu upaya untuk mencounter berbagai konten negatif yang tersebar di media sosial. Arus informasi yang semakin cepat, dengan kemudahan dalam mengakses berbagai informasi membuat kita harus cerdas dalam memilih informasi untuk dikonsumsi dan dijadikan rujukan.

Sebaran konten keislaman yang terus gencar dengan berbagai narasi ekstremisme, kekerasan yang mengatasnamakan agama banyak ditemukan di media sosial. Dengan kondisi yang demikian, milenial harus bisa melek teknologi dan literasi digital serta kemampuan literasi lainnya.

Ning Muyas adalah salah satu representasi ulama perempuan yang berdakwah dengan tulisan. Meski demikian, karyanya tidak hanya dinikmati melalui tulisan semata, sebab karyanya bisa dinikmati melalui video-video keislaman yang inspiratif lainnya. Hal itu bisa menjadi pembelajaran bagi milenial tentang kepekaaan memahami problematika perempuan masa kini serta bisa menyuarakan masalah perempuan melalui tulisan.

Menjadi santri perempuan yang berdikari, mandiri dengan memanfaatkan perkembangan teknologi merupakan ikhtiar panjang untuk menyebarkan ajaran Islam dengan berbagai ekspresi yang valuable tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman yang Rahmatal lil ‘alamin.

Berdakwah tidak semata-mata menggelar pengajian, lebih dari itu semua orang bisa berdakwah dengan cara masing-masing dan bisa memberikan kebermanfaataan bagi sesama. Karena setiap orang hendaknya berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Wallahu a’lam

Demikian Muyassaroh Hafidzoh: Ulama Perempuan yang Berdakwah Melalui Tulisan, Rujukan Perempuan Milenial. Semoga bermanfaat.

Penulis: Muallifah, mahasiswi asal Sampang. Sedang menyelesaikan studi di Universitas di Gajah Mada, Yogyakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here