Memberi Warna Keceriaan Anak, Merangkul Hati Orang Tuanya

Matahari mulai memanas, namun tiupan angin sangat terasa. Roda motor ini masih berputar melaju dengan kecepatan sedang, melewati hamparan-hamparan sawah, menandakan masyarakat di sini banyak yang berprofesi sebagai petani. Roda ini mulai menghentikan putarannya tepat di kiri jalan ada sebuah kandang kambing yang terbuat dari susunan kayu sedangkan di kanan jalan ada sebuah rumah sederhana. Rumah yang di depannya dihiasi dengan beberapa tanaman yang membuat rumah ini menjadi sejuk, dan yang paling menjadi perhatian saya adalah dua papan yang terpasang, yakni papan yang bertuliskan “KB Flamboyan” dan Griya Baca Masyarakat “Kandank Ilmu”.

Perempuan memakai gamis biru dan jilbab hitam keabu-abuan keluar dari rumah kemudian menyambut kedatangan saya dengan ramah. Wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rasa lelah, padahal saya tahu kegiatannya begitu banyak sehingga terkadang waktu bersama keluarga saja sangat sedikit. Dialah Khotimatul Husna, sosok yang akan menjadi pemeran utama dalam tulisan saya ini.

Baiklah, akan saya ceritakan siapa sebenarnya Khotimatul Husna. Kenapa saya tertarik menulis tentang dia, dan sebagai perempuan kelebihan apa yang dia miliki?

Perempuan berusia 40 tahun ini merupakan ibu dari tiga putri cantik yang juga memiliki nama cantik, yakni Ratu Sheba Sofie Ahimsa, Queen Aisha Permata Ahimsa, dan Malika Kimya Mutia Ahimsa. Selain ketiga putrinya yang selalu menemani perjuangannya juga Irpan Mutaqin, suaminya yang mendukung apapun yang terbaik bagi istrinya.

Khotim, panggilan akrabnya. Dia tinggal di dusun Kepanjen Rt.01, Dk. Bintaran, Desa Jambidan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta. Perannya di desa ini sangat penting karena Khotim merupakan pendiri dan ketua Kelompok Bermain (KB) “Flamboyan”. Kelompok bermain ini sama sekali tidak memungut biaya pendidikan bagi siswanya, hanya berupa infaq seikhlasnya. Dia juga pendiri dan pengasuh pengajian anak & remaja ”Syifaul Qulub”, Pendiri dan pengelola Griya Baca Masyarakat “Kandank Ilmu”, serta pengasuh pengajian ibu-ibu Dusun Kepanjen.

Khotim memang bukan warga asli Jambidan, dia kelahiran Bojonegoro dan menghabiskan masa sekolahnya dari SD sampai SMA di Bojongoro. Dia juga belajar di Pondok Pesantren At Tanwir Bojonegoro, PP Al Hikmah Singgahan Tuban dan PP Langitan Widang Tuban. Kemudian ketika kuliah dia pindah ke Yogyakarta hingga menjalankan kehidupannya dengan keluarganya.

Memberi Kebahagian Anak-anak dengan Kasih Sayang

Cerita ini berawal dari sejarah berdirinya KB Flamboyan yang Khotim dirikan. Tak terasa air mata sesekali jatuh di pipinya ketika dia mengingat perjuangannya dalam pendirian Kelompok Bermain (KB) Flamboyan ini.

“Awalnya saya melihat banyak anak-anak kecil yang kesehariannya hanya bermain. Mereka tidak ada yang belajar di PAUD atau Kelompok Bermain, padahal di sekitar sini ada beberapa PAUD,” jelasnya saat saya bertanya awal dari pendirian ini.

Melihat itu hatinya tergerak mencari tahu penyebab kenapa orang tua tidak ingin mengajak anaknya belajar di PAUD. Sesuai perkiraan saya, bahwa warga Jambidan mayoritas buruh tani. Penghasilan yang pas-pasan ini yang membuat orang tua tidak mampu membayar biaya pendidikannya yang cukup mahal sehingga mereka tidak begitu peduli dengan pendidikan anak usia dini, mereka akan langsung menyekolahkan anaknya jika sudah cukup usia di Sekolah Dasar (SD) atau di TK tapi hanya satu tahun. Ini akan mengakibatkan kemampuan belajarnya kalah dengan anak yang sudah pernah belajar di usia dini.

Akhirnya Khotim punya inisiatif mendirikan KB gratis. Karena baginya pendidikan usia dini sangat penting, apalagi ditambah dengan mengajarkan nilai-nilai ketauhidan dan akhlak bagi mereka. Dia mengajak beberapa warga yang berkenan membantunya. Salah satunya adalah Lies dan Wasiroh.

Lies dan Wasiroh begitu antusias membantu Khotim di awal pendirian, namun tidak semudah yang dipikirkan. Banyak halangan dan rintangan bahkan penolakan dari beberapa warga sekitar, karena mereka masih ragu dengan apa yang akan dilakukan Khotim. Bahkan ada yang merasa terancam status sosialnya jika Khotim berhasil mendirikan KB ini.

Lies yang dari awal ikhlas membantu tiba-tiba dilarang suami dan ibunya. Mereka tidak tahan mendengar ocehan warga, Lies menangis dan meminta maaf kepada Khotim karena dia tidak sanggup membantu lagi. Namun, Khotim berusaha meyakinkan Lies.

“Saya bilang ke Mbak Lies, kalau ini tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang dilakukan ibu saya waktu berperan di masyarakat. Bahkan ibu saya pernah berurusan dengan polisi. Alhamdulillah kita hanya dibicarakan, jadi tidak usah didengarkan,” begitu lanjut Khotim.

Keyakinan Lies kembali muncul, namun Wasiroh pun tiba-tiba menangis dan bilang kepada Khotim kalau ia tidak kuat mendengar hinaan dari warga.

“Saya cuma penjual sayur keliling, Bu, tiba-tiba banyak yang sepertinya memuji tapi sebenarnya mereka menghina saya. Mereka bilang ‘Ciee… sekarang Bu Dhe Wasiroh jadi Bunda PAUD’ lha itu kan di hati nyesek, Bu,” jelas Wasiroh kepada saya.

Khotim tidak menyerah menyemangati dan memberi kekuatan kepada mereka hingga akhirnya KB Flamboyan berdiri. Karena mereka belum memiliki tempat, dengan berani Khotim mempersilahkan proses belajar anak-anak di rumahnya.

Kemudian mata saya memperhatikan sekeliling rumahnya. Banyak gambar-gambar anak, juga tempelan-tempelan di dinding bahkan coretan khas anak-anak yang mewarnai dindingnya. Saya merasakan betul bahwa di rumah ini proses belajar mengajar anak-anak sangat menyenangkan.

“Jadi, sudah empat tahun kami melakukannya di rumah ini. Sekarang alhamdulillah, kami sudah mendapatkan tempat dan sudah dibangun warga sekitar dengan bantuan para donatur yang begitu baik kepada kami,” kata Khotim, sangat terlihat rasa syukurnya di balik air matanya yang menetes.

Tidak mudah mendapatkan tanah untuk menjadi tempat belajar anak. Awalnya semakin banyak anak-anak yang ikut belajar di rumahnya sehingga sudah tidak muat bahkan sampai berdesak-desakan. Dia beserta Lies mengajukan permohonan kepada Kepala Desa untuk meminjamkan tanah desa yang akan digunakan untuk bangunan KB. Namun, Khotim malah mendapat respon yang tidak baik. Mereka menolak permintaan Khotim dengan alasan yang macam-macam tapi tidak jelas.

Khotim tidak menyerah dia yakin jika melakukan sesuatu dengan keikhlasan, maka jalannya akan dipermudah. “Alhamdulillah ada warga yang baik hati yang menawarkan tempat untuk KB kami. Warga sekitar sangat antusias, kami membangun gedung KB dengan gotong royong,” jelasnya.

Saya masih penasaran dengan biaya pendidikan, kenapa Khotim sampai saat ini tidak memungut biaya pendidikan? Padahal, KB sudah berjalan lancar, siswa semakin banyak, pasti butuh dana untuk proses belajar, bahkan untuk guru-gurnya. Apa bisa hanya mengandalkan donatur?

“Pemikiran itu datang berkali-kali, dari guru maupun wali murid yang mampu. Beberapa kali saya mengiyakan usulan mereka. Tetapi, entah mengapa setiap saya setujui, tiba-tiba ketika saya sedang berjalan melintasi sebuah desa dan melihat wali murid saya yang mencari nafkah dengan menjual daun melinjo, pernah juga melihat wali murid yang berjualan ayam di pinggir jalan. Melihat wajah mereka, saya langsung menangis dan saya putuskan untuk tidak memungut biaya kepada mereka.” Kembali air matanya menetes.

Berdakwah memang tidak hanya menghadapi anak muda atau orang tua saja, namun berdakwah dengan anak kecil juga merupakan jalan dakwah yang efektif. Saya jadi teringat kisah Hadratusyaikh KH. Hasyim ‘Asy’ari. Suatu ketika, Kiai Hasyim mengunjungi Kiai Abdussalam (Kajen, Pati) diantar oleh Kiai Nawawi, santri Kiai Hasyim. Kiai Abdussalam adalah ayahanda dari Kiai Abdullah Salam dan kakek dari Kiai Sahal Mahfudh.

Sesampainya di depan kediaman Kiai Salam, Kiai Hasyim melihat banyak anak kecil mengaji kepada Kiai Salam. Melihat itu Kiai Hasyim bersembunyi dari pandangan Kiai Salam. Setelah semua anak kecil selesai mengaji, barulah Kiai Hasyim mendekat dan mengucapkan salam. Melihat yang datang Kiai Hasyim, Kiai Salam menyambut dengan penuh kegembiraan.

Setelah selesai  menyampaikan hajatnya, Kiai Hasyim berpamitan. Di tengah jalan, air matanya tidak berhenti mengalir. Kiai Nawawi yang menyaksikan itu kemudian bertanya kepada Kiai Hasyim. Dengan mengendalikan tangisannya, Kiai Hasyim mengatakan “Saya sangat iri dengan Kiai Salam. Sudah sejak lama saya punya cita-cita itu, tapi sampai sekarang belum mampu melaksanakannya. Tetapi beliau malah sudah istiqomah, yakni mengajar anak-anak kecil.”

Betapa beruntungnya jika seseorang mampu mendidik anak kecil dengan baik, karena merekalah yang akan meneruskan kehidupan selanjutnya.

Selain Kiai Salam, KH. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta pun melakukan hal yang sama. Beliau sangat gemar mendidik anak-anak kecil, medidik keponakan-keponakannya, anak-anak kampung Krapyak. Hingga kemudian Ibu Nyai Hasyimah, istri beliau adalah salah satu pendiri Taman Kanak-kanak (TK) Ndasari Budi. Sampai sekarang TK tersebut berkembang dengan baik.

Banyak para Kiai dan Ibu Nyai yang mengawali gerakannya dengan mendidik anak-anak. Karena ketika anak-anak diberi kebahagiaan, maka kita juga mendapatkan hati orang tuanya, sehingga dakwah pada orang tua akan semakin mudah.

Itu pula yang dirasakan Khotim, berjalannya waktu gerakannya pun mulai ke ranah orang tua. Khotim yang awalnya melihat kegiatan arisan ibu-ibu hanya diisi dengan bayar uang dan kocok arisan dan amaliyah biasa. Dia ajak warga untuk mengadakan pengajian, sehingga sebelum kocok arisan, Khotim menginisiasi warga untuk terlebih dahulu mengadakan kajian kitab. Karena warga merasakan betul manfaatnya setelah diadakan pengajian, maka ketika bulan Ramadhan mereka meminta Khotim untuk mengadakan kajian kitab setiap bakda Shubuh selama Ramadhan.

Tidak hanya warga satu RT nya. Khotim juga merambah kegiatan mengajinya di RT yang lain di kampungnya. Sehingga sampai saat ini Khotim mengasuh kegiatan pengajian ibu-ibu dusun Kepanjen Desa Jambidan. Yakni, pengajian Nurul Huda RT 01. Pengajian ini dilaksanakan setiap malam Senin. Kegatan di dalamnya adalah membaca surah yasin, barjanji dan kajian keagamaan. Setelah itu baru kegiatan arisan.

Kemudian pegajian Nurul Ulum yang dilakukan rutin setiap malam Jum’at. Pengajian ini terdiri dari warga RT 02 dan 03. Kegiatannya sama dengan RT 01, namun tidak ada kegiatan arisan, yang ada adalah tabungan. Tabungan ini biasanya digunakan ibu-ibu untuk membiayai sedekah takjil di bulan Ramadhan, dan juga kegiatan lainnya.

Saya pernah mengikuti kegiatan malam senin. Ibu-ibu dengan antusias mendengarkan apa yang disampaikan Khotim. Melihat cara Khotim bergaul dengan warga, sangat jelas bahwa dia tidak membeda-bedakan status sosial ataupun latar belakang organisasi warga tersebut. Kemudian ketika ada warga yang membawa serta anaknya ikut kegiatan ini, si anak memanggil Khotim dengan sebutan bunda. Menandakan bahwa si anak mengikuti kegiatan belajar di KB Flamboyan yang Khotim dirikan.

Sangat terasa betul, ketika hati anak sudah kita peluk, hati orang tuapun mudah kita rangkul. Seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Beliau berdakwah kepada ummatnya, dan jika sulit menyampaikan dakwahnya kepada para orang tua, maka beliau menyampaikan kepada anak-anaknya.

(bersambung)

Penyusun: Siti Muyassarotul Hafidzoh, Koordinator Litbang PW Fatayat NU DIY dan Jaringan KUPI.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here