Masyarakat Indonesia sejenak terhenyak dengan peledakan bom di tiga gereja di Surabaya (Minggu, 13 Mei 2018), yang kemudian diikuti oleh dua ledakan lainnya di Wonocolo Sidoarjo dan di parkiran Mapolrestabes Surabaya pada hari Senin 14 Mei 2018. Peristiwa peledakan ini menyisakan duka yang mendalam bagi masyarakat, terlebih tersangka bom bunuh diri adalah satu keluarga yakni ayah, ibu dan keempat anaknya.
Kasus bom bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga ini memberikan pelajaran penting bagi kita semua bahwa paham radikalisme saat ini tidak hanya menyasar kepada para lelaki saja tetapi juga pada perempuan dan anak. Laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), saat ini ISIS menyerukan kepada pengikutnya untuk lebih banyak merekrut perempuan dan anak menjadi “calon pengantin” bom bunuh diri. Hal ini dikarenakan perempuan dan anak tidak menimbulkan kecurigaan oleh aparat.
Tindakan Konkrit
Keluarga sebagai gerbang utama penanaman nilai-nilai kehidupan kepada anak di awal kehidupannya mempunyai peran yang penting dalam meminimalisir penyebaran faham radikalisme. Bahkan keluarga adalah benteng pertama dan paling utama dalam melawan radikalisme saat ini. Ada beberapa strategi dan tindakan konkrit yang mesti dipahami bersama.
Pertama, keluarga adalah unit terkecil dalam sebuah masyarakat dimana anak-anak pertama kali tumbuh dan bersosial sekaligus menerima pelajaran pertama dalam hidupnya. Peran ayah-ibu sangat penting dalam masa perkembangan anak di awal kehidupannya, karena pada masa kanak-kanak, anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarganya dibandingkan dengan pihak luar, sehingga penanaman nilai-nilai toleransi akan sangat efisien di masa ini.
Kedua, sebagai orang tua, ayah ibu adalah teladan utama bagi anak-anaknya. Apa yang dilakukan oleh orang tua akan menjadi teladan bagi anaknya. Dalam konteks toleransi, orang tua dapat memulai dengan memberikan contoh untuk menghormati orang lain yang berbeda dengan si anak seperti beda agama, beda jenis kelamin, beda ras maupun beda warna kulit.
Ketiga, mengenalkan tentang keragaman kepada anak. Semakin dini anak menyadari keragaman, maka dia akan semakin bisa menghormati perbedaan. Mengenalkan tentang keragaman bisa melalui buku, mengunjungi berbagai tempat ibadah, dan tidak membandingkan masing-masing anak. Hal ini kemudian bisa dilanjutkan dengan pengenalan konsep Pancasila dengan mengatakan bahwa NKRI ini terdiri dari berbagai macam suku dan agama.
Selanjutnya adalah membangun pola komunikasi yang baik dengan anak. Cara ini bisa dimulai sejak anak usia dini, yakni dimulai dengan membangun kedekatan dengan anak, luangkan waktu yang berkualitas dengan anak, mengajak bermain atau mengobrolkan keseharian mereka di sekolah atau di rumah. Dengan membangun kedekatan dengan anak sedini mungkin, ketika menghadapi masalah anak akan terbiasa “curhat” kepada ayah dan ibunya, bukan dengan mencari solusi lain di luar rumah yang bisa saja akan tertangkap jaringan-jaringan yang membahayakan dirinya contohnya jaringan terorisme.
Pola pengasuhan berbasis inklusi ini diharapkan bisa meminimalisir bibit intoleransi yang secara tidak sadar disemai oleh para orang tua kepada anaknya, sehingga anak kelak ketika dewasa tidak bisa menghargai keragaman dalam lingkungannya. Bibit intoleransi ini yang kemudian akan dipanen oleh faham-faham radikalisme berbasis agama.
Mari jaga keluarga kita dan bangun kedekatan dengan seluruh anggota keluarga.
Penulis: Neng Zulfi Zumala, Dosen IAIDA Blokagung Banyuwangi dan Alumni Australia Award Indonesia (AAI) Progam Shortcourse Leadership Development Course for Islamic Women Leader, Deakin University, Melbourne, 2017.