Ibu sebagai Agen Perdamaian
*Annas Rolli Muchlisin
Tepat hari ini, bangsa Indonesia akan memperingati hari yang begitu spesial, yaitu Hari Ibu pada tanggal 22 Desember mendatang. Mengapa begitu spesial? Jawaban sederhananya ada dua. Pertama, karena ibulah yang membuat fisik dan “non-fisik” kita ada di muka bumi ini. Membuat fisik maksudnya adalah ibu yang melahirkan kita ke dunia, sedangkan membuat “non-fisik” maksudnya adalah ibu yang berperan pertama kali membentuk kepribadian dan pola pikir kita.
Seorang ibu yang berpandangan luas dan mampu bersikap toleran akan membentuk seorang putera dan puteri yang toleran pula. Sedangkan ibu yang suka marah-marah atas perbedaan, menghujat pluralitas, dan anti-toleransi akan melahirkan anak yang kagetan plus ngambekan pula. Ibu adalah sekolah pertama (al-madrasah al-ula).
Kedua, peringatan Hari Ibu tidak sekedar mengenang jasa para ibu yang telah melahirkan kita ke dunia ini. Meskipun ternyata saat ini dunia dipenuhi oleh makhluk bernama cebong dan kampret, tetapi Hari Ibu – bersamaan dengan Hari Kartini – bisa digunakan sebagai momentum untuk menyuarakan kembali hak-hak perempuan dan mengoptimalkan lagi gerakan-gerakan perempuan di ruang publik. Mengapa gerakan perempuan begitu penting? Kalau kita membaca buku sejarah atau menonton film dokumenter tentang peran perempuan, mata kita akan terbelalak kagum.
Salah satu contohnya adalah film dokumenter Pray the Devil Back to Hell. Alkisah, di Liberia saat itu sedang terjadi konflik berdarah antara presiden diktator dengan gerilyawan yang tergabung dalam kelompok LURD. Peperangan ini telah menyebabkan 200.000-an orang meninggal dan korban yang paling banyak berasal dari kalangan perempuan dan anak-anak. Saat itu, para aktivis perempuan yang dipimpin oleh Leymah Gbowee mengupayakan adanya perdamaian. Dan langkah pertama mereka adalah mendakwahkan perdamaian di gereja dan masjid. Keren! Ini berkebalikan dengan kondisi di negeri kita, di mana (sebagian) masjid malah digunakan untuk menyebar kebencian.
Langkah lainnya adalah mereka turun ke jalan, puasa hubungan seksual. Apa yang mereka lakukan? Jika suami mereka pergi berperang mereka tidak akan mau diajak berhubungan badan, hingga mengawal proses perundingan perdamaian. Upaya mereka berhasil mengakhiri peperangan dan menaikkan seorang perempuan menjadi presiden baru Liberia. Dan Liberia adalah negara pertama di Afrika dengan presiden perempuan!
Setelah menonton film tersebut, terkadang terlintas di otak saya bahwa di Indonesia nanti akan ada sekelompok perempuan yang memperjuangkan perdamaian di tengah carut marutnya politik sontoloyo dan genderuwo semacam ini. Atau ketika suaminya suka menyebarkan ujaran kebencian dan hoax, mempolitisasi agama, melegitimasi aksi terorisme, sampai mau mengubah NKRI, cara ibu-ibu di Liberia tadi mungkin bisa ditiru.
Peringatan Hari Ibu mendatang sudah seharusnya membuat kita merefleksikan peran perempuan dalam menciptakan kedamaian di Indonesia. Saat ini, problematika yang dihadapi bangsa Indonesia sudah sangat kompleks, tidak hanya persoalan politik saja sebagaimana disinggung di atas, tetapi juga berbagai problematika hidup lainnya. Satu kasus yang sempat membuat kita mengelus dada di pertengahan tahun 2018 yang lalu adalah adanya aksi teror di Jawa Timur yang dilakukan oleh satu keluarga: suami, istri, dan anak-anaknya. Fenomena itu menggambarkan bahwa perempuan kini sudah ambil bagian aktif dalam melakukan aksi teror.
Kaum perempuan dengan kasih sayang, kelembutan dan jiwa keibuannya dapat menjadi kekuatan yang sangat penting dalam membidani lahirnya suasana tenang dan damai di Indonesia, di saat sebagian laki-laki bejat melahirkan kerusuhan karena keserakahan politik atau pemahaman agama keliru yang mengafirmasi aksi terorisme.
Satu kisah menarik akan dituliskan sebagai penutup tulisan singkat ini. Seorang pemuda Aceh bernama Akbar mendapatkan beasiswa kuliah S1 di Turki. Jarak Turki – Suriah hanya ditempuh dalam kurun waktu 5 jam. Saat itu, Akbar terdoktrin paham ISIS dari media sosial dan ia pun akhirnya merencanakan kepergiannya untuk “berjihad” di medan perang bersama ISIS. Dalam benaknya hanya ada dua kata, yaitu ‘hidup mulia’ atau ‘mati syahid’ dengan hadiah berupa bidadari surga. Namun Akbar akhirnya mengurungkan niatnya gabung ISIS. Tau alasannya apa? Bukan karena Akbar sudah mendapat pencerahan dari paham agama yang moderat, tetapi karena tangisan ibunya yang tidak merestuinya pergi ke Suriah. (Cerita lengkap bisa ditonton dari film dokumenter berjudul Jihad Selfie atau bisa dibaca di BBC Indonesia dengan judul “Tangisan ibu membuat remaja Aceh urung gabung ISIS di Suriah”).
Dari sepenggal cerita di atas, kita bisa belajar bahwa menyelamatkan seseorang tidak melulu harus dengan cara-cara yang berat, seperti mengadakan seminar anti terorisme atau kampanye yang melibatkan banyak massa – meski kedua cara ini juga sangat penting – tetapi penyelamatan dan kedamaian bisa dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Dan ibu memainkan peran yang sangat penting dalam keluarga.
Selamat Hari Ibu!
We love you moms!