oleh Khotimatul Husna*

 

Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah agama yang lurus dan toleran.” (HR Bukhori)

Kehidupan antarumat beragama kita sering kali diuji dengan berbagai persoalan yang menguras pikiran dan emosi. Kita menyadari betapa mempertahankan kerukunan bukanlah hal yang mudah. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu perhatian kita tersita untuk sebuah peristiwa yang terjadi di Jogja tentang pemotongan kayu salib di atas kuburan, juga beberapa peristiwa sensitif terkait kehidupan beragama lainnya seperti peristiwa toa masjid.

Beranjak dari persoalan yang terjadi antarumat beragama tersebut kita perlu merenung sejenak dan mengevaluasi sikap dan cara kita berinteraksi dengan kelompok dan agama lain. Kita sebaiknya melakukan introspeksi atau “kritik ke dalam” tentang cara dan sikap beragama kita. Sebagai orang Islam, seyogianya kita melihat apakah sebagai bagian dari umat mayoritas kita sudah berlaku adil terhadap saudara sebangsa nonmuslim atau beda aliran misalnya. Jangan-jangan sebagai mayoritas kita tidak bisa memberikan pengayoman dan rasa aman  kepada kelompok minoritas karena kita sudah merasa mendapatkan “privilege” atau kenyamanan tertentu.

Apakah kita sebagai umat mayoritas pernah berempati atau sekadar memikirkan dan memberikan ruang atau “kebutuhan” khusus  saudara kita nonmuslim dalam menjalankan ibadahnya. Bisakah mereka mengekspresikan keberagamaannya sebagai manusia yang bebas dan merdeka dari rasa tertekan dan perlakuan tidak adil lainnya. Jika kita ingin diperlakukan secara adil maka seyogianya kita juga memperlakukan “yang lain” dengan adil pula.

Yang tak kalah pelik dari soal keberagamaan kita adalah tentang simbol agama. Simbol keagamaan tidak bisa terlepas dari umat beragama, entah itu berwujud rumah ibadah, tulisan, benda yang disucikan, atau hal lainnya. Kita juga mengeramatkan simbol keagamaan kita sebagaimana orang dari agama lain juga melakukan hal sama. Untuk itu, kita tidak perlu merasa “tidak nyaman” kalau orang dari agama lain menonjolkan simbol keagamaannya, karena kita juga mengagungkan simbol keagaamaan kita.

Rasulullah Saw. memberikan contoh nyata bagaimana memberikan perlindungan dan rasa aman kepada kelompok minoritas, termasuk kepada nonmuslim. Teladan kita Rasulullah Saw. menganggap musuh terhadap orang yang mendzalimi nonmuslim (dzimmy). Rasulullah bersabda: “Siapa menganiaya seorang dzimmy, atau mengurangi haknya atau membebaninya melampaui kekuatannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan hatinya, maka aku (Nabi) musuhnya. (HR. Abu Dawud)

Teladan dari Nabi Muhammad Saw. ini diikuti oleh khalifah Umar bin Khattab ketika berhasil menaklukkan Baitul Muqaddas. Khalifah Umar berkata: “Inilah yang Umar berikan kepada penduduk Elia berupa keamanan, dia memberikan keamanan bagi mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, yang telah rusak maupun yang masih utuh, dan seluruh urusan agamanya. Sesungguhnya, gereja-gereja mereka tidak boleh dihentikan dari kegiatan-kegiatan, tak boleh diruntuhkan, tak boleh dikurangi, demikian juga kekayaannya tidak boleh dikurangi, juga salib-salib mereka, atau sedikitpun dari harta mereka.”

Rasulullah yang mulia bahkan pernah mempersilakan nonmuslim untuk menjalankan ibadah mereka di dalam masjid. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam dalam Sirat al Nabawiyat Juz II, hlm. 426-428. Pada suatu hari, Rasulullah mendapat kunjungan dari para umat Kristen dari Najran. Rombongan itu berjumlah 60 orang. Dari jumlah itu, 14 orang adalah pemimpin Kristen Najran. Mereka adalah Abdul Masih, Ayham, Abu Haritsah ibn Alqama, Aws, Al Harits, Zaid, Qais, Yazid, Nabih, Khuwailid, Amr, Khalid, Abdullah, dan Yuhannas. Rombongan dipimpin Abdul Masih, Al-Ayham, dan Abu Haritsah Ibn Alqama. Sesampainya di Madinah, rombongan itu menuju masjid. Berdasarkan info yang diterima, Rasulullah memang berada di sana. Waktu itu, nabi sedang shalat Ashar bersama para sahabat. Mereka pun menunggu dan ketika waktu kebaktian tiba mereka saling  menoleh dan bertanya tentang gereja terdekat. Ternyata, nabi mempersilakan mereka menggunakan masjid untuk kebaktian dan ibadah mereka. Satu bukti nyata bahwa nabi begitu menghormati agama lain.

Rasulullah juga menghormati nonmuslim tidak hanya ketika mereka hidup, tetapi ketika sudah menjadi jenasah pun. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis. “Suatu ketika, Sahl ibn Hunaif dan Qais ibn Sa’d duduk santai. Tak lama kemudian lewat rombongan orang sedang membawa jenasah, keduanya pun langsung berdiri memberikan hormat, lalu ada yang memberi kabar, jenasah itu adalah seorang Yahudi. Kedua sahabat tadi pun menjawab: Nabi kita juga pernah mengalami seperti ini: Dia (Nabi) sendiri memberi hormat kepada jenazah seorang Yahudi. Dan dia bersabda dengan nada bertanya: Bukankah Yahudi juga manusia?” (HR. Bukhori)

Prinsip memanusiakan manusia inilah yang meneguhkan bahwa nabi tidak pernah melakukan kezaliman terhadap nonmuslim. Nabi Muhammad menegaskan siapa yang menyakiti manusia di dunia termasuk terhadap nonmuslim, Allah pasti akan menyiksanya di akhirat. Ketegasan sikap nabi ini juga dinyatakan dalam hal larangan membunuh nonmuslim atau ahlu  dzimmah. Siapa pun yang membunuh nonmuslim maka dia tidak akan mencium bau surga. (Baca Hadis Tirmidzi tentang larangan membunuh ahlu dzimmah).

Toleransi yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad adalah tonggak sejarah yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang ramah dan penuh kedamaian. Sebagai pengikut nabi apakah kita masih mempersoalkan tentang bagaimana mengucap salam dan selamat atas hari raya agama lain, kalau nabi kita bahkan sudah melampaui dari persoalan itu karena nabi melihat bahwa esensi “perdamaian” itu lebih penting daripada hanya sekadar simbol belaka.

Mari belajar toleransi tidak sebatas hanya pada kata, tapi pada tindakan nyata seperti yang diteladankan oleh Rasul Muhammad yang mulia.

 

 *Khotimatul Husna, Ketua PW Fatayat NU DIY dan pegiat sosial

 

 

 

Sumber Bacaan:

Terapi Nabi Mengikis Terorisme, Khotimatul Husna, Pustaka Pesantren, 2016 (cetakan kedua)

Sahih Bukhori, Bab Imam, hlm. 17

Sahih Bukhori, Bab Janaiz, hadis No 1229

Sunan Abu Dawud, hadis No 2654

Islami.co.id

 

 

**insert sumber foto ilustrasi, dari google image

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here