(Belajar dari Pengalaman)
#Bagian_1
Oleh: Lindra Darnela*
Istilah multikultural adalah istilah lama yang ngetren sekitar 20 tahun yang lalu ketika orang mulai membincangkan postmodernisme. Pola tersebut lama tidak terdengar meskipun dalam beberapa hal masih diterapkan oleh para pegiatnya. Saat ini ketika orang membincangkan postkolonial, waktu mengubah dengan cepat pola relasi dan karakter masyarakat disertai berkembangnya teknologi yang memberi akses membaurnya budaya dalam skala global, tidak terbatas ruang dan waktu. Hal ini menjadi tantangan bagi pendidik (seperti saya) untuk terus menjaga identitas kebangsaan, kemajemukan, dan kesadaran kritis dimiliki oleh anak didiknya di tengah relasi kuasa global. Untuk mewujudkan hal ini, perlu kiranya untuk menghidupkan kembali pendidikan multikultural sebagai salah satu cara menghadapi tantangan tersebut.
Multikulturalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai paradigma yang menganggap bahwa adanya kesamaan antar ekspresi budaya yang beragam. Secara realis, multikultural mengusung kesadaran sosial bahwa di ranah kehidupan masyarakat kita ada banyak budaya. Kesadaran ini berdimensi etis yaitu menuntut tanggung jawab yang terarah pada ortopraksis (tindakan baik dan benar). Dimensi etis ini terwujud dalam bentuk kasih sayang, penghargaan, penghormatan, cinta, perhatian, dan pengakuan akan eksistensi sesama.
Gugus kesadaran ini menjadi poin penting dalam wacana multikultural. Sehingga multikultural diartikan sebagai kesadaran akan kehadiran orang lain dengan penghargaan atas nama cinta yang diolah dengan hati sehingga muncul benih-benih kebaikan. Atmosfer seperti ini mulai langka saat ini dan seolah tampak sulit untuk diciptakan kembali mengingat tren yang berubah ketika beberapa kelompok masyarakat dan tokoh lebih suka menggunakan pendekatan yang tidak lagi ”sejuk”.
Hal tersebut dibuktikan dengan potret yang berbeda antara tokoh agama. Misalnya saja kiai yang memberikan pesan perdamaian, toleransi, dan juga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dengan kemampuan dan pengetahuannya yang mendalam tentang agama, kalah pamor dengan ustadz-ustadz (paling tidak mengatakan dirinya sebagai ustadz) yang kita tidak tahu di mana ia bisa mendapatkan pengetahuan agama, namun dengan keras menentang orang-orang yang berbeda agama bahkan berbeda paham keagamaan dengan dia. Tentunya dengan mengatakan bahwa versinya adalah the real Islam. Orang-orang (saya tidak mau mengatakan ustadz) seperti itu lebih disukai oleh sebagian besar masyarakat sekarang, dengan kuasa media. Bagi mereka, merekalah yang ”paling” Islam.
Islam dalam dokumen teologisnya mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk laki-laki dan perempuan, serta berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Dalam konsep ”mengenal”, ada proses interaksi yang berdimensi keterbukaan, penghargaan, dan penghormatan terhadap orang yang ”dikenal” sebagai entitas yang ”layak untuk dikenal”. Kebudayaan yang tertutup memiliki sikap tidak berharap, tidak berkeinginan, tidak membutuhkan dan tidak memiliki kemampuan untuk berdialog dengan kebudayaan lain. Komunitas budaya yang tertutup tersebut sangat mudah merasa terancam. Dengan penuh kecurigaan, ia berusaha keras melindungi dirinya dengan menolak interaksi dengan kebudayaan lain yang dirasakan sebagai “pengganggu”.
Dalam deklarasi lainnya, Tuhan mengatakan bahwa manusia adalah sama kecuali apresiasi ketaatannya sebagai hamba Tuhan. Maka konsep mengenal berlaku terhadap semua manusia. Lebih jelasnya, semua manusia memiliki nilai kelayakan yang sama untuk dikenal. Secara praksis, multikultural tidak hanya melihat budaya sebagai kristalisasi identitas kolektif suatu komunitas. Budaya bisa saja berupa identitas personal seseorang dengan berbagai keunikannya. Sehingga multikultural dapat diartikan sebagai penghargaan terhadap orang lain dengan segala atribut yang dimilikinya. Dalam konteks ini sama dengan konsep pluralisme yang berupa cara pandang sebagai sikap individu yang melihat sesuatu dalam keberagamannya.
Nilai keberagaman tersebut berbentuk kesadaran individu dan sosial akan hadirnya sosok lain dari diri kita disertai rasa kasih dan sayang. Namun demikian, tidak semua orang memiliki kepekaan yang sama terhadap gejala tersebut. Secara individu, masing-masing orang memiliki bahan, pola, dan alat tersendiri dalam proses internalisasi dalam diri masing-masing sehingga hasil yang berbeda menjadi keniscayaan dan tidak semua memiliki kesadaran tersebut. Untuk itu, pembelajaran menjadi salah satu metode yang tepat menjadikan seseorang memiliki kesadaran akan kehadiran dirinya dan juga orang lain.
Pembelajaran menunjukkan sebuah proses dinamis dalam belajar. Untuk menanamkan nilai-nilai multikultural dalam diri seseorang, peran pengajar menjadi hal penting, dan syarat kunci yang harus dimiliki oleh seorang pengajar adalah secara pribadi ia telah lebih dahulu memiliki kesadaran sosial tersebut. Proses transformasi tentang penghargaan akan keanekaragaman budaya tersebut dikemas dalam istilah multiculture education (pendidikan/pembelajaran multikultural).
Pembelajaran multikultur ini menjadi penting untuk digunakan mengingat proses belajar adalah sesuatu yang tidak ada hentinya sepanjang masih hidup (long life education) sehingga bisa dipastikan bahwa tidak ada manusia yang tamat dari sekolah kehidupan. Adalah pepatah latin mengatakan Non scholae sed vitae discimus, bahwa kita belajar bukan untuk sekolah (demi ijazah, demi mencari gelar atau IPK) melainkan untuk hidup. Hal tersebut menunjukkan bahwa fakta multikultural harus menjadi pokok pembelajaran.
Untuk mewujudkan hal tersebut, ada beberapa hal yang secara pribadi saya lakukan berdasarkan pengalaman sebagai pengajar yaitu: Pertama, pendidikan multikultural harus dicantumkan dalam kurikulum atau rancangan perkuliahan. Indonesia memiliki semboyan kebangsaan yang mencerminkan filsafat multikultural, Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu, dalam bahan ajar pendidikan di Indonesia perlu memuat pembelajaran multikulturalisme, penyadaran akan keragaman. Kedua, pembelajaran itu harus membuat orang sadar akan keragaman kultural. Oleh karena itu perlu metode yang cocok dengan tujuan pendidikan multikultural, sehingga dari sana akan muncul aspek ketiga yaitu, apresiasi multikulturalisme. Setelah ketiga proses tersebut diharapkan akan muncul asepek keempat yaitu mentalitas dialogis yang menjadi conditio sine qua non (syarat mutlak) pada era disrupsi baik dalam konteks kultur maupun politik serta memiliki sikap mental yang tangguh dalam menghadapi arus globalisasi. Kelima, di atas mentalitas itu akan muncul manusia yang ”memiliki hati”, humanum, merendah seperti tanah, terbuka terhadap orang lain, dan senantiasa menyebar benih kasih sayang terhadap siapapun.
Bersambung…
*Lindra Darnela, pendidik di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Anggota Divisi Litbang PW Fatayat NU DIY
Ket: riwayat tulisan, draf 15 Mei 2006, diedit kembali 23 Desember 2018.
Gambar ilustrasi diambil dari google image (red.)