“Kecuali yang biasa tampak”: Memahami kontroversi ayat Jilbab

Pernyataan Ibu Negara, DR Hj Sinta Nuriyah baru-baru ini mengundang sebagian netizen bereaksi keras. Beliau mengatakan tidak ada kewajiban bagi Muslimah mengenakan jilbab. Bagaimana sih duduk persoalannya?

Sebagian netizen sampai tega mengucapkan kata-kata kasar kepada istri Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid. Tampaknya sebagian pihak memang belum terbiasa berbeda pendapat dengan santun. Lebih dalam lagi, sebagian kalangan belum terbiasa untuk belajar memahami argumentasi pendapat yang berbeda. Pahami saja dulu alur argumentasinya, dan kita toh tidak harus sepakat dengan kesimpulan akhirnya. Tetapi dengan berusaha memahami minimal kita berbaik sangka dan tidak akan keluar caci-maki.

Aurat itu wajib ditutup. Yang menjadi persoalan pokok adalah apa batasan aurat bagi perempuan itu? Apakah rambut, leher dan telinga itu termasuk aurat yang wajib ditutup atau tidak? Diskusinya bisa panjang, dan saya kira sudah banyak ulama dan cendekiawan yang mendiskusikannya —saya tidak perlu mengulangi kajian itu.

Saya hendak menunjukkan cara pandang sementara pihak yang boleh jadi berbeda dengan pandangan mayoritas kita. Sekali lagi, tolong pahami saja dulu. Setelah itu silakan dibantah atau disetujui dengan argumentatif dan santun. Bisa kan? Kalau gak bisa, lebih baik anda tidak usah meneruskan membaca tulisan ini. Saya khawtair darah tinggi anda naik, dan kena stroke nanti (semoga tidak demikian yah).

Dalam petikan QS an-Nur ayat 31 berbunyi: “janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”

Para ulama berdebat apakah perhiasan yang dimaksud dalam ayat di atas. Apakah yang dimaksud ini adalah tubuh perempuan, atau asesoris seperti make up dan perhiasan beneran.

Kita fokus pada frase “illa ma zhahara minha” yang diterjemahkan oleh Kemenag RI dengan “kecuali yang (biasa) tampak darinya.”

Nah para ulama juga berbeda pandangan mengenai frase ini. Jadi dalam satu cara pandang, petikan ayat ini bermakna: jangan tampakkan tubuh kalian, kecuali apa yang biasa kelihatan. Lalu apa yang biasa kelihatan itu?

Para ulama ada yang berpendapat bahwa yang biasa kelihatan itu: pakaiannya. Artinya, menurut Ibnu Mas’ud semua tubuh wanita memang harus ditutup tidak boleh diperlihatkan kecuali pakaian luarnya yang memang bisa dilihat orang lain. Makanya kita mengerti —meski tidak harus setuju— bahwa ada perempuan yang rapat menutup seluruh tubuhnya dari atas sampai ke bawah.

Ada lagi yang berpendapat bahwa yang biasa kelihatan itu maksudnya cincin dan gelang. Ada lagi yang bilang itu maksudnya celak mata (eye liner), pewarna pipi, atau hena/inai/pacar di tangan dan kaki.

Artinya, kalau ada yang pakai jilbab terus dia memakai perhiasan atau make up di atas maka dibenarkan oleh sebagian ulama. Jadi, gak usah buru-buru diceramahi yaaah.

Menarik bagi kita untuk menyingkap pendapat Imam al-Qaffal yang dikutip dalam Tafsir ar-Razi:

‎فقال القفال معنى الآية إلا ما يظهره الإنسان في العادة الجارية، وذلك في النساء الوجه والكفان،

Beliau berpendapat bahwa makna ayat “kecuali yang biasa tampak” itu adalah sesuai dengan adat kebiasaan manusia. Nah, untuk kontek jaman dulu bisa dipahami bagi perempuan yang biasa kelihatan secara adat setempat adalah wajah dan kedua telapak tangan.

Zamakhsyari dalam kitabnya Tafsir al-Kassyaf juga menyebut alasan adat atau tradisi untuk mengecualikan perintah dalam petikan ayat di atas.

‎وهذا معنى قوله { إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا } يعني إلاّ ما جرت العادة والجبلة على ظهوره والأصل فيه الظهور، وإنما سومح في الزينة الخفية، أولئك المذكورون لما كانوا مختصين به من الحاجة المضطرة إلى مداخلتهم ومخالطتهم، ولقلة توقع الفتنة من جهاتهم، ولما في الطباع من النفرة عن مماسة القرائب، وتحتاج المرأة إلى صحبتهم في الأسفار للنزول والركوب وغير ذلك.

Yang dimaksud dengan pengecualian berdasarkan adat itu adalah sesuatu yang dibutuhkan (hajat), kalau tidak terbuka, akan ada kesulitan dalam interaksi seperti dalam perjalanan saat harus naik turun kendaraan.

Imam al-Qasimi dalam kitab tafsirnya, dan begitu juga Tafsir al-Bahrul Muhith juga mengutip penjelasan soal adat ini dari Tafsir al-Kassyaf. Dijelaskan pula kebutuhan seperti saat jual beli, pernikahan, atau kesaksian di mahkamah. Itu semua secara adat dan hajat akan menyulitkan jikalau semua tubuh perempuan ditutup tanpa pengecualian.

Penjelasan dari Imam al-Qaffal dan ketiga kitab tafsir lainnya ini menarik sekali karena mengaitkan pemahaman ayat dengan tradisi dan juga kebutuhan. Nah, soal adat dan hajat ini bisakah kemudian menjadi celah untuk memahami ayat di atas dalam konteks relasi, profesi maupun interaksi di jaman modern ini?

Bagi yang mengatakan tidak bisa, maka diskusi selesai. Artinya, hanya wajah dan kedua pergelangan tangan yang boleh dikecualikan untuk tidak ditutup, sesuai pendapat jumhur ulama.

Tafsir al-Munir oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili memberi informasi menarik

‎وبناء عليه قال الحنفية والمالكية، والشافعي في قول له: إن الوجه والكفين ليسا بعورة، فيكون المراد بقوله: ما ظَهَرَ مِنْها ما جرت العادة بظهوره.
‎وروي عن أبي حنيفة رضي الله عنه: أن القدمين ليستا من العورة أيضا لأن الحرج في سترهما أشد منه في ستر الكفين، لا سيما أهل الريف. وعن أبي يوسف: أن الذراعين ليستا بعورة، لما في سترهما من الحرج.

Ketiga mazhab (Hanafi, Maliki dan Imam Syafi’i dalam satu qaul) mengatakan wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat (artinya boleh dibuka sesuai dengan frase illa ma zhahara minha. Yang dimaksud dengan apa yang biasa tampak itu adalah apa yang sudah biasa secara tradisi (adat) untuk kelihatan. Itu sebabnya diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah bahwa telapak kaki itu juga bukan termasuk aurat.

Lho kenapa? Itu karena kesulitan yang timbul dari menutup kedua telapak kaki itu lebih berat ketimbang menutup kedua telapak tangan, khususnya untuk mereka yang di pedesaan. Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah, dimana perempuan biasa bekerja. Ini berbeda dengan situasi di kota lain saat itu. Maka adat dan hajat bergeser dan berbeda dari satu kota ke kota lainnya.

Bahkan Imam Abu Yusuf, seorang murid senior Imam Abu Hanifah dan Ketua Mahkamah Agung di masa Khalifah Harun ar-Rasyid, berpendapat lebih jauh lagi, yaitu lengan perempuan pun bukan termasuk aurat karena menutupinya akan menimbulkan kesulitan (haraj). Tambahan, dalam kitab Syarh Fathul Qadir, disebutkan juga bahwa Imam Abu Yusuf mentolerir untuk membuka separuh dari betis.

Jadi kalau anda melihat perempuan pakai jilbab tapi tangannya kelihatan atau separuh betisnya juga kelihatan, jangan buru-buru dimarahin yaaah. Boleh jadi mereka pakai pendapat Imam Abu Yusuf.

Kita telah melihat bagaimana para ulama mencoba memahami ayat di atas dengan pendekatan adat dan hajat. Bisakah pendekatan ini juga dipakai untik konteks Indonesia, Australia, atau negara lain yang berbeda dengan konteks saat ayat ini turun, sehingga yang dikecualikan untuk terbuka bukan hanya lengan, separuh betis dan tapak kaki, tapi juga rambut, leher dan telinga?

Sekali lagi, kalau anda bilang tidak bisa, maka diskusi sudah selesai sampai di sini. Tapi kalau anda masih hendak meneruskan diskusinya, maka apa yang disampaikan para ulama di atas, dan juga apa yang sudah disampaikan oleh Ibu Sinta Nuriyah baru-baru ini bisa menjadi bahan untuk diskusi lebih lanjut. Menarik bukan kalau kita bisa diskusi tanpa emosi?

Wa Allahu a’lam bish-Shawab

Tabik,

Prof. KH. Nadirsyah Hosen (Rais Syuria PCINU Australia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here