Merebut Tafsir: Peta Perempuan dalam Terorisme*

Oleh: Lies Marcoes

Melihat beberapa kasus terakhir sejak 2019, kasus Sibolga, Jolo, Surabaya, Makassar, dan terakhir di Mabes Polri Jakarta, menunjukkan semakin intensnya keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme

Sejak awal 2011, pakar terorisme, Sidney Jones, telah mengingatkan pentingnya mewaspadai potensi keterlibatan perempuan dalam aksi teror. Sampai saat ini, kita masih menanti analisis para ahli terorisme untuk mengoperasionalkan analisis jender dalam membaca fenomena itu.

Dengan cara itu, diharapkan analisisnya tak akan terjerembab ke dikotomi klasik: lelaki tertarik jihad karena bisa meningkatkan adrenalin maskulinitasnya, perempuan ikut-ikutan jihad karena naif dan kebawa-bawa tanpa agenda.

Dua kasus terakhir, Makassar (28/3/2021) dan Mabes Polri (31/3/2021), tampaknya bukan kisah tentang perempuan yang diajak-ajak, kebawa-bawa, atau dibodohi. Mereka boleh jadi sebagai agen yang punya misi, agenda, dan tujuannya sendiri. Meski tujuannya boleh jadi demi suami, demi anak, demi kelompok atau keluarga, mereka melakukannya dalam misi.

Kasus bom panci, Dian Yuli Novita (2017), menggambarkan itu. Ia melakukannya setelah menikah dan berbaiat ke Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) melalui suaminya dan ia meyakini aksinya akan membahagiakan ibunya kelak di akhirat setelah merasa gagal memberikan kebahagiaan di dunia dengan pekerjaannya yang tak membanggakan.

Sebetulnya, kalau diamati, bahkan sejak 2003, keterlibatan perempuan dengan misinya sendiri terlibat teror dan kekerasan sudah cukup jelas. Kasus keberhasilan Nurdin M Top, arsitek bom Hotel JW Marriot, main petak umpet dengan petugas, tak lain karena keterlibatan perempuan di sekelilingnya.

Minimal tiga kali dia menikah sejak 2002 sampai ia mati disergap petugas tahun 2009. Semua aksi persembunyiannya dilakukan dalam perkawinan yang dikondisikan oleh anggota jaringannya.

Fungsi rumah tangga dalam bacaan peta terorisme adalah untuk menormalisasikan kehidupan sang buron agar hidup dalam rumah tangga normal. Istri terakhir, AR alias Rimah, adalah guru TK milik sebuah yayasan keagamaan di Jateng. Istri sebelumnya, Muflihatun, sebagaimana juga Rimah, mengaku tak tahu yang dikerjakan suaminya. Namun, mereka tahu suaminya sering bepergian lama untuk ”berjihad”.

Secara kesejarahan, dapat diamati berubahnya tren kesertaan perempuan dalam gerakan radikal yang berujung dengan terorisme. Sampai berakhirnya perang Afghanistan, kalau mau dirunut sebagai gerakan semesta kelompok jihadis, secara umum perempuan masih dianggap ”suporter”.

Mereka adalah pendukung gerakan yang hanya dapat menghadiahkan anak lelaki untuk menambah pasukan jihadisnya. Itu karena dari sisi ajaran yang sangat konservatif, jihad qital yang mematikan atau medan perang memang terlarang bagi perempuan.

Namun, berakhirnya Al Qaeda pada 2011 dan ketika para kombatan pulang kampung, kisah-kisah heroik perempuan yang ikut jihad di Afghanistan mulai dikenali di kampung halaman. Dalam waktu yang bersamaan, para jihadis (lelaki) terus diburu dan ditangkapi.

Ideologisasi radikalisme

Strategi melibatkan perempuan tampaknya mulai muncul dalam agenda mereka dengan melihat beberapa kasus perempuan pelaku bom bunuh diri di Eropa dan Asia Selatan.

Bersamaan dengan itu, glorifikasi perempuan yang ikut jihad menjadi kisah-kisah kepahlawanan dari lapangan. Cerita- cerita itu dibaca dan didengar kalangan perempuan muda yang tak lagi minat berjihad dengan rahimnya semata.

Tatkala pelaku jihad lelaki makin seret, perempuan hadir sebagai pahlawan baru yang dielukan keberaniannya. Bagi perempuan sendiri, kehadirannya menjadi berarti bagi hidupnya. Lahirnya NIIS pada 2013 mengubah pelaku atau pendukung jihadis dari individu lelaki ke perempuan dan keluarga.

Proses ideologisasi radikalisme jelas terjadi bukan lagi di majelis-majelis (antar-lelaki) atau di tempat tidur (suami- istri), melainkan di meja makan suami-istri dan anak-anak.

Kasus bom panci menjelaskan itu. Demikian juga kasus bom Surabaya pada Mei 2018. Mereka digambarkan jarang bergaul atau menghadiri kajian. Proses ideologisasi terjadi di ruang privat di lingkup keluarga.

Demikian juga halnya kasus bom di Jolo, Filipina, yang melibatkan pasangan Rullie dan Ulfah (Januari 2019) dan kasus Sibolga, Sumatera Utara, Som yang membawa anaknya meledakkan diri (Maret 2019).

Namun, rupanya tak gampang membaca isu terorisme dengan analisis jender untuk memahami keterlibatan perempuan. Ini terlihat dari cara femininisasi dalam penyelesaikan masalah, baik untuk bekas kombatan ataupun returnee (mereka yang kembali). Programnya sangat khas, pemberian modal usaha dan sejenis proyek yang menghasilkan pendapatan (income generating) serta penanaman kembali cinta Tanah Air.

Sementara, proses ideologisasi yang ditanamkan kepada perempuan tentang apa artinya ”hidup yang berarti” sebagai jihadis tak selalu diagendakan. Bagaimana menghapus cita-cita Dian untuk membahagiakan agar ibunya masuk surga kelak melalui jihadnya?

Kesulitan untuk memahami keterlibatan perempuan dalam terorisme adalah, pertama, dunia terorisme selama ini dipandang sebagai dunia maskulin, dunia yang ”laki banget”.

Analisis jender yang dipakai pakar terorisme, seperti Noor Huda Ismail, ketika melakukan penelitian Jihad Selfie menggambarkan fungsi maskulinitas yang menyedot minat lelaki muda tertarik pada gerakan jihad. Sebaliknya, proses ”penyadaran” Akbar, si aktor Jihad Selfie itu, juga sangat khas proyek ”Women in Development”.

Membangun keluarga yang damai, di mana ibu berperan sebagai pengayom dan pelindung bagi anak (atau suami) pulang ke pangkuan dan kasih sayangnya. Si ibu atau perempuan difungsikan sebagai penyebar kasih sayang yang seolah tak memiliki agenda untuk mengatasi kebejatan dunia sebagaimana dipahami dan dipandang para teroris (lelaki).

Kedua, butuh kacamata khusus yang dapat dipakai untuk membaca ranah privat dari dunia terorisme. Sejauh ini, dengan asumsi dunia terorisme adalah dunia publik, kacamata bacanya hanya berguna untuk melihat gerakan perlawanan pada stabilitas dan otoritas negara.

Karena itu, ranah yang diaduk-aduk adalah ranah publik: kekuasaan, pemikiran/ideologi, otoritas politik, representasi di ruang publik, kewilayahan, pendanaan, dan jejaring antar-lelaki. Sementara, pengalaman perempuan, ranah privatnya yang tersembunyi dalam lapisan-lapisan relasi jender tak terlihat kegawatannya setingkat problem radikalisme di ranah publik.

Melihat beberapa kasus terakhir sejak 2019, kasus Sibolga, Jolo, Surabaya, Makassar, dan terakhir di Mabes Polri Jakarta yang menunjukkan semakin intensnya keterlibatan perempuan, analisis jender yang melihat relasi suami-istri, atau suami-istri dan anak, atau ruang publik dan ruang privat dalam fenomena pelaku teror bom sudah tak bisa ditawar.

Temuan penelitian Rumah Kitab tentang fundamentalisme dan kekerasan berbasis jender (2020) menjelaskan hal itu.

Analisis jender membantu menerang jelaskan bahwa dalam struktur relasi lelaki dan perempuan yang begitu timpang, penghargaan kepada perempuan yang begitu rendah, sepanjang hidupnya dianggap sebagai sumber masalah dan fitnah, siapa pula yang tak ingin hidup sekali untuk berarti meski kemudian mati berkeping. # Lies Marcoes, 3 April 2021

* Artikel ini telah dimuat di Opini Kompas, 3 April 2021, hal 6.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here