Oleh : Khotimatul Husna*
Beberapa hari ini prihatin melihat berita tentang minimnya empati dan rasa kemanusiaan karena mengejar sesuatu yang disebut “follower” atau pengikut. Kasus youtuber yang nge-prank kelompok minoritas yakni waria dengan memberi bingkisan berupa sayur busuk juga sampah salah satu contohnya. Pemberi bingkisan itu seperti hendak mengirimkan pesan kepada penerimanya bahwa kaum minoritas ini sebagai “sampah”. Sungguh ironis. Jangan-jangan ini mewakili pikiran kebanyakan masayarakat pada umumnya tentang waria. Semoga tidak ya…karena banyak juga yang mengecam tindakan youtuber ini. Tapi, tidak dipungkiri juga banyak di antara kita yang masih bersikap abu-abu terhadap kelompok ini.
Yang memprihatinkan juga tentang berita seorang anak muda terpelajar yang sedang menempuh studi di luar negeri dan diduga melakukan pelecehan seksual kepada puluhan perempuan muda di kampus tempat studinya semula di Indonesia. Melihat akun medsos sang pemuda sepertinya semua orang akan terpesona karena capaian prestasinya yang luar biasa. Hafidz, motivator, ustadz, mahasiswa teladan, dll. Banyak penghargaan dan predikat istimewa melekat di dirinya. Lintas negara dan benua sudah dipijaknya. Sekali lagi, followernya juga tidak sedikit, puluhan ribu. Tentu saja, karena siapa sih yang tidak akan tergoda untuk memfollownya dengan tampilan medsosnya yang nyaris sempurna itu.Tapi….kita semua terkecoh.
Tentunya tidak ada yang salah dengan mencari pengikut atau follower di media sosial. Semua orang berhak menanamkan pengaruh dan menguatkan eksistensinya ke publik. Apalagi jika tujuannya untuk menyebarkan kebaikan dan inspirasi untuk yang lain. Menjadi influencer untuk hal yang positif bahkan keharusan. Tapi, seringkali orang jungkir balik ingin menunjukkan eksistensi dengan tidak memedulikan etika dan kedalaman makna.
Sekarang ini, memang mudah membangun ‘self branding’ dengan aktif di media sosial, tapi hal ini jg bisa menjerumuskan kalau melakukannya tanpa visi yang jelas dan hanya untuk tujuan mengumbulkan diri sendiri semata. Cukuplah memasang foto diri dengan berbagai pose dengan polesan kampanye tertentu, sepertinya publik akan percaya dengan kompetensinya. Yang dikhawatirkan adalah bila orang seperti ini tidak berakar dan berpijak di bumi karena tidak menghargai proses, tapi kiblatnya adalah pada seberapa yang menge-like dan subscribe akunnya. Godaan ini sungguh amat nyata. Ngapain susah turun di masayaarakat, wong tanpa bersusah payah saja sudah tenar dan eksis. Toh orang tidak akan mengecek di lapangan seberapa kontribusinya. Tidak pentinglah orang tidak suka dengan perilakunya di dunia nyata, wong dunia maya sudah dikuasainya. Inikah yang disebut megalomania (ora mudeng jg saya)? Gemebyar hanya di permukaan.
Kalau kita mau bijak mengambil pelajaran dengan kepergian beberapa tokoh dan maestro di bidangnya pada akhir-akhir ini, seperti Glen Fredly, Didi Kempot, juga tokoh-tokoh besar lainnya yang sudah mendahului. Sesungguhnya, berulang kali kita diingatkan bahwa kebesaran seorang tokoh itu sesungguhnya dicapai dengan perjuangan yang berproses panjang dari bawah, tidak secara instan dan hanya melalui perlombaan atau tampilan luar saja. Para tokoh itu tidak menjulang secara seketika, tapi dengan pengetahuan yang dimiliki mereka benar-benar “menghayati” perannya di setiap tahap kehidupan, sehingga ketika menjadi ‘yang besar’ tidak melupakan ‘yang kecil’. Ketika menjadi yang di atas tidak mendongakkan kepala, tapi melihat yang di bawah.Karena mereka memiliki kedalaman mata batin yang terasah dengan mengabdi pada kemanusiaan, maka tumbuhlah kepekaan dan empati kepada semesta. Akhirnya, keberpihakan para tokoh besar ini tampak terang benderang terbaca oleh khalayak sehingga semesta menisbahkannya menjadi orang besar karena fokusnya pada tujuan yang besar bukan pada kebesaran diri sendiri.
Tokoh sekaliber Gus Dur juga dikenal setelah lama malang melintang dalam memperjuangkan idealismenya untuk memanusiakan manusia. Pengetahuan yang baik dan pengejawantahannya dalam sikap dan perilakulah yang membuat Gus Dur tidak mudah dilupakan sejarah. Gerakannya benar-benar dirasakan dan diakui oleh semua pihak. Mahatma Gandhi tokoh besar dengan prinsip ahimsanya (anti kekerasan) yang menjadi idola banyak orang juga setelah melalui perjuangan panjang menegakkan martabat bangsanya. Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, atau lainnya hingga saat ini namanya dikenal harum juga karena tidak mudah dalam meraih cita-citanya, perlu perjalanan berkelok dan lama. Tokoh besar dalam catatan sejarah masih banyak lagi yang bisa kita teladani.
Singkat kata, untuk menjadi berarti dan bermanfaat itu tidak selalu harus diperlukan barisan pendukung, follower, atau fans dengan mencarinya secara membabi buta” dengan merugikan yang lain(kalaupun follower jutaan itu ada ya bukan tujuanlah…haha), tetapi yang diperlukan adalah keberanian moral yang teguh untuk membela kemanusiaan dan menebar kemaslahatan. Keberanian moral yang teguh ini bisa dibahasakan sebagai konsistensi atau istiqomah (dalam term agama). Bukankah istiqomah itu lebih baik dari seribu karomah, sehingga pasti akan mendatangkan banyak pertolongan dan kemuliaan. Orang yang istiqomah dalam teguh pendirianlah yang akan dicatat sejarah dalam ingatan yang panjang bukan sekadar maya dan fatamorgana.
Yaa… mungkin ini karena saya saja yang tidak paham tentang impian anak muda zaman sekarang. Heroisme ala Soe Hok Gie, Chairil Anwar, Che Guevara, juga kisah aktifis perempuan seperti Rahma el Yunusiyah atau Rohana Kudus jg Nyai Khoiriyah atau lainnya mungkin memang tidak menemukan konteksnya pada kalangan milenial saat ini. Tp, harapannya, masih byk anak muda yang berperan hebat di negeri ini. Tragedinya, jangan sampai kehebatan itu untuk menghebatkan diri sendiri saja.
Pertanyaannya, apa tujuan yang sesungguhnya sedang diperjuangkan dengan sebuah eksistensi? Otokritik untuk menabok muka sendiri agar sadar sesadar-sadarnya.