Oleh: Subi Nur Isnaini

Sholat berjamaah melalui media sebenarnya bukanlah hal baru, jauh sebelum pandemik Covid-19, salah seorang ulama hadis asal kota Tetouan, Maroko negara bermadzhab Maliki, Syekh Ahmed bin Mohammed bin al-Shiddiq al-Ghumari telah membahasnya dalam karyanya yang berjudul al-Iqna’ bishihhati sholati al-Jumu’ah fi al-Manzil Khalfa al-Midzya’ (Sahnya Sholat Jum’at di Rumah Melalui Media Radio). Karya ini ditulis pada tahun 1375 H, sekitar 66 tahun yang lalu, jauh sebelum era media sosial.

Dalam bukunya tersebut, Syekh Ahmed al-Ghumari menyatakan bahwa sholat Jum’at berjamaah melalui media radio hukumnya sah dengan beberapa syarat: Pertama, khatib (imam) dan makmum berada di wilayah yang memiliki waktu yang sama. Kedua, posisi wilayah atau rumah tempat makmum berada di belakang area khatib (imam) tidak berada di depan khatib. Ketiga, makmum tidak sendirian, dia berada di shaf dengan makmum lain meskipun hanya berdua saja.

Lebih lanjut Al-Ghumari menyebutkan bahwa, jika tiba-tiba saluran listrik mati di awal khutbah dan makmum belum mendengarkan khutbah maka sholat jum’at makmum tersebut batal dan diganti dengan sholat dzuhur. Namun jika saluran listrik mati setelah makmum mendengar khutbah dan sudah mulai sholat jum’at maka makmum melanjutkan sholat jum’at dengan salah satu di antara makmum menjadi imam.

Pendapatnya ini didasarkan pada beberapa alasan/dalil antara lain: Pertama, maksud utama dari sholat jum’at adalah khutbah, jika khutbah telah terlaksana meskipun hanya melalui radio maka apa yang menjadi maksud utama dari sholat jum’at telah terlaksana. Kedua, pelaksanaan sholat jum’at tidak disyaratkan di masjid. Ketiga, orang yang sholat di luar masjid dan bermakmum pada imam di dalam masjid hukumnya sah berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan sholat malam di kamarnya. Dinding pembatas kamar tidaklah tinggi (pendek), sehingga para sahabat dapat melihat Nabi dan mereka melaksanakan sholat berjamaah bersama Nabi. Keempat, inti dari mengikuti Imam adalah mendengar suaranya, dan suara Imam bisa didengar melalui radio. Pendapat ini diikuti oleh Syekh Abdullah al-Shiddiq al-Ghumari yang merupakan salah satu ulama al-Azhar dan juga saudara kandung dari Syekh Ahmad al-Ghumari.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan sholat tarawih di masa pandemi seperti saat ini? Bolehkah sholat jamaah secara online atau virtual? Dan bagaimana hukumnya?

Syekh al-Husain Ait Sa’id salah satu anggota Majlis Ilmi Tinggi Maroko memberikan fatwa bolehnya sholat tarawih berjamaah melalui media televisi di masa sekarang ini, karena masjid-masjid ditutup sementara sebab Covid-19. Selain itu, sholat tarawih juga termasuk kategori sholat sunnah yang memiliki kelonggaran-kelonggaran tidak seperti sholat fardhu.

Profesor di Universitas Cadi Ayyadl Maroko ini menguatkan pendapatnya dengan beberapa dalil yang dinukil dari kitab-kitab fikih Maliki dan Syafi’i. Pertama, dalam kitab al-Mudawwanah (fikih Maliki) disebutkan bahwa Imam Malik menyampaikan siapa saja yang sholat di rumah-rumah mereka yang berada di depan arah kiblat tempat Imam sholat, dan mereka (para makmum) mendengar Imam bertakbir, sehingga mereka bisa sholat bersama Imam, ruku’ bersama ruku’nya Imam, sujud bersama sujudnya Imam, maka hukum sholat mereka sah.

Jika Imam Malik memperbolehkan tidak terhubungnya shaf dan tidak mensyaratkan posisi makmum di belakang Imam dalam sholat fardhu, maka hal itu juga diperbolehkan dalam sholat-sholat sunnah yang banyak diberikan kelonggaran oleh syariat dengan syarat makmum mendengar takbir-takbirnya Imam tanpa harus melihat Imam, sehingga makmum bisa mengikuti gerakan-gerakan Imam, seperti ruku’, sujud dan lainnya. Apabila makmum dapat melihat dan mendengar Imam sekaligus, maka itu lebih sempurna meskipun tidak disyaratkan. Pendapat Imam Malik ini didasarkan pada apa yang dipraktekkan oleh para keluarga Umar bin Khattab di Madinah, dan pastinya mereka mengerjakan hal itu berdasar pada apa yang dilakukan oleh para sahabat.

Kedua, disebutkan dalam kitab al-Hawi al-Kabir karya Imam al-Mawardi bahwa Imam Syafi’i berkata: “Jika seseorang sholat di salah satu sisi masjid, sedangkan Imam berada di sisi yang lain dan shaf antara Imam dan makmum tidak menyambung atau makmum sholat di bagian atas masjid, maka hal itu cukup (boleh) baginya. Abu Hurairah pernah sholat di bagian atas masjid berjamaah dengan Imam yang sholat di dalam masjid.”

Imam al-Mawardi menyatakan bahwa syarat sahnya sholat makmum adalah makmum mengetahui sholatnya imam, baik dengan melihat Imam, mendengar takbirnya Imam, melihat Imam langsung di belakangnya atau mendengar takbir makmum yang lain. Jika hal ini terpenuhi, baik sholat jamaah dilaksanakan di masjid kecil atau besar, jarak antara Imam dan makmum dekat atau jauh, antara Imam dan makmum terhalang sekat atau tidak, shafnya terhubung atau tidak maka sholatnya sah.”

Pendapat Dewan Fatwa al-Azhar, Mesir

Berbeda dengan Syekh al-Husain Ait Sa’id, Dewan Fatwa al-Azhar, Mesir menolak pendapat yang membolehkan sholat tarawih berjamaah via televisi atau media yang lain.  Dewan Fatwa al-Azhar menegaskan bahwa hukum sholat berjamaah melalui televisi atau radio sebab ditutupnya masjid-masjid karena menyebarnya wabah virus Corona bertentangan dengan maksud dari disyariatkannya sholat tarawih, yaitu berkumpulnya masyarakat muslim di tempat yang satu, pertemuan yang hakiki bukan pertemuan yang iftiradhi/tidak langsung. Dewan Fatwa al-Azhar menambahkan bahwa para ulama fikih telah mensyaratkan sahnya sholat jamaah dengan terhubungnya (tidak adanya sekat bangunan) antara makmum dan imam, dalam arti makmum dan imam harus berada di satu tempat/area yang sama.

Disebutkan dalam kitab Badai’ al-Shonai’ (fikih Hanafi) bahwa di antara syarat sah sholat jamaah adalah makmum dan imam berada di satu tempat yang sama, karena menjadi makmum berarti harus mengikuti imam dalam sholat termasuk tempat sholat.

Dalam kitab Hasyiyah al-Jumal (fikih Syafi’i) disebutkan bahwa syarat sahnya sholat berjamaah yang ketiga yaitu berkumpulnya makmum dan imam di satu tempat yang sama. Jika keduanya berada di masjid yang sama, maka sah sholat jamaahnya. Dan jika jarak antara keduanya jauh dan terhalang oleh bangunan seperti sumur dan atap, maka tidak sah sholat jamaahnya dikarenakan ada penghalang yang menghalangi berkumpulnya makmum dan imam.

Dewan Fatwa al-Azhar menegaskan bahwa sholat jamaah melalui televisi, radio atau media komunikasi modern lainnya hukumnya tidak sah. Siapa yang mengerjakannya maka sholatnya batal. Hal ini dikarenakan tidak tersambungnya (secara langsung) antara makmum dan imam yang menjadi syarat sah sholat jamaah sebagaimana yang disyaratkan para ulama fikih. Begitu juga tidak sah hukumnya sholat jamaah tarawih melalui televisi dan radio karena tidak terhubungnya makmum dengan imam. Dewan Fatwa al-Azhar menyarankan bahwa yang lebih utama sebaiknya kaum muslimin melaksanakan sholat tarawih berjamaah di rumah dengan anak-anak dan keluarga. Ini merupakan kesempatan masyarakat muslim untuk menghidupkan rumahnya dengan sholat berjamaah agar rumahnya dipenuhi dengan rahmat dan keberkahan dari Allah swt.

Wallahu a’lam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here