Nasehat, sebagaimana juga ilmu dan hidayah, senantiasa mendatangi kita, memasuki bilik-bilik kesadaran kita. Setiap hari, keteladaban Nabi Muhammad senantiasa mengetuk pintu hati dan kesadaran kita, namun demikian, tidak setiap orang berdiri membuka pintu dan menyambutnya dengan riang gembira.

Tak jarang, sebagian saudara kita malah menyambut dalam arti memahami pribadi Muhammad dengan cara yang keliru, misalnya menganggap beliau sebagai (maaf) tukang kawin, melegalkan perang dan membunuh, memerangi suku dan kaumnya sendiri, menggunakan Kitab Suci dan agama sebagai alat meraih kekuasaan, dan lain-lain.

Padahal, Nabi Muhammad Saw telah mencontohkan hidup sederhana dan bersahaja, memuliakan kaum perempuan, menyantuni kaum papa dan yatim-piatu!

Saya kira, momen paling pas untuk lebih mengenal pribadi kanjeng Nabi dan Al-Qur’an adalah bulan Ramadan. Bulan puasa itu istimewa karana Al-Qur’an diturunkan pertama kali, istimewa karena umat Islam menunaikan ibadah puasa. Itu artinya kita umat Islam mendapatkan tiga keistimewaan sekaligus, yakni tadarus (berdialog dengan Allah SWT dengan mempelajari Al-Qur’an), berpuasa dan tentu saja lebih mengenal pribadi Nabi Muhammad Saw sebagai sosok yang diwahyukan Al-Qur’an kepadanya, mengapa? Tentu saja lantaran Al-Qur’an adalah akhlak dan kepribadian sang Nabi. Pendek kata, Nabi adalah Al-Qur’an berjalan.

Sebelas bulan yang dipenuhi bising knalpot-knalpot kehidupan yang terus menderu, mengotori kepala dan dada, rasanya puasa satu bulan belum tentu mampu membersihkannya. Lantas?

Dalam hemat saya (yang tidak terlalu hemat), puasa Ramadan hanya latihan, puasa yang sesungguhnya adalah sebelas bulan pasca Ramadan. Belajar di sekolah hanya latihan, belajar yang sesungguhnya di kehidupan nyata. Salat juga latihan, karena salat yang sejati adalah salat di luar salat, yakni memantulkan nilai-nilai salat di kehidupan nyata, berbangsa dan bernegara. Jika salat yang “formal” dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam, maka salat di luar salat, justru dimulai setelah kita salam hingga takbiratul ihram lagi di salat berikutnya!

Jika yang kita telan dan lantas kita muntahkan senantiasa berita-berita bohong dan ujaran kebencian, menghakimi yang berbeda, menghukumi secara serampangan yang di luar golongan kita, jelas bahwa seribu Ramadan pun takkan sanggup merubah kita menjadi pribadi yang bermental “puasa”, yakni menahan diri, mawas diri dan tidak jumawa. Apa sebab? Gegabah adalah ciri orang-orang kalah, tenang adalah cirri para pemenang.

Ramadan adalah bulan penghancur dosa-dosa di mana pintu-pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan pintu-pintu neraka dikunci serapat-rapatnya, bagi siapa? Bagi mereka yang bertobat dan memperbaiki diri dari kepalsuan menuju yang hakiki—minal hoaks ilal haqq.

Ramadan adalah bulan penuh rahmat, bagi siapa? Bagi mereka yang terus mencari dan tidak berhenti menebar cinta-kasih kepada siapa saja, tanpa pandang bulu. Bukankah Nabi sudah mencontohkan dengan hidup membaur di tengah-tengah masyarakat non muslim, ahli Kitab, Yahudi, Nasrani, kaum pagan? Bahkan, mertua Nabi sendiri Huyay bin Akhthab, ayahanda dari sayyidah Siti Shafiyah ra adalah seorang Yahudi!

Ramadan adalah bulan cahaya, bagi siapa? Bagi mereka yang menyadari kegelapan batinnya, kealpaan pola sikap dan kekerdilan pola pikirnya. Mengapa?

Karena segala kegelapan itu menyesatkan. Gelap adalah kebodohan yang mengaku pintar, gelap adalah kedunguan yang merasa bijak bestari, gelap adalah kemiskinan yang justru berfoya-gila, gelap adalah kedangkalan yang merasa tinggi, gelap adalah tipu-daya paling berbahaya, gelap adalah menyia-nyiakan usia, gelap adalah menyalahgunakan sumber daya, gelap adalah angkara yang merajalela, gelap adalah enggan menggapai cahaya, sibuk dengan bayang-bayang yang fana, gelap adalah tak melihat apa-apa selain gelap, jauh dari Tuhan dan akal sehat.

Nah, jika Al-Qur’an dan akhlak sang Nabi adalah titik terang bagi hidup, tugas kita hanya memperbanyak titik terang itu hingga cahaya benar-benar nyata dalam keseharian kita. Semoga seluruh korpus hidup kita dicahayai Kitab Suci.

Penulis: Ach Dhofir Zuhry, Penulis buku bestseller Peradaban Sarung, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here