LAYLA-MAJNUN (8)
Tetap Perawan.

Oleh: Kh. Husein Muhammad

Layla mendengar kabar kekasihnya di belantara hutan dan hari-harinya bersama para binatang itu. Dia menjerit keras lalu menangis. Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya yang ranum itu. Bibirnya mendesahkan nama Qais. Dan sambil menangis dia kemudian menulis surat untuk Qais:

هَذِه الرِّسَالَةُ مِنِّى اَنَا رَهِينَةُ الدَّارِ وَقَعِيْدَةُ الْبَيْتِ … اِلَيْكَ يَامَنْ حَطَمَ اْلقَيْدَ وَصَارَ حُرّاً فِى السُّهُولِ وَالْجِبَالِ .
اَنْتَ شَبِيهُ عَيْنِ مَاءِ الْخِضِر تَأَلُّقاً.
وَلَا زِلْتَ مِثْلَ الْفِراشَةِ تُهِيمُ شَمْعَ الْوِصَالِ .
اِنِّى بِدُونِكَ عَلَى الْوَفَاءِ مُقِيمَةٌ .
وَهَذَا زَوْجِى . بَيْنَنَا لَا يُجْمِعُ رَأْسِى وَرَأْسَهُ فِرَاشُ . وَاِنِّى لَجَوْهَرَةٌ لَمْ تَقْرُبْهَا مَاسَّةٌ
وَكَنْزٌ مَخْتُومٌ لَمْ يُفْضَ.
وَ بَرْعَمَةُ بُسْتَانٍ لَمْ تَتَفَتَّحْ.
يَا مَنْ أَذْيَالُهُ فىِ الطُّهْرِ شَبِيهَةُ الْخِضِر.
تَعَالَ فَاسْقِنِى مَاءَ الْخُلُودِ كَالْخِضِرْ.
وَعَلىَ النَّأْيِ مِنْكَ لَنْ يَبْقَى طَوِيلًا هَذَا الْجِسْمُ.

“Surat ini dari aku, seorang perempuan yang terpenjara di rumahnya,
Ya, seorang perempuan yang sepanjang hari hanya duduk di rumah…
Untukmu duhai kekasihku.
Apa kabarmu, kekasih?
Bagaimana hari-harimu,
dengan siapakah engkau menjalani jam demi jam dalam hidupmu
di lembah-lembah
dan di gunung-gunung itu.
Aku kira engkau lebih bahagia daripada aku.
Engkau bisa bebas pergi ke mana saja, dengan siapa saja dan bisa makan apa saja, sedangkan aku?
Ketahuilah kekasihku,
Aku tak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya menunggu hari demi hari tanpa jiwa,
sambil terus mengingatmu dan merinduimu.
Duhai kekasih jiwaku, yang hatimu bagai mata air Hidhir, mata air keabadian.
Aku masih seperti dulu.
Meski aku telah menikah, namun aku bersumpah hatimu selalu ada di hatiku, Meski aku tidur satu rumah dengan suamiku,
tetapi kepalaku tak pernah menyentuh kepalanya di atas ranjang (La Yajma’u Ra’si wa Ra’sahu Firasy).
“Permata di tubuhku” yang dianugerahkan Tuhan masih tersimpan utuh, bersih dan tak pernah disentuh oleh jamahan tangan siapa pun.
“Harta karunku” yang paling berharga itu masih terkunci rapat dan tak pernah dibuka oleh tangan siapa pun.
Bungaku di taman masih tetap kuncup dan belum merekah, sebagaimana dulu. Duhai dikau yang jernihnya bagai air mata air Khidhir.
Kemarilah, tuangkan air keabadian Khidhir.
Jauhku darimu tak akan lama lagi.”

Bersambung
26.02.2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here