Cerpen: Siwi Nurdiani

Tangkai kembang rumput terselip di sela gigi kuning. Dikunyah-kunyah dan dihisapnya, air di dalam rongga yang terasa seperti madu.Memang, lebah-lebah liar biasa menghisap madu dari kembang rumput.Perempuan ceking itu melangkah tanpa irama memandang kejauhan. Dari mata cekungnya, orang tak cukup referensi tentang apa yang bergelayut  di benaknya. Kosong.Sudah sangat lama belek di kedua mata itu didiamkan tanpa peduli harus dibawa ke puskesmas. Sandal jepit yang dikenakan bergesekan dengan kerikil dan rumput, menimbulkan  musik tanpa genre. Rambut tak pernah kena sisir, diikat sekenanya dengan karet gelang.Lepek benar, tak pernah kena busa sampo.

Ia berjongkok di halaman penuh belukar sebuah rumah kosong. Rumah paling megah, sayang penghuninya—seorang  nenek tua sudah meninggal setahun lalu. Ahli waris tidak ada yang pulang, karena semua hidup di Jakarta.Ia menatap pintu berhias rumah rayap, seperti ingin membukanya dan masuk.

Endang, anak perempuannya yang tengah hamil tua datang tergopoh-gopoh sambil menggerutu. Menarik lengan emaknya paksa, menyuruh pulang. Orang yang melintas dan melihat adegan itu memilih untuk bergegas pergi seolah tidak pernah melihat dua orang yang telah divonis ora waras.Orang memanggil perempuan itu Mbok Ciwek. Endang anak perempuannya, setali tiga uang.Secara fisik, Endang seperti gadis lainnya yang lumayan cantik.Akan tetapi semua mengira kalau Endang mewarisi bakat kenthir dari emaknya. Maka saat disuruh sekolah, Endang memilih drop out karena ia benar-benar tidak bisa baca. Kepalanya akan serta merta pening dan rambutnya rontok jika harus belajar calistung.

“Mak, pulang! Sudah magrib! Itu rumah kosong, hanya ada setan!” Emak meronta, berusaha melepaskan diri.Karena tidak direspon Endang, emak meludah, mengenai lengannya.

“Mak!!!”Endang berteriak dan mengusap sisa ludah bacin dengan bajunya.Ia makin kalap, menyeret paksa emak. Pintu rumah ditutup keras-keras.Satu bola lampu dinyalakan.Emak masih menangis, mengumpat saat Endang mengambilkan nasi dan sayur dengan piring seng, lalu meletakkannya di tanah.

“Makan, Mak!” kata Endang sambil berlalu.Emak memandangi piring berisi nasi dan sayur daun singkong itu nanar.Ia masih ndheprok di tanah. Tangannya diikat tali pramuka, bergetar, hendak meraih sendok.Ia berteriak. Disamparnya piring seng itu dengan kaki kanan.Piring menggelinding sampai sudut, hingga nasi berceceran.

Emak menangis sesenggukan.

“Aku bukan orang gila!!!!” teriaknya, menangis melulung.

Azan magrib.Para petani pulang dari sawah, dan para emak menggiring anak lelaki pulang dari main, segera mandi dan menuruh pergi ke masjid. Anak-anak perempuan sedari tadi ada di rumah setelah ditakut-takuti orang tua mereka, kalau pulang bermain terlalu sore, akan dikasihkan Mbok Ciwek. Benar saja, anak-anak perempuan ketakutan mendengar jerit histeris Mbok Ciwek.

Beberapa bulan lalu, warga curiga karena Endang sering muntah-muntah.Orang kemudian ramai membicarakan kecantikan Endang yang mengundang banyak lelaki ‘nakal’. Benar saja, beberapa malam lalu para lelaki meningkatkan ronda, hingga mereka bisa menangkap preman terminal yang kedapatan keluar rumah Endang lewat jendela. Entah aksi itu berlangsung berapa lama.Malam itu warga berkesempatan praktik penghakiman masal, hingga pemuda preman itu babak belur.Warga memaksa pemuda itu menikahi Endang.Tidak ada pilihan lain, dikawal para penduduk, pemuda itu—namanya Babat, pulang ke desa seberang dan membuat keluarganya naik pitam.Toh pada akhirnya mereka legowo untuk menikahkan anak lelaki mereka.

Orang desa hanya bisa membatin, bagaimana jadinya nasab keluarga itu yang semua serba tak jelas.Konon, Emak alias Mbok Ciwek jadi kenthir juga karena pernah diperkosa oleh lelaki tua yang terkenal sakti.Lelaki itu tidak pernah menikahi emak, hingga lahirlah Endang tanpa kejelasan status.Tidak punya akta kelahiran.Rasanya, Endang pun harus menerima kenyataan pahit itu, menuruni kesialan emak. Ia harus rela hidup tersingkir dari kehidupan sosial karena statusnya sebagai anak  tanpa akta kelahiran. Kini, harus pula Ia mengandung anak zina, meski ia beruntung karena Babat menikahinya.

Endang yang mengetahui kalau emak menendang piring hingga isinya tumpah, menjadi berang. Tak sempat ia lampiaskan pada emak. Babat baru saja pulang dari mencari telur rang-rang, pulang, dan berteriak-teriak minta dibuatkan kopi—juga makan.

Babat menyeruput kopi, pahit. Air kopi ia sembur, mengenai wajah Endang. Endang tak sempat mengelak.Air kopi yang masih di gelas, tiba-tiba diarahkan ke baju.Endang berteriak.Lengannya melepuh kena air panas.

“Bikin kopi kok tidak pakai gula!” umpat Babat, sambil menatap Endang sinis.Endang berbalik menatap mata jalang itu.Tak tahan harus ditekan oleh Babat.

“Untuk beli beras saja tidak ada! Apalagi beli gula! Kamu, sehari-hari pergi cari telur rang-rang, beri makan burungmu sendiri.” kata Endang dengan geram, gemeletuk giginya.

Babat tidak mau bersitegang lebih lama.Ia menghidupkan player yang sudah tersambung ke salon amatiran. Suaranya jedug-jedug, sedikit sember.Volume full, terdengar dari radius sepuluh kilometer, dikira orang sedang ada hajatan manten. Suara paraunya mengalahkan suara penyanyi asolole.

Endang ndheprok di depan tungku, membiarkan asap menebal karena sabut kelapa yang masih basah. Tungku dengan pantat panci yang legam itu basah oleh gelegak air masak. Kabut itu menambah sesak di dada Endang. Air matanya membanjir.Ia tak bisa mendefinisikan rasa sakit atau karena lengan yang melepuh.

Setiap orang membicarakan luka melepuh di tangan Endang.Berekspresi memelas, seolah ikut merasakan perih yang dialami Endang.Sebentar kemudian wajah mereka geram.Mereka mengelus dada karena Mbok Ciwek seperti menjadi sumber karma.Mereka bilang amit-amit jabang bayik untuk menghindarkan diri sendiri dari kesialan.

Lukanya melepuh dan berair.Ibu-ibu memandangnya miris, tanpa berucap apapun.Endang berlalu sambil tersenyum dan mengangguk.Ia buru-buru pergi sebelum orang merasa semakin jijik dengan luka di tangannya. Ia duduk di tepi lapangan, memandangi ibu-ibu lansia yang  sedang giat senam angguk. Ia tersenyum, melihat ibu-ibu itu bersuka ria dan tidak mengingat lagi soal mahalnya harga beras dan kebutuhan hidup lainnya. Endang berandai-andai, bila emaknya  orang normal, ia akan meminta emak bergabung dengan teman lansia lainnya.  Dielusnya perut yang makin membuncit.

Seorang kader posyandu mendekat.Endang resah.enggan jika ditanya apakah sudah periksa kandungan atau belum. Dia baru periksa sekali, saat ada puskesmas keliling.Dia tidak bisa minum obat, termasuk zat besi yang wajib diminum ibu hamil.Dibuangnya obat dari puskesmas.

“Ndang, kehamilanmu makin besar.Harus semakin rajin periksa.” Ujar Riyatmi, teman seangkatan Endang yang sukses jadi kader.

Endang menggeleng.

“Kenapa?” desak Riyatmi.

Endang menunduk.Riyatmi menyentuh lengan Endang.

“Sekalian kamu harus mendapat perawatan, lukamu begini parah. Sebenarnya apa yang terjadi?” pertanyaan Riyatmi membuat Endang makin gagu. Ia melepaskan pegangan tangan Riyatmi. Panggilan temannya itu tak dihirau, ia berlari pulang, terseok, dan mulai terasa semakin berat beban di perutnya.

Endang meraba perut yang buncit itu, dan dirasanya bergerak-gerak. Rasanya ia tak ingin mengandung anak itu, yang ia sendiri tak pernah tahu siapa sebenarnya bapak biologis anak itu. Di antara Babat dan teman-temannya, yang malam itu membawanya pergi melihat pertunjukan angguk.

Bagaimanapun ia harus terima jika Babat  yang kemudian terpaksa mengaku dan mau berkorban menikah dengannya. Sekali waktu, ia masih bisa menikmati sentuhan Babat. Meski di banyak waktu, Babat menggigit dan melemparnya. Seperti dua bulan lalu, menjelang idul fitri, setelah Babat dapat uang hasil menjual telur rang-rang, ia memberikan bungkusan di plastik kresek hitam pada Endang.

“Ini untuk lebaran.” Ujar Babat.

Takut-takut Endang membuka bungkusan. Kaus ketat bergaris-garis dan celana jeans model pensil. Gaya anak muda masa kini.Endang melemparnya.

“Tidak!Aku tidak mau pakai baju begituan!” tolak Endang.

“Ndang, kamu cantik.Kamu perlu tampil seperti ini.modis!”

“Kamu tidak lihat, perutku mulai buncit begini?” protes Endang sambil menunjukkan perutnya.Babat hanya melirik saja.

“Lagipula kenapa kamu tidak gugurkan saja.Aku juga tidak yakin kalau itu anakku.” Ujar Babat, seperti geledek menyambar telinga Endang. Ia berdiri. Selalu saja, percakapan mereka berakhir pertengkaran.

 ◊

Koreng di tangan mengeluarkan bau busuk.Tidak ada satupun yang betah ada di sampingnya. Pun Babat yang sudah beberapa hari tidak pulang. Kata orang, Babat mulai main togel lagi.Berhari-hari mencari wangsit agar dapat nomor jitu. Tiap kali ada tabrakan, Babat mencatat nomor plat, lalu buru-buru pergi ke rumah bandar untuk beli nomer. Begitu terus, tapi tidak pernah sekalipun ianembus.

Endang berdiam diri di rumah, membiarkan Mbok Ciwek berkeliaran.Kali ini Riyatmi menggandeng tangan Mbok Ciwek yang masih meronta.

“Emakmu seharian tadi ada di depan rumah kosong. Aku bujuk, tidak mau pulang.” ujar Riyatmi menahan tangis iba.Endang seperti pura-pura tidak memerhatikan. Ia mengambilkan makan emak dan sayur seperti biasa, memaksa emak untuk makan. Meski lagi-lagi emak menyampar piring seng itu.

Riyatmi mencoba tidak menutup hidung.Ia memberikan salep obat luka.

“Kamu urus lukamu, Ndang.Kasihan anakmu…” kata Riyatmi.

“Itu untuk kamu oleskan, setelah kamu basuh lukanya dengan air hangat.Itu bukan untuk dimakan.”Riyatmi wanti-wanti.Endang hanya memandangi salep bermerek generik.

Endang percaya sepenuhnya apapun yang dikatakan Riyatmi, Satu-satunya teman yang mau menemuinya.

“Semua orang jijik melihatku, Mi. Kenapa kamu malah datang ke sini?” tanya Endang, seperti hendak meyakinkan ketulusan Riyatmi. Riyatmi tertawa.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu, to Ndang?Kita ini berteman sejak kecil. Kalau ada yang kesusahan, ya sudah kewajiban kita untuk saling bantu. Aku ingat Ndang, satu-satunya teman yang datang menjengukku waktu aku sakit malaria, ya hanya kamu.”Kenang Riyatmi dengan mata berkaca-kaca.Riyatmi tahu benar tentang ketulusan hati Endang.

“Semua orang menganggap aku seperti emak.” Ujar Endang, menunduk.

Riyatmi menghela nafas panjang.

“Kita tidak harus mendengarkan apa kata orang.Yang paling jujur adalah tembang pucuk-pucuk Sonokeling, Ndang.”Kata Riyatmi seperti berbisik pada angin.

Endang dan Riyatmi sama-sama tertegun melihat emak tidur di atas amben, memeluk dingin di balik kain jarik yang telah usang dan pudar warnanya.Tak terdengar umpatan kasar dan teriakan.Saat tidur, emak seperti yang lainnya. Endang berharap emaknya sedang bermimpi indah, tidak akan terbangun dengan jiwa terguncang. Ia tak henti bermimpi jika satu hari, emak adalah emak yang sebenarnya, yang bukan Mbok Ciwek.

“Apa aku juga seperti wong kenthir, Mi?” tanya Endang, membuat Riyatmi tergelak.

“Kamu ada-ada saja, Ndang.Kamu itu sehat. Sudahlah, kamu ndhak usah mikir macam-macam.Besok pagi kamu ikut aku ke bidan, untuk periksa kandunganmu terakhir kali.Ini minggu-minggu perkiraan bayimu akan lahir.” Kata Riyatmi. Di sisi lain ia iri, begitu mudah orang lain mendapat momongan, sementara ia sendiri telah lebih enam tahun menikah, tapi belum juga dikasih momongan.

Endang berpikir lama, sebelum ia mengangguk. Jujur ia takut. Tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Makhluk seperti apa yang akan lahir dari rahimnya.

Mereka terkejut ketika emak tiba-tiba melulung.Lalu dalam igauan yang panjang itu, Endang mendengar umpatan untuk lelaki yang dikata orang sebagai bapak kandung Endang.Sepanjang malam itu, emak tak henti mengomel. Riyatmi tak tahan, ia memilih pulang, meski di rumah ia tak akan menemukan siapa-siapa. Sebab suaminya tak mesti pulang ke rumah.Ia harus terima resiko jadi istri sopir truk pelabuhan yang bekerja di luar daerah.

Perut Endang sakit.Ada bercak-bercak darah.Ia menjerit, berjalan terseok menuju rumah Riyatmi. Tidak ada orang.Ia menangis duduk di depan pintu sambil memanggil-manggil sahabatnya itu. Jam sepuluh pagi, hampir semua orang pergi ke sawah atau kantor. Meski tidak ke sawah atau kantor, tapi Babat sudah tidak pulang sejak tiga hari lalu.

Riyatmi datang. Berbekal ponsel pemberian bidan, ia menelpon puskesmas. Lega rasanya, Endang segera mendapat pertolongan medis, dibawa ke puskesmas untuk diinfus.

Malam hari, pukul sepuluh malam—semua bernafas lega, karena terdengar suara tangis bayi, sangat keras.Bayi perempuan. Selepas mengejan, Endang kehabisan tenaga, namun ia dipaksa untuk tidak tertidur. Ia tersenyum saat bidan mendekapkan bayi merah itu di dadanya untuk inisiasi. Riyatmi memandang mereka, pilu.

Bidan menyarankan agar bapak si bayi mengumandangkan azan.Riyatmi terdiam. Endang tidak tahu harus berkata apa.

“Biar saya saja.” Ujar Endang. Bidan mengangguk, lalu mendekatkan telinga bayi ke mulut Endang.Terbata, Endang melafazkan adzan.Tak luput, kalimat demi kalimat seruan Illahi itu membuatnya meneteskan air mata. Entah apa, definisi perasaan itu. Riyatmi berbalik memandang kegelapan dari jendela kaca, mengusap ingus.Ia pura-pura menarik kain korden.

Selesai mengumandangkan azan, semua yang ada di ruang bersalin itu berpaling ke pintu.Melihat seorang lelaki dengan rambut setengah gondrong, dengan mata berkaca-kaca memandangi bayi dalam dekapan Endang.Endang mendekap erat.

Babat melangkah.

“Jangan mendekat!” teriak Endang dengan mata jalang.

“Aku hanya ingin lihat anakku!” kata Babat ngotot.

“Bu, usir dia! Dia itu penjahat! Dia akan menculik anakku!”Endang mendekap makin erat bayi merah itu.

Riyatmi berinisiatif menghalangi Babat.

“Tolong, kamu jangan bikin keributan di sini!” tegas Riyatmi.

“Maksud kamu apa, Mi? kamu selalu saja meracuni pikiran Endang. Aku hanya ingin melihat anakku!” bantah Babat mendorong Riyatmi ke tepi, menabrak tembok.

Tidak ada lagi yang berani menghalangi Babat.Babat leluasa mendekat, lalu meminta anak itu, didekapnya ke dada.Dipandanginya sambil menangis.

“Ini Bapak, Ndhuk…” ujarnya lirih, lalu ia bersenandung tak lelo lelo ledhung. Semua terpana, termasuk Endang yang tidak menyangka kalau Babat bisa berbuat seperti itu.

“Ini hari lahirmu.menjadi hari keberuntungan Bapakmu. Bapak hari ini nembus!” ujar Babat dengan bahagia.Semua tercenung.Riyatmi mengucap istighfar dalam hati.Tak ada satu pun yang berani komentar, karena saat itu di pintu ada lagi yang datang.

“Mana cucuku?Mana?Cucuku!!!”

Mbok Ciwek celingukan mencari-cari keberadaan cucunya yang baru lahir.Tanpa sepatah kata pun.Ia mendekati bayi Endang, menyunggingkan senyum dan menggoda anak Endang itu dengan uro-uro.  Sebentar-sebentar Mbok Ciwek tertawa dan mengajak cucunya itu bergurau.Ya, Mbok Ciwek senang sekali karena mulut kecil cucunya menyunggingkan senyum.Ia bahagia, lahir di antara keluarga yang apa adanya, yang ia akan miliki di setiap esok yang datang.  Seperti gelayut kembang rumput di tangkainya, yang tak takut pada kembara angin— dia akan terbang lampaui savana bergegas memeluk mentari.

SEKIAN.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here