Anak Itu Diselamatkan Allah

Jakarta, Sabtu, 18 April 1963

Oleh: Aguk Irawan

 

Langit begitu cerah. Awan-awan putih berarak-arak, ditingkahi deru-deru mesin kendaraan dan hembusan angin yang bersemilir. Pagi itu, Gus Dur tidak memakai seragam SD-nya, dan sedang bersenda-gurau mencandai adik-adiknya. Gus Dur adalah panggilan singkat dari Abdurrahman. Orang Jawa sering memanggil nama anaknya dengan satu kata yang singkat.

Sang ayah sedang memantas-mantas diri di depan cermin. Di halaman, sopir sedang mengelap kaca-kaca mobil. Sedari tadi, laki-laki kurus yang senantiasa mengenakan peci hitam itu tampak sangat sibuk membersihkan mobil, seakan-akan tak ingin melihat sebutir debu yang menempel.

“Pokoknya aku ikut!” ucap Gus Dur merajuk pada sang ayah.

“Iya, iya,” jawab sang ayah. “Tapi awas! senin kamu harus sekolah!”

“Iya!” jawab Gus Dur, pendek.

Pagi itu, sang ayah hendak meluncur ke Sumedang, untuk mengikuti rapat NU, dan juga untuk meresmikan berdirinya sebuah sebuah madrasah. Langit tetap cerah berawan, dan tak ada tanda-tanda kelabu yang menggantung di sana. Ketika sang ayah telah siap, ia bersama putra sulungnya itu pun segera naik Chevrolet, dan sebentar kemudian mobil itu telah meluncur di jalan raya.

Mobil melaju dan terus melaju. Di dalam mobil itu, jari-jemari KH Wahid Hasyim sibuk memutar biji-biji tasbih. Lantunan shalawat terdengar lirih diputar oleh sang sopir dari tape mobil. Sesekali, Gus Dur bertanya-tanya kepada ayahnya, sembari menebarkan pandangan ke luar jalan raya.

Ketika mobil masuk ke daerah Cimindi, di sebuah ruas jalan antara Cimahi dan Bandung, kecerahan langit berubah. Awah putih yang tadinya menghias di langit berubah menjadi kelabu.

“Pelan-pelan saja, Pak,” ucap sang kiyai pada sopirnya.

“Iya, Kiyai,” jawab sang sopir, pendek.

Gus Dur merapatkan tubuhnya pada sang ayah.

Awan kelabu berubah menjadi awan gelap dan bergumpal-gumpal. Bersama dengan itu, rerintik hujan berganti butiran-butiran yang lebat. Kabut turun bersama butir-butir hujan yang semakin menderas. Langit berubah gelap dan pandangan mata terhalang. Sang sopir menyalakan lampu, agar mobil masih bisa berjalan. Berkali-kali ia menelan ludah. Sang kiyai semakin seru mendendangkan tasbih.

Pada sebuah tikungan, tiba-tiba saja mobil selip. Jalannya oleng. Sopir tak mampu menguasai mobil. Dalam sepersekian menit, chevrolet itu menghantam bak belakang truk hingga menimbulkan benturan yang dahsyat. Saking dahsyatnya, tubuh KH Wahid Hasyim terlempar keluar. Sang sopir sendiri sudah tidak bisa lagi diceritakan kondisinya. Gus Dur kecil tidak diketahui nasibnya.

Sirine ambulans melengking-lengking. Mobil ambulans itu baru datang sekitar 3 jam setelah terjadinya kecelakaan. Sang kiyai, Gus Dur kecil, dan sang sopir segera dibawa ke rumah sakit. Kondisinya kritis. Hidup dan mati adalah rahasia Allah SWT. Setelah mendapatkan perawatan selama sehari, akhirnya kuasa kematian memulangkan KH Wahid Hasyim ke haribaan-Nya. Sang kiyai dipanggil untuk selama-lamanya.

Tapi, Abdurrahman ad-Dakhil, Gus Dur kecil ini, diselamatkan-Nya…

***

Maka berakhirlah kebersamaan Dur dengan sang ayah tercinta. Duka memang seringkali datang tanpa memberi kabar. Jiwa Gus Dur mengalami keperihan. Bila seorang ayah adalah seumpama tongkat, maka Gus Dur telah kehilangan tongkat itu, untuk selama-lamanya.

Gus Dur pun mulai meraba-raba. Bayang-bayang kebersamaan dengan sang ayah selalu menari-nari di benaknya.

Terbayang betapa sang ayah adalah seorang yang lembut, senantiasa ramah kepada setiap orang, santun bicaranya dengan logat Jawa yang membiaskan penghormatan dan kerendahhatian. Setiap Dur melihat almari yang dipenuhi buku-buku dan kitab, terbayanglah betapa sang ayah adalah seorang yang sangat mencintai ilmu. Di kedalaman jiwanya, Dur berjanji akan menjadi seperti ayahnya.

“Dengan mencintai buku dan kitab itu,” ujar batinnya, “aku bisa menautkan hatiku kepada ayah….”.

Pada suatu kali, Gus Dur menemukan lembaran-lembaran kertas. Tulisan tangan sang ayah. Di kertas itu, Gus Dur membaca:

Setiap manusia adalah anak dari jerih payahnya. Semakin keras berusaha, semakin pantas ia jaya. Cita-cita yang tinggi dapat mengangkatnya ke derajat yang tinggi. Semakin keras berkemauan, semakin terang derajat itu. Tak ada langkah mundur bagi orang yang ingin maju. Tak ada kemajuan bagi orang yang menghendaki mundur.

Jangan remehkan siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh.

Gus Dur tercenung. Entah apa maksud tulisan itu. Tetapi satu hal yang ia tahu –sang ayah adalah ayahnya— ia tidak akan menulis sesuatu apabila itu tidak mencerminkan jiwanya. Apakah ini yang dikehendaki ayah? Hatinya berujar;

“Kepada Willem Buhl, ayah mengkursuskanku Bahasa Belanda. Buhl mengajariku musik dan catur. Buhl tahu aku suka bermain bola. Ah, betapa senangnya menonton film-film itu!?”

Gus Dur merenung dan terus merenung. Ingatan kepada ayahnya menyorong diri untuk tetap belajar. Menimba ilmu. Mereguk ilmu hingga tetes-tetes terakhir. Sering ia merasa kasihan, hingga melahirkan cinta dan kasih, yang bersama aliran waktu semakin besar cinta dan kasihnya itu.

Kepada ibundanya. Kepada adik-adiknya. Kepada ibundanya yang tengah hamil besar, calon adiknya. O, sungguh kasihan. Tak ada cara lain mewujudkan cinta dan kasih kepada mereka, kecuali membuktikan diri bahwa aku dan ilmu harus bersatu!

 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here