Mustaghfiroh Rahayu
Pengajar Jurusan Sosiologi UGM & Fatayat NU Yogyakarta
mth.rahayu@gmail.com
Buku Gus Dur Di Mata Perempuan adalah buku yang berisi pemikiran, pandangan dan praktik Gus Dur terkait perempuan yang ditulis oleh perempuan. Ada 24 perempuan yang terlibat dalam penulisan buku ini. Mereka adalah istri, saudara, kenalan, murid dan orang-orang yang pernah disentuh hidupnya oleh Gus Dur. Buku ini mengupas banyak aspek dalam kehidupan Gus Dur ketika bersentuhan dengan isu perempuan melalui penuturan para penulisnya. Ia mencakup isu kesehatan reproduksi, parenting, politik, hubungan antar agama dan lain sebagainya. Namun, ada juga beberapa tulisan yang tidak sepenuhnya berbicara mengenai Gus Dur terkait dengan isu perempuan, akan tetapi menyoroti praktik Gus Dur dalam memperlakukan perempuan dalam interaksi penulis dengan Gus Dur.
Keseluruhan tulisan dalam buku ini bisa dikategorikan dalam dua hal. Pertama, terkait dengan kebijakan-kebijakan Gus Dur dalam isu perempuan. Kedua, implementasi atau praktik keberpihakan Gus Dur terhadap perempuan dalam praktik sehari-hari. Dalam konteks yang pertama dapat dilihat dalam kebijakan Gus Dur saat menjabat Ketua Tanfidziyah PBNU dan Presiden RI ke-4. Pada masa Gus Dur, NU menghasilkan sebuah keputusan penting mengenai kebolehan mengangkat perempuan untuk menjadi pemimpin dalam Munas Alim Ulama NU di Lombok 1997. Muktamar NU 1999 di Lirboyo, Kediri dalam salah satu risalah keputusannya juga memberikan ruang yang lebih besar bagi para kader perempuan yang terhimpun dalam Banom-Banom perempuan NU untuk berpartisipasi aktif dalam keputusan-keputusan organisasi NU. Kedua kebijakan ini sangat maju jika dilihat dalam konteks NU yang dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang masih tradisional.
Selama menjabat Presiden, meskipun sangat singkat, Gus Dur langsung membuat keputusan menghentak dengan mengganti nomenklatur Menteri Peranan Wanita menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Pilihan diksi ini bagi para aktivis perempuan sudah dianggap sebagai keberpihakan. Terlebih pada masanya, Gus Dur mengeluarkan instruksi presiden mengenai kewajiban semua bidang pemerintahan untuk melakukan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Instruksi inilah yang menjadi embrio dari berbagai kebijakan yang ramah perempuan, salah satunya tindakan afirmasi kuota 30% perempuan di ranah politik.
Keberpihakan Gus Dur terhadap perempuan dalam praktik sehari-hari muncul di hampir semua tulisan yang terangkum dalam buku ini. Semua penulis menjadi saksi bagaimana santunnya Gus Dur dalam memperlakukan perempuan, termasuk diri mereka. Dalam berbagai tulisan disebutkan bagaimana Gus Dur sudah menerapkan konsep parenting (pengasuhan anak bersama) disaat istilah ini belum booming seperti sekarang. Tulisan yang lain menyorot bagaimana Gus Dur ditengah kesibukannya mendukung sepenuhnya studi Bu Shinta dengan menemani beliau melakukan penelitian di Banyumas untuk keperluan tesisnya.
Namun, keberpihakan Gus Dur dalam upaya untuk memajukan perempuan Indonesia ini dilakukan dalam senyap. Tidak dengan berkoar-koar di media atau melalui aksi turun jalan. Keberpihakan Gus Dur terhadap isu perempuan itu dia lakukan sendiri, melalui praktik dan kebijakan-kebijakan yang paling dekat tanpa menimbulkan kehebohan. Karena itu Saparinah Sadli dalam artikelnya di buku itu menyebut Gus Dur ini ada hati sama perempuan. “Jadi Gus Dur memang punya hati, memahami dan menghargai terhadap apa yang diinginkan dikerjakan perempuan. Namun dia tidak membesar-besarkan isu itu, ya seperti yang selalu dibilangnya, begitu saja kok repot”.
Perempuan Menulis: Ethics of Care
Menulis Gus Dur dan pikiran-pikirannya mengenai perempuan adalah sesuatu yang baru di tengah ratusan buku yang sudah ditulis mengenai Gus Dur. Jika buku ini ditulis oleh para perempuan, maka ia melengkapi kekhasan buku ini. Ia menjadi khas karena berhasil menghadirkan keberpihakan yang sangat kuat. Semua perempuan yang menulis dalam buku ini adalah orang-orang yang pernah berinteraksi dengan Gus Dur dengan variasi kedekatannya. Ada yang sangat dekat, namun juga ada yang hanya berinteraksi dalam berbagai forum yang diinisiasi Gus Dur. Akibatnya, tulisan-tulisan yang hadir dalam buku ini tarasa sangat personal, emosional dan bahkan intimate dalam membicarakan Gus Dur dan perempuan.
Hampir semua penulis menyelipkan cerita-cerita pengalaman interaksi mereka dengan Gus Dur dalam menguraikan perjuangan Gus Dur atas isu gender. Pengalaman personal mereka tidaklah berdiri sendiri yang hanya memiliki arti bagi mereka, akan tetapi dengan sangat apik dikaitkan ke dalam konteks perjuangan perempuan yang lebih luas. Ini adalah hal yang sangat khas yang tidak akan ditemui pada laki-laki yang menulis tentang Gus Dur. Kemampuan dan pilihan untuk selalu mencoba menghubungkan pengalaman individu dengan pengalaman orang lain (daripada menganggapnya sebagai pengalaman yang berdiri sendiri) adalah khas perempuan. Meminjam apa yang disebut Carol Gilligan dengan the ethics of care, para penulis perempuan ini dalam menganalisa Gus Dur menekankan pada relasi-relasi, konteks-konteks yang saling berkait dan fokus pada kepeduliannya.
Lia Maryono, misalnya, menceritakan bagaimana keterbukaan dan keramahan yang dipraktikkan Gus Dur sangat menginspirasinya untuk terus menghidupi pluralitas yang menjadi bagian dari nafasnya. Keterbukaan keluarga Gus Dur ini pula yang mengantarkannya bertemu dengan Alissa, anak pertama Gus Dur, yang tengah aktif dalam isu kesehatan reproduksi remaja dan HIV/AIDS. Ternyata, tidak hanya anaknya, Gus Dur pun fasih berbicara mengenai hak reproduksi perempuan dalam bingkai agama. Sri Mulyati, penulis lain di buku ini, menyambungkan pengalaman pertemuannya dengan Gus Dur sewaktu dia menuntut ilmu di luar negeri dengan pesan-pesan Gus Dur mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Narasi-narasi personal yang demikian dapat dijumpai hampir di setiap tulisan di buku ini.
Dengan model penulisan semacam ini, buku Gus Dur Di Mata Perempuan sangat cocok apabila sengaja dihadirkan bagi para pembaca perempuan. Pengalaman personal para perempuan yang menulis buku ini bersama Gus Dur dan refleksi-refleksi mereka atas pemikiran-pemikiran Gus Dur merupakan pengetahuan khas perempuan (women ways of knowing). Cerita-cerita sederhana itu adalah jendela untuk menangkap pemikiran-pemikiran Gus Dur mengenai demokrasi, pluralisme, keadilan dan keseteraan. Cerita-cerita sederhana ini bukanlah cerita remeh, namun ia adalah proyeksi dari narasi-narasi besar yang dibayangkan Gus Dur dan sudah ditulis oleh ratusan penulis laki-laki. Karena itu buku ini cukup penting.
Di luar kekhasan yang sudah ditampilkan, buku ini memiliki satu kekurangan. Penerbit menghadirkan buku ini apa adanya. Ada banyak topik dihadirkan begitu saja tanpa ada upaya untuk mem-frame menjadi sebuah ide yang cukup kuat. Tulisan ini sangat kaya dengan ilustrasi keterlibatan Gus Dur dalam pengelolaan rumah tangga, pengasuhan anak, dukungan atas pilihan otonom perempuan, dll. Ilustrasi-ilustrasi demikian—jika mau di-frame–barangkali merupakan formula embrional dari apa yang oleh gerakan perempuan kontemporer disebut dengan “gerakan laki-laki baru,” yakni gerakan yang melibatkan kaum laki-laki dalam memperjuangkan keadilan gender. Jika hal ini dilakukan, menurut hemat saya, buku ini menjadi sebuah paket yang dahsyat.
*Tulisan ini pernah dimuat www.jurnalperempuan.org