Ditulis oleh:Dewi Nurhasanah (Pengamat dan Penikmat Sastra)

Abstraksi

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan struktur novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari, Pandangan dunia kelas sosial Ahmad Tohari dan struktur sosial masyarakat yang melatarbelakangi lahirnya novel Orang-orang Proyek. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dan dialektis. Analisis dalam peneltian ini  dilakukan dengan menggunakan teori strukturalisme-genetik Lucien Goldmann, yaitu melihat makna novel dengan cara menghubungkan struktur karya sastra dengan fakta kemanusiaan ( struktur sosial) yang melatar belakangi lahirnya sebuah karya sastra (novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari). Dari analisis tersebut diperoleh beberapa hasil penelitian yaitu:1) Struktur dalam novel Orang-orang Proyek mendeskripsikan adanya beberapa relasi oposisi yaitu:oposisi kultural;oposisi alamiah;oposisi sosial dan oposisi manusia. 2) Struktur karya sastra di atas mengekspresikan pandangan dunia yang idealis-humanis dan sosialis-religius.3) Struktur sosial  masyarakat Idonesia  pada saat novel  Orang-orang proyek dilahirkan, sedang mengidap penyakit korupsi. Kondisi sosial tersebut melatar belakangi penciptaan novel, yang kemudian seolah-olah ada koherensi antara struktur ada di dalamnya dengan struktur sosial di masyarakat.

Kata Kunci: Strukturalisme-Genetik, Orang-orang Proyek.

 

 

 

Pendahuluan

Dalam proses pemaknaan karya sastra, banyak teori yang bisa digunakan oleh para peneliti yang  dijadikan pisau analisis untuk ‘mengoperasi’ karya sastra yang dijadikan sebagi objek penelitian. Seiring dengan berkembangnya zaman, dengan dilakukannya banyak penelitian oleh para ilmuan sastra, maka lahirlah beberapa teori. Salah satu teori tersebut adalah Strukturalisme-Genetik. Teori tersebut cukup popular di kalangan para peneliti sastra, baik para ahli sastra maupun para pelajar yang masih baru belajar memahami dan melakukan penelitian  karya sastra.Teori tersebut dilahirkan oleh Lucien Goldmann. Ia pemikir beraliran Marxis. Terori yang dilahirkannya tersebut merupakan teori sosiologis. Dengan menggunakan teori ini, berarti seorang peneliti berusaha memperlihatkan usaha pertama untuk mengatasi kecenderungan reduksionis dan simplistis dari sosiologi sastra marxis. Hal baru yang ada dalam teori tersebut  tampak pada penempatan ideologi atau pandangan dunia sebagai mediasi antara masyrakat dan sastra. Selain itu, di dalam teori tersebut juga terdapat usaha untuk memberikan status yang relatif otonom pada kesusastraan sebagai lembaga sosial.

Berangkat dari keyakinan bahwa proses pemaknaan karya satra tidak akan pernah mencapai finalnya, maka peneliti bertekad untuk mencoba melakukan operasi sederhana pada sebuah karya sastra dengan menggunakan teori Strukturalisme-genetik yang telah disinggung di atas. Salah satu karya sastra yang akan diteliti dalam tulisan  ini adalah  sebuah novel  berjudul  Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari.

Novel  ini meceritakan tentang seorang insinyur muda yang bekerja di sebuah proyek pembangunan jembatan milik pemerintah. Proyek pembangunan jembatan tersebut membuat insinyur yang mantan aktivis kampus merasa terbebani secara psikologis. Permainan yang terjadi di dalam proyek tersebut menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannya dan  masyarakat kecillah yang akhirnya menjadi korban.

Berangkat dari latar belakang di atas, dan supaya penelitian novel tersebut terurai secara sistematis, maka peneliti membatasi pembahasannya dengan tiga rumusan masalah. Pertama, bagaimana  Struktur novel Orang-orang Proyek?Kedua, bagaimana Pandangan dunia kelas sosial Ahmad Tohari? Dan yang terakhir Struktur sosial seperti apa yang ada pada waktu terciptanya novel Orang-orang Proyek?

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan yang bersifat teoretis dan prtaktis. Secara teoretis, penelitian ini bertujuan (1) mengungkapkan struktur novel dalam novel Orang-orang Proyek, (2)  mengungkapkan mengenai pandangan  dunia kelas sosial Ahmad Tohari dan (3) menjelaskan strukrur sosial yang ada pada waktu penulisan novel Orang-orang Proyek. Adapun secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk  memberikan pemahaman  yang dapat digunakan oleh pembaca untuk memahami teks karya sastra, khusunya novel dengan menggunakan teori sosiologi sastra khususnya teori Strukturalisme-Genetik yang ditawarkan oleh Lucien Goldmann.

Adapun penelitian  atau tulisan yang berkaitan dengan teori Struturalisme Genetik setidaknya telah peneliti temukan dalam  beberapa tulisan:

Pertama,   sebuah artikel dalam  buku yang berjudul Metode Penelitian Sastra karya Faruk yang diterbitkan oleh  Pustaka Pelajar di Yogyakarta pada tahun 2012. Tulisan tersebut merupakan penelitian atas sebuah cerpen dengan judul Robohnya Surau Kami karya A.A Navis. Tulisan tersebut menguraikan mengenai analisis teks cerpen secara sosiologis berdasarkan teori strukturalisme-genetik Lucien Goldmann.

Kedua, Analisis Struktural Genetik  dalam Novel Mudzkkirat fi Sijn-Nisa’ karya Nawal As-Sa’dawi sebuah skripsi di Universitas Malang karya Siti Saroh pada tahun 2012. Tulisan tersebut menguraikan mengenai unsur instrinsik yang ada dalam novel dan sosiol budaya pengarang.

Ketiga, Strukturalisme-Genetik Asmaraloka, sebuah tesis yang disusun oleh Gustaf Sitepu pada tahun 2009 di Sekolah Pascasarjana Sumatera  Universitas Sumatera Utara. Hampir sama dengan penelitian lainnya yang juga menggunakan teori strukturalisme-genetik, tesis tersebut juga mengkaji teks sastra dari aspek sosiologis, lebih tepatnya, fokus penelitian dalam tesis tersebut adalah struktur novel Asmaraloka karya Danarto yang mencerminkan problematika hubungan antar tokoh maupun lingkungannya, latar belakang sejarah dan masyarakat yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka, dan juga pandangan dunia pengarang yang terselip dalam narasi novel Asmaraloka.

Penelitian dengan topik yang sama dengan penelitian ini, khususnya kajian tentang  novel Orang-orang Proyek dengan menggunakan teori Strukturalisme-genetik Lucien Goldmann, sejauh pengamatan penulis, belum ada yang melakukannya atau pun menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah apa pun.

 

Metode

Dalam penelitian ini, metode yang digunagakan adalah deskriptif analisis dan metode dialektis yang juga merupakan bagian dari pendekatan teori strukturalisme-genetik.

Metode deskriptif adalah metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, atau pun peristiwa. Tujuan adari metode deskriptif ini adalah untuk menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai obejek yang diteliti.

Metode analisis dalam hal penelitian ini adalah analisis dengan menggunakan kerangka teoretis yang ada dalam strukturalisme-genetik Lucien Goldmann, yaitu metode dielektis. Dimana cara kerja analisis data selalu mengikuti apa yang telah dirumuskan dalam strukturalisme-genetik. Menurut Goldmann (dalam Faruk, 2005:20) prinsip dasar dialektik adalah pengetahuan fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak jika tidak dibuat kongkret dengan mengintregrasikannya ke dalam keseluruhan. Sehubungan dengan itu, metode dilaektik mengenmbangkan dua pasangan konsep yaitu keseluruhan-bagian dan pemahaman-penjelasan.

  1. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara:Observasi, yaitu mencari naskah novel Orang-orang Proyek; Dokumentasi, yaitu membaca teks novel;Studi Pustaka, yaitu membaca beberapa literatur yang mendukung dan menjadi rujukan dalam penelitian.

  1. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini  adalah menyesuaikan dengan kerangka teori Strukturalisme-genetik Lucien Goldmann, yaitu melalui tiga tahapan:pertama, menganalisis struktur novel, yaitu menganalisis latar, alur dan penokohan. Setelah mengetahui struktur tersebut, selanjutnya menganalisis fakta kemanusiaan yang turut melatar belakangi lahirnya novel dan pandangan dunia yang ada dalam novel dan mengetahui genesis (asal usul) pembentukan novel Orang-orang Proyek dengan pendekatan Strukturalisme-genetik.

 

Strukturalisme-Genetik Lucien Goldmann: KerangkaTeoretis untuk Memahami Novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari

Pencetus pendekatan strukuralime genetik adalah Lucien Goldmann, seorang ahli sastra Prancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Bukan seperti pendekatan Marxisme yang cenderung positivistik dan mengabaikan kelitereran sebuah karya sastra. Goldmann tetap berpijak pada strukturalisme karena ia menggunakan prinsip struktural yang dinafikan oleh pendekatan marxisme, hanya saja, kelemahan pendekatan strukturalisme diperbaiki dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo. et al, 2002:60).

Goldmann (dalam Teeuw, 2003: 126:127) menyebut metode kritik sastranya strukturalisme genetik. Ia memakai istilah strukturalisme karena lebih tertarik pada struktur kategori yang ada dalam suatu dunia visi, dan kurang tertarik pada isinya. Genetik, karena ia sangat tertarik untuk memahami bagaimana struktur mental tersebut diproduksi secara historis. Dengan kata lain, Goldmann memusatkan perhatian pada hubungan antara suatu visi dunia dengan kondisi-kondisi historis yang memunculkannya. Kemudian, atas dasar analisis visi pandangan dunia pengarang dapat membandingkannya dengan data dan analisis sosial masyarakat. Untuk menopang teorinya tersebut, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebut sebagai strukturalisme genetik. Golmann percaya bahwa karya sastra merupakan  sebuah struktur. Struktur tersebut  bukan berupa sesuatu yang statis namun  merupakan produk dari proses sejarah yang terus  mengalami perubahan, proses strukturasi  dan destrukturasi yang ada di dihayati oleh karya sastra yang bersangkutan.

Strukturalisme genetik tidak dapat lepas begitu saja dari struktur dan pandangan pengarang. Pandangan pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar belakang kehidupan pengarang (Faruk 1999:12 -13). Orang yang dianggap sebagai peletak dasar mazhab genetik adalah Hippolyte Taine (Sapardi Djoko Damono dalam Zaenudin Fananie 2000:116). Taine mencoba menelaah sastra dari sudut pandang sosiologis. Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan (Umar Junus dalam Zaenudin Fananie 2000:117). Fenomena hubungan tersebut kemudian dikembangkan oleh Lucien Goldmann dengan teorinya yang dikenal dengan Strukturalisme genetik (Zaenudin Fananie 2000:117). Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Strukturalisme-Genetik Goldmann adalah penelitian sosiologi sastra (Umar Junus 1988:20).

Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Zaenudin Fananie 2000:117).

Atar Semi (1987:7) berpendapat bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang subjektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah perekonomian, keagamaan, politik dan lain-lain, kita melihat gambaran tentaang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya, serta proses pemberdayaannya. Sementara, sastra itu sendiri pada dasarnya berurusan dengan manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai media. Bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Meskipun sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren (1995:84), meskipun sastra dianggap cerminan keadaan masyarakat, pengertian tersebut masih sangat kabur. Oleh karena itu banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Namun demikian, Grebstein (dalam Sapardi Djoko Damono 1978:4) mengatakan bahwa meskipun sastra tidak sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungannya atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik dari fakta-fakta sosial, kultural yang rumit dan bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.

Sapardi Djoko Damono (dalam Faruk 1999 (a) :4-5) menemukan tiga macam pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dalam kaitannya dalam masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah:

1) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya,

2) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi,

3) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang terutama mendapat perhatian adalah:

1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya itu ditulis,

2) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya,

3) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat.

Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian:

1) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat,

2) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan

3) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1 dan kemungkinan 2 di atas.

Strukturalisme-Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai struktur karya sastra, bagi strukturalisme genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa pertimbangan faktor-faktor sosial yang melahirkannya, sebab faktor-faktor itulah yang memberikan kepaduan pada struktur itu (Goldmann dalam Faruk 1999 (b):13).

Penelitian strukturalisme genetik semula dikembangkan di Perancis atas jasa Lucien Goldmann. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu menekankan latar belakang sejarah. Karya sastra, di samping memiliki unsur otonom juga tidak dapat lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sasta sekaligus mempresentasikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra. Menurut Goldmann (dalam Endraswara, 2003:55-56), studi strukturalisme-genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama, hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama. Kedua, hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang mengikat. Oleh karena itu, seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri. Pada dasarnya, pengarang akan menyarankan suatu pandangan dunia yang kolektif. Pandangan tersebut juga bukan realitas, melainkan sebuah refleksi yang diungkapkan secara imajinatif.

Sebagai sebuah teori, strukturalisme-genetik merupakan sebuah pernyataan sahih mengenai kenyataan. Sebuah pernyataan dapat dianggap sahih bila di dalamnya terkandung gambaran mengenai  tata kehidupan  yang bersistem dan terpadu yang memiliki landasan ontologis berupa kodrat keberadaan kenyataan, dan memiliki landasan epistemologis berupa seperangkat gagasan yang sistematis mengenai cara memahami dan mengetahui kenyataan yang bersangkutan. Ada enam konsep dasar yang membangun teori strukturalisme-genetik, yaitu fakta manusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan (Faruk, 1999 (b):12).

 

  1. Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik. Fakta tersebut dapat berwujud aktifitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni sastra (Faruk, 1999 (b):12). Fakta-fakta kemanusiaan pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta yang kedua mempunyai peranan penting dalam sejarah, sedangkan fakta yang pertama tidak memiliki hal itu. Fakta yang pertama hanya merupakan hasil dari perilaku libidinal seperti mimpi, tingkah laku orang gila dan sebagainya,  sedangkan fakta yang kedua mempunyai dampak dalam hubnungan sosial, ekonomi, maupun politik antar anggota masyarkat.

Goldmann (dalam Faruk, 1999 (b):12) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti. Adapun yang dimaksudkannya adalah bahwa fakta-fakta itu sekaligus mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Fakta tersebut mempunyai struktur karena terikat oleh satu tujuanyang menjadi artinya. Dengan kata lain, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar.

  1. Subjek kolektif

Subjek kolektif adalah subjek yang berparadigma dengan subjek fakta sosial (historis). Subjek ini juga disebut subjek trans individual. Goldmann mengatakan (dalam Faruk, 1999 (b):14-15) revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar, merupakan fakta sosial (historis). (Faruk:2012:63 ) beranggapan bahwa subjek kolektif merupakan  konsep yang masih kabur. Subjek kolektif bisa berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok territorial dan sebagainya.

Pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann terdiri dari empat aspek, yaitu makna totalitas karya sastra, pandangan dunia pengarang, struktur teks karya sastra, dan struktur sosial masyarakat yang terdapat dalam karya sastra (Nugraheni: 159).

Menurut Suwardi Endraswara, penelitian strukturalisme-genetik memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan relitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003:56). Hal senada juga diungkapkan dalam Jabrohim (ed), penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan ini mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna tinggi, apabila para peneliti sendiri tidak melupakan atau tetap memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi (Jabrohim (ed), 2001: 82).

Strukturalisme-genetik secara sederhana dapat diformulasikan dalam tiga langkah. Pertama, peneliti bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhannya. Kedua, mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang (Suwardi Endraswara, 2003:62).

Struktiralisme-genetik merupakan embrio penelitian sastra dari aspek sosial yang kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja, srukturalisme genetik tetap mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar tetap dianggap penting bagi pemahaman karya sastra.

Menurut Suwardi Endraswara (2003:60) yang terpenting dari kajian strukturalisme genetik adalah karya sastra yang mampu mengungkapkan fakta kemanusiaan. Fakta ini mempunyai unsur yang bermakna, karena merupakan pantulan respon-respaon subyek kolektif dan individual dalam masyarakat. Subyek tersebut selalu berinteraksi dalam masyarakat untuk melangsungkan hidupnya.

  1. Pandangan Dunia

Dalam teori struktulasime-genetiknya, ia juga mengembangkan konsep pandangan dunia (vision du monde world vision). Maksud dari konsep ini adalah struktur global yang bermakna, yakni suatu pemahaman dunia secara total yang mencoba menangkap maknanya, dengan segala kerumitan dan keutuhannnya. Goldmann (Goldmann dalam Sapardi Djoko Damono,1984:40-41) juga menyatatakan bahwa pandangan dunia sangat erat kaitannya dengan kelas-kelas sosial, artinya pandangan dunia selalu merupakan pandangan kelas sosial. Bagi Goldmann, pandangan dunia bukanlah merupakan fakta empiris secara langsung, tetapi ia adalah struktur gagasan , aspirasi, dan perasaan yang  dapat menyatukan suatu kelompok sosial di hadapan kelompok sosial yang lain. Menurutnya, padangan dunia adalah abstraksi yang mencapai bentuk konkrit dalam sastra dan filsafat.Pandangan dunia ini tidak lain adalah suatu bentuk kesadaran  yang menyatukan individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif. Pandangan dunia bukan hanya  merupakan ekspresi kelompok sosial, tetapi juga kelas sosial. Konsep ini bisa dilihat melalui pengarang, seorang pengarang  merupakan anggota sosial, sebab lewat suatu kelaslah ia berinteraksi dan berhubungan langsung dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial dan politik akan merangsang adanya kesadaran kelas, karena perubahan tersebut merupakan ekspresi antagonisme kelas.

Karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (visiun du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja (Endraswara 2003:57). Dalam karya sastra, Goldmann berpendapat bahwa pandangan dunia akan menentukan struktur suatu karya sastra. Ia menyatakan bahwa karya yang sahih adalah karya sastra yang memiliki kepaduan internal yang menyebabkannya mampu mengekspresikan kondisi manusia secara universal dan mendasar.

Pandangan dunia itu sendiri menurut Umar Junus (1988:16) terikat pada masa tertentu dan ruang tertentu. Keterlambatannya kepada masa tertentu menyebabkan ia mesti bersifat sejarah. Sehingga, sebuah analisis Strukturalisme-Genetik didasarkan faktor kesejarahan tanpa menghubungkannya dengan fakta-fakta sejarah suatu subjek kolektif di mana suatu karya diciptakan, tidak seorangpun akan mampu memahami secara komprehensif pandangan dunia atau hakikat makna dari karya yang dipelajari (Goldman dalam Zaenudin Fananie, 2000:120).

Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik (problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu memperoleh bentuk konkret di dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu.

Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk menjembatani fakta estetik. (Goldmann dalam Zaenudin Fananie, 2000:118). Adapun fakta estetik dibaginya menjadi dua tataran hubungan yang meliputi: a) Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan alam ciptaan pengarang. b) Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu seperti diksi, sintaksis, dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang dipergunakan pengarang dalam ciptaannya. Menurut Goldmann (dalam Umar Junus, 1988:16) hubungan genetik antara pandangan dunia pengarang dalam sebuah novel atau karya adalah pandangannya dengan pandangan dunia pada suatu ruang tertentu dalam masa tertentu, sehingga pendekatan ini dikenal dengan Strukturalisme-Genetik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang terdiri dari hubungan antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata dan hubungan latar sosial budaya pengarang dengan karya sastra.

a.Konteks Sosial

Yakob Sumardjo (1982:12) berpendapat bahwa sastra adalah produk masyarakat, berada di tengah masyarakat, karena dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan emosional dan rasional dari masyarakat. Konteks sosial novel merupakan karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejalagejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 2001:61).

 

b.Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang

Latar belakang sosial budaya pengarang dapat mempengaruhi penciptaan karya-karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan keadaan sosial baik secara individual (pengarang) maupun secara kolektif. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antanogis kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran kelas (Sapardi Djoko Damono 1978:42).

Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk dan karya yang diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999 (a) :55) sekolah dan latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa yang dikerjakan oleh sastrawan.

Dari pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan sosial budaya pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Pengarang merupakan bagian dari komunitas tertentu. Kehidupan sosial budaya pengarang akan dapat mempengaruhi karya sastranya. Pengarang menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya tentang satu peristiwa. Kehidupan sosial budaya pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat.

c.Ideologi Pengarang

Ideologi atau pandangan pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berinteraksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat pengarang. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di dalam karya sastra.

Dalam melakukan kajian dengan metode strukturalisme genetik, langkah-langkah yang ditawarkan oleh Laurensin dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman (dalam Jabrohim 2001: 64-65) sebagai berikut:

  1. Peneliti sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
  2. Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.

 

4.Strukturasi

Dalam teorinya, Golmann juga menggunakan konsep strukturasi. Menurutnya (Goldmann dalam Faruk, 2012:71-73), karya sastra merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif. Sebab itulah karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan terpadu. Dalam teori strukturalisme-genetik, konsep struktur karya sastra berbeda dengan  konsep struktur secara umum.

Melalui esai yang berjudul “ The Epistemology of Sociology”, Golmann menyatakan dua  pendapat mengenai karya sastra  pada umumnya.Pertama, karya sastra  merupakan ekspresi pandangan dunia imajiner. Kedua, dalam usaha mengekspresikan pandangan dunia, pengarang menciptakan tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi-relasi secara imajiner. Melalui kedua pendapatnya tersebut, Goldmann membedakan  karya sastra dar filsafat dan sosiologi.  Goldmann menyatakan bahwa filsafat mengekspresikan pandangan dunia secara konseptual, sedangkan sosiologi  mengacu pada empirisitas.

Berdasarkan kedua pendapatnya itu, maka dapat dikatakan bahwa Goldmann mempunyai  konsep struktur yang bersifat tematik. Pusat perhatiannya adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang  ada di sekitar dirinya.

 

5.Pemahaman dan Penjelasan

Adapun yang dimaksud dengan  konsep pemahaman  adalah  usaha mendeskripsikan struktur objek yang dipelajari. Sedangkan maksud dari penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Goldmann dalam Faruk, 2012:79). Pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar (Faruk, 2012:79)

 

Sinopsis Novel

Sebagaimana yang telah disinggung di awal bahwa novel Orang-orang Proyek menceritakan sebuah penggalan perjalanan hidup seorang insinyur muda bernama Kabul yang juga seorang mantan aktivis kampus yang kemudian menjadi insinyur muda dan bekerja di sebuah proyek pembangunan jembatan milik pemerintah. Ia merasa proyek tersebut menjadi beban berat secara psikologis.Banyak permainan yang sangat bertentangan dengan prinsip hidupnya sebagai manusia yang memegang prinsip.

Tanpa terasa proyek pemabangunan jembatan tersebut telah berjalan tiga bulan. Namun  karena pembangunan dimulai ketika hujan masih sering turun, maka volume pekerjaan yang dicapai berada di luar target. Menghadapi kenyataan ini, Kabul sering uring-uringan. Ia jengkel karena  hambatan  ini sesungguhnya  bisa dihindari bila saja pemerintah  sebagai pemilik proyek dan para politikus tidak terlalu banyak campur tangan dalam tingkat pelaksanaan.

Proyek yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri ini akan menjadi beban masyarakat, mereka anggap milik pribadi. Kabul tahu bagaimana bendahara proyek mengeluarkan dana untuk kegiatan partai golongan penguasa.

Di dalam proyek itu Kabul bekerja dengan Dalkijo yang merupakan seniornya di proyek itu. Ia dan Dalkijo sama-sama seorang insinyur yang berasal dari lapisan masyarakat bawah. Walau pun keduanya memiliki latar belakang ekonomi yang rendah, tapi setelah mereka sama-sama terlepas dari kemiskinan, ada perbedaan yang sangat jelas menyekat keduanya. Dalkijo yang telah sukses menjadi insinyur, tidak lagi mau mengingat kemiskinan yang pernah melilitnya. Gaya hidupnya tidak lagi mencerminkan kesederhanaan. Ia benar-benar dendam dengan kemelaratan dan kemiskinan. Demi untuk mencapai kekayaan yang diimpikannya, Dalkijo menghalalkan segala cara di dalam pekerjaannya. Dalkijo tidak pernah benar-benar professional dalam melaksanakan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Permainan lelang , lobi dan lain-lain dalam pekerjaannya dianggap sebagai hal yang biasa saja. Padahal hal itu berefek pada mutu hasil proyek yang menjadi taruhan dan masyarakat yang mengemban dampak buruknya. Tapi Dalkijo tidak memperdulikan semua itu. Baginya profesionalitas tidak penting, karena yang terpenting adalah bagaimana ia bisa meraup keuntungan yang sebesar-besarnya untuk memperkaya dirinya. Sebab hanya dengan bersikap pragmatislah, kemiskinan bisa dihentikan.

Berbeda dengan Dalkijo, Kabul yang juga memiliki latar belakang hidup yang miskin, tapi setelah dia sukses tetap mempertahankan gaya hidup yang sederhana. Kesuksesan yang diaraihnya tidak disikapi dengan penuh dendam. Sebagai insinyur, ia tetap mempertahankan idealismenya, bekerja dengan baik dan selalu professional. Baginya, semua proyek termasuk proyek pembangunan jembatan yang sedang dikejakan, harus dikerjakan secara professional. Tapi karena dia sendiri yang tetap bertahan dengan idealismenya, sementara insinyur dan pekerja proyek yang lain rela mempermainkan proyek tersebut, akhirnya Kabul memutuskan untuk keluar dari proyek tersebut dan memilih untuk tidak bekerja sebagi orang-orang proyek yang tidak lagi professional menurutnya. Sebab baginya, proyek yang dikerjakannya sangat bertentangan dengan idealismenya. Baginya, proyek itu tidak lagi dikerjakan untuk memberi kemakmuran bagi masyarakat setempat, tetapi dijadikan ladang keuntungan bagi pihak-pihak tertentu yang dengan serakah mengambil keuntungan.

Analisis Novel: Sebuah Aplikasi Teori Strukuralisme-Genetik

Dengan melihat sinopsis yang ditulis di atas,  tampak bahwa ada penyimpangan yang terjadi di dalam pengerjaan proyek tersebut. Hal tersebut secara lebih luas  juga bisa dilihat dalam kutipan-kutipan isi novel sebagai berikut:

Kutipan I

Dan campur tangan itu ternyata tidak terbatas pada penentuan awal  pekerjaan yang menyalahi rekomendasi para perancang, tapi msauk juga hal-hal lain. Proyek ini, yang dibiayai  dengan dana pinjaman luar negeri dan akan menjadi beban masyarakat, mereka anggap sebagai milik pribadi. Kabul tahu bagaimana bendahara proyek wajib mengeluarkan dana untuk kegiatan partai golongan penguasa.

Lewat kutipan ini, dapat dilihat adanya pihak yang telah mengambil keuntungan di balik  proyek pembangunan jembatan tersebut.Pihak-pihak yang diuntungkan pastinya bukan masyarakat secara umum melainkan golongan-golongan penguasa.

Kutipan II

“Mas, mutu pasir giling ini kurang baik,ya? Pasti batu kalinya juga bermutu rendah.”

Kabul mengangkat alis. Dalam hati dia memuji adiknya yang bermata jeli.

“Di sana  tadi saya lihat besi rancang betonnya buatan pabrik yang tak punya merek dagang. Mas percaya akan mutunya?”

Sekali lagi Kabul mengangkat alis.”Oh, adikku, kamu belum tahu betapa sulit menaati ketentuan ilmu teknik di proyek ini. Karena anggaran sudah jadi bancakan, sehingga semua sektornya harus ditekan. Biro pengawas yang menjamin  pengawas yang menjamin mutu proyek pun tidak kebal duit. Dan orang-orang DPRD?Ah, mereka tak mau pusing apakah pasir atau besi beton memenuhi persyaratan teknik atau tidak. Bagi mereka yang penting bendaharawan proyek ‘tahu’ bila mereka datang.

Kutipan di atas menunjukkan betapa pragmatisnya orang-orang proyek dan pihak-pihak (pemerintah) yang terlibat di dalamnya. Mereka tidak memperdulikan lagi apa sebenarnya tujuan dari dibangunnya jembatan tersebut, yang penting bagi mereka adalah bisa mengambil keuntungan dari proyek yang mereka garap, bukan semata-mata untuk kesejahteraan umum.

Kutipan III

“Saya tahu dia jenuh. Dia, saya juga, termasuk orang yang ingin melihat budi luhur sebagai tujuan dan milik orang beragama. Kabul kecewa akan kenyataan yang tidak demikian. Di proyek yang sedang digarap, Kabul menghadapi  permainan-permainan kotor yang dilakukan oleh mereka yang resmi mengaku beragama, sudah pula ditatar dengan pedoman pengamalan Pancasila.Tetapi mereka tetap serakah. Anggaran, fasilitas maupun barang-barang proyek yang sesungguhnya milik rakyat acap menjadi bancakan…”

Melihat pada kutipan tersebut di atas, sepertinya penulis menggambarkan idealisme Kabul yang kokoh. Selain itu, penulis juga seolah-olah menjelaskan betapa bangsa ini(khususnya pemerintah dan orang-orang proyek) sudah tidak lagi mementingkan kemaslahatan umum. Mereka hanya menjadikan proyek sebagai lahan untuk digarap dengan keserakahan mereka.

Kutipan IV

Memang Kabul sering ditertawakan Dalkijo.“Apa dengan  memperthankan idealismemu orang-orang miskin di sekeliling kita menjadi baik?” seloroh Dalkijo suatu saat.”Apa kejujuranmu  cukup berarti untuk mengurangi korupsi di negeri ini?”

Dari kutipan yang satu ini, tampak adanya sifat pesimis yang ada di dalam pikiran tokoh Dalkijo. Kejujuran yang ditampakkan oleh Kabul seolah tidak berarti apa-apa, sebab hanya sedikit sekali yang berani jujur, yang lain malah terjebak pada permainan kotor yang telah membudaya.Dalam novel ini, Dalkijo merupakan tokoh yang sangat pragmatis. Walaupun ia memiliki latar belakang yang sama dengan Kabul, tapi ia tidak bisa bersikap ideal dan professional seperti Kabul. Dengan kata lain, ia telah terbawa arus oleh budaya hidup korupsi di sekitarnya.

  1. Struktur Karya Sastra

Manusia-manusia yang ada di dalam novel tersebut antara lain meliputi: Kabul, Dalkijo, pak Tarya dan Basar. Lingkungan alamnya adalah alam yang potensial, seperti sungai dan sekitarnya. Lingkungan kulturalnya adalah: pedesaan, kampung, warteg,gosip, agama Islam. Lingkungan sosial: pekerja proyek yang kaya dan pragmatis,pekerja proyek yang sukses dan idealis, rakyat miskin, orang kampung, perempuan. Relasi oposisi yang terbangun dari lingkaran imajiner tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Oposisi kultural: Sikap manusia yang pragmatis berlawanan dengan pekerja yang idealis, pragmatis mendominasi dan mengalahkan yang idealis. Kejujuran dan kelicikan. Orang-orang desa dan kota. Oposisional tersebut semuanya merupakan bagian dari oposisional yang lebih besar, yaitu tradisional dan modernisme. Di antara oposisi tersebut ditengahi oleh pendidikan tinggi dan pencapaian kemapanan hidup.
  2. Oposisi alamiah: Alam (lahan) desa yang menjadi objek proyek pembangunan jembatan oleh manusia dan secara tidak langsung  alam juga sebagai subjek bagi manusia, alam ikut membentuk manusia.
  3. Oposisi sosial: masyarakat biasa dan politikus yang korupsi, para penduduk kampung dan orang-orang proyek yang tidak professional.
  4. Oposisi manusia: Kabul yang idealis dan Dalkijo yang pragmatis.

 

  1. Pandangan Dunia

Struktur karya sastra di atas mengekspresikan pandangan dunia yang idealis-humanis dan sosialis-religius. Idealis-humanis ini terangkum dalam salah satu sila dalam pancasila, yaitu sila ke-2, yang berbunyi kemanusian yang adil dan beradab. Di dalam sila ini manusia, khususnya bangsa Indonesia dituntut untuk berbuat adil dan menjunjung tinggi sikap yang beradab, yakni tidak merugikan satu sama lain. Di dalam novel ini, tokoh utama telah mencerminkan sikap ideal yang tercantum dalam sila tersebut. Lewat tokoh Kabul, penulis, Ahmad Tohari secara tidak langsung menolak keras praktik korupsi di semua aspek karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang ideal, sebagimana yang telah tertera dalam pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia. Demikianlah pandangan dunia yang ditampilkan oleh Ahmad Tohari, karena bagaimana pun Ahmad Tohari adalah bangsa Indonesia yang juga menganut ideology pancasila. Ia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang tersirat di dalam setiap sila Pancasila, salah satunya yang sangat konteks dengan karyanya ini adalah sila yang kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.

  1. Struktur Sosial

Pada saat novel ini ditulis,  yakni sekitar  tahun 2001, struktur sosial  masyarakat Idonesia  sedang digandrungi penyakit korupsi yang kian mewabah. Para pejabat sering memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri, tetutama para elit politik yg sedang marak mencari dana kampanye. Banyak kelicikan yang dilakukan oleh golongan tertentu untuk suatu kepentingan tertentu pula yang tidak berpihak pada masyarakat bawah.  Fenomena ini terjadi seiring dengan digalakkannya sistem pemerintahan yang demokratis. Tetapi sistem pemerintahan yang berjalan tidak benar-benar demokratis. Banyak partai dan golongon baru yang bermuculan untuk berlombah-lombah mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing. Kemudian setiap partai atau golongan yang memiliki ruang (kekuasaan) selalu memanfaatkan ruang tersebut untuk memperkaya diri dan golongan-golongan tertentu. Bagi  masyarakat yang mendapatkan ruang di birokrasi, maka mereka memanfaatkan birokrasi untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadi mereka. Bagi yang mendapatkan ruang atau peluang di lingkungan kerja (proyek pemerintah dll.), maka mereka akan memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari proyek tersebut sebagaimana yang telah diangkat dalam novel Ahmad Tohari tersebut, yakni mengambil keuntungan dengan tanpa memperdulikan aturan-aturan yang semestinya. Banyak proyek yang di dalamnya terdapat permainan-permainan kotor yang dilakukan oleh oknum masyarakat, terutama mereka yang tidak memiliki idealisme yang kuat untuk tidak melakukan korupsi atau penyimpangan-penyimpangan yang lain.  Sebagimana yang telah pernah dinyatakan oleh Faruk HT., realitas kehidupan yang demikianlah yang membuat novel yang diteliti penulis ini menjadi “dongeng yang nyata”:dongen tetapi nyata, nyata tetapi dongeng (Faruk,171). Atau dengan kata lain dunia nyata direpresentasikan oleh novel, sebab ada homologi antara struktur yang ada di dalam novel dengan struktur yang ada di dalam sosial masyarakat

 

 

SIMPULAN

Berdasarakan pada analisis yang telah dijelaskan sebelumnya dan sesuai dengan rumusan masalah, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:

1.Struktur dalam novel Orang-orang Proyek

Novel tersebut menceritakan banyak tokoh, tapi penulis hanya mengambil beberapa tokoh yang dianggap  penting dalam penelitian ini, yaitu antara lain; Kabul, Dalkijo, Pak Tarya, Basar. Adapun lingkungan alamnya adalah berupa alam yang potensial, seperti sungai dan sekitarnya. Lingkungan kulturalnya adalah: pedesaan, kampung, warteg, gosip, agama Islam. Lingkungan sosial: pekerja proyek yang kaya dan pragmatis, koruptor dan pekerja proyek yang sukses dan idealis, rakyat miskin, orang kampung, perempuan. Relasi oposisi yang terbangun dari lingkaran imajiner tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Oposisi kultural: Sikap manusia yang pragmatis berlawanan dengan pekerja yang idealis, pragmatis mendominasi dan mengalahkan yang idealis. Kejujuran dan kelicikan. Orang-orang desa dan kota. Oposisional tersebut semuanya merupakan bagian dari oposisional yang lebih besar, yaitu tradisional dan modernisme. Di antara oposisi tersebut ditengahi oleh pendidikan tinggi dan pencapaian kemapanan hidup.
  2. Oposisi alamiah: Alam (lahan) desa yang menjadi objek proyek pembangunan jembatan oleh manusia dan secara tidak langsung  alam juga sebagai subjek bagi manusia, alam ikut membentuk manusia
  3. Oposisi sosial: masyarakat biasa dan politikus yang korupsi, para penduduk kampung dan orang-orang proyek yang tidak professional.
  4. Oposisi manusia: Kabul yang idealis dan Dalkijo yang pragmatis.
  5. Pandangan Dunia

Struktur karya sastra di atas mengekspresikan pandangan dunia yang idealis-humanis dan sosialis-religius. Idealis-humanis ini terangkum dalam salah satu sila dalam pancasila, yaitu sila ke-2, yang berbunyi kemanusian yang adil dan beradab. Di dalam sila ini manusia, khususnya bangsa Indonesia dituntut untuk berbuat adil dan menjunjung tinggi sikap yang beradab, yakni tidak merugikan satu sama lain. Di dalam novel ini, tokoh utama telah mencerminkan sikap ideal yang tercantum dalam sila tersebut. Lewat tokoh Kabul, penulis, Ahmad Tohari secara tidak langsung menolak keras praktik korupsi di semua aspek karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang ideal, sebagimana yang telah tertera dalam pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia. Demikianlah pandangan dunia yang ditampilkan oleh Ahmad Tohari, karena bagaimana pun Ahmad Tohari adalah bangsa Indonesia yang juga menganut ideology pancasila. Ia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang tersirat di dalam setiap sila Pancasila, salah satunya yang sangat konteks dengan karyanya ini adalah sila yang kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.Struktur Sosial

Pada saat novel ini ditulis,  yakni sekitar  tahun 2001, struktur sosial  masyarakat Idonesia  sedang mengidap penyakit korupsi yang kian mewabah. Para pejabat sering memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri, tetutama para elit politik yg sedang marak mencari dana kampanye. Banyak kelicikan yang dilakukan oleh golongan tertentu untuk suatu kepentingan tertentu pula yang tidak berpihak pada masyarakat bawah.  Fenomena ini terjadi seiring dengan digalakkannya sistem pemerintahan yang demokratis. Tetapi sistem pemerintahan yang berjalan tidak benar-benar demokratis. Banyak partai dan golongon baru yang bermuculan untuk berlombah-lombah mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing. Kemudian setiap partai atau golongan yang memiliki ruang (kekuasaan) selalu memanfaatkan ruang tersebut untuk memperkaya diri dan golongan-golong  tertentu. Hal itu yang kemudian menjadi salah satu menyebab seseorang bersikap pragmatis dalam mengerjakan suatu tugas atau kewajiban yang menjadi tangggung jawabnya.

Dengan menggunakan metode dialektik, dapat ditemukan kenyataan bahwa no vel tersebut mengekspresikan pandangan dunia yang diyakini oleh lingkungan karakter sosial tertentu yakni masyarakat  sosial yang idealis dan humanis yang dihadapkan pada lingkungan masyrakat yang pragmatis, yang kemudian menyebabkan penyimpangan-penyimpangan di dalamnya (patologi sosial). Homologi antara struktur karya sastra (novel) ini dengan strukrur sosial tempat novel tersebut dilahirkan merupakan embrio dari adanya pandangan dunia yang ditampilkan oleh pengarang.

Terlepas dari hasil pencapaian tujuan penelitian yang telah penulis uraiakan,  sebuah karya sastra termasuk novel Orang-orang Proyek selalu terbuka untuk diteliti dengan berbagai pendekatan. Penelitian dalam tulisan ini bukanlah suatu hal yang yang final dari sebuah proses penelitian. Novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari yang menjadi objek dalam penelitian ini masih dapat dipahami dan diinterpretasi maknanya melalui berbagai pendekatan dan teori.Oleh karena itu, penulis berharap hasil penelitian ini dapat menjadi gerbang bagi para peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Faruk. 1999 (a). Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____. 1999 (b). Strukturalisme – Genetik (Teori General, Perkembangan Teori, dan Metodenya).Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia.

Jabrohim (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Nugraheni E.W. Makna Totalitas Novel Para Priyayi dan Novel Jalan Menikung Karya Umar Kayam: Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann http://www.uns.ac.id/cp/penelitian.php?act=det&idA=159

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Sapardi Djoko Damono. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Umar Junus. 1986. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.

Yakob Sumardjo. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Zaenuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here