oleh: Nur Maulida

Salat adalah ibadah wajib dalam Islam yang harus dilaksanakan umat muslim. Kewajiban tersebut tertulis jelas di dalam al-Qur’an dan riwayat hadis nabi yang menegaskan atas kewajiban melaksanakan salat. Sekalipun di dalam al-Qur’an praktik salat merupakan ibadah wajib dan utama yang harus dilaksanakan umat muslim, namun Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara detail bagaimana seharusnya salat itu dilakukan. Allah mewajibkan salat kepada kaum muslim tanpa menjelaskan waktu, rukun jumlah rakaat, gerakan dan bacaannya. Bentuk praktik salat yang dijalankan umat muslim sepenuhnya mengikuti gerakan salat Rasulullah yang terekam dalam hadis-hadis NabiSebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “salatlah seperti kamu melihat ku salat”

Di sisi lain walaupun praktik salat telah dijelaskan melalui hadis Rasulullah, namun praktik salat di kalangan umat muslim beraneka ragam. Perbedaan praktik salat tersebut disebabkan oleh banyaknya berbagai riwayat gerakan salat yang dilakukan Nabi dan terekam melalui hadis-hadis Nabi. Kemudian

Sebagian besar ulama fikih mendefinisikan salat sebagai sekumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.  Dalam hal ini ulama fikih tersebut tidak menetapkan khusyuk sebagai syarat sah salat. Sementara ulama tasawuf meyakini bahwa salat adalah media komunikasi yang menghubungkan antara Allah dan hambanya serta menetapkan ketentuan khusyuk sebagai  syarat sah salat.

Perbedaan pemahaman mengenai esensi salat ini masih terasa sampai sekarang. Ulama tasawuf menekankan khusyuk sebagai kewajiban di dalam salat, sementara ulama fikih tidak menetapkan khusyuk sebagai syarat syah salat. Perbedaan tersebut karena ajaran tasawuf adalah ajaran yang berkaitan dengan batiniah, sedangkan fikih berkaitan dengan lahiriah. Khusyuk adalah pengalaman batin yang tidak bisa digambarkan secara langsung sehingga lebih dekat dengan ajaran tasawuf. Pentingnya khusuk ini didukung dengan beberapa hadis yang menggambarkan Rasulullah salat dengan sangat khusyuk dan bahkan dapat melakukan salat berjam-jam hingga telapak kaki beliau mengalami cedera. Hadis-hadis ini sering dijadikan landasan oleh ulama tasawuf dalam menetapkan kewajiban khusyuk dalam salat. Hal ini didukung oleh salah satu hadis berikut ini:

َدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى حَتَّى انْتَفَخَتْ قَدَمَاهُ، فَقِيلَ لَهُ: أَتَكَلَّفُ هَذَا؟ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ، فَقَالَ: أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“Dari Mughirah bin Syu’bah, bahwasannya Nabi saw melaksanakan shalat hingga kedua mata kakinya bengkak. Lalu dikatakan kepadanya: “Mengapa engkau membebani dirimu, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “Bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”

Di sisi lain dalam kondisi yang berbeda, ada banyak  riwayat  yang menjelaskan Rasulullah salat sambil menggendong cucunya ketika sedang salat. Riwayat lain juga menyampaikan bahwa ketika Rosulullah menjadi imam pernah suatu hari beliau sujud sangat lama karena membiarkan cucunya menunggangi punggungnya. Bahkan, Rasulullah pernah dalam suatu kondisi tertentu lupa terhadap jumlah bilangan salat, dan  pernah mempercepat salat karena mendengar tangisan bayi dan merasa khawatir jika sang ibu kesulitan menenangkan bayinya. Hal lain yang mendukung bahwa salat tidak selalu identik dengan khusuk adalah hadis-hadis  mengenai gerakan salat yang dilakukan saat terjadi peperangan, salat di atas kendaraan yang memberikan kemudahan dalam melakukan salat. Dari riwayat-riwayat tersebut, Prof. Quraish Syihab berpendapat bahwa paling tidak sekali-kali Rasulullah pun ketika salat tidak sepenuhnya larut dalam ingatan kepada Allah.  Salah satu hadis yang mendukung hal ini adalah:

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا الوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ ,عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ، عَنْ أَبِيهِ أَبِي قَتَادَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ, تَابَعَهُ بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ، وَابْنُ المُبَارَكِ، وَبَقِيَّةُ، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ.

“Saya pernah mengimami shalat, dan saya ingin memperlama bacaannya. Lalu saya mendengar tangisan bayi, dan sayapun memperingan shalatku. Saya tidak ingin memberatkan ibunya”.

Berdasarkan konteks hadis-hadis di atas ketika Nabi sedang melaksanakan salat, bisa jadi beliau tidak hanya terfokus pada mengingat Allah, namun hati dan pikirannya masih tetap terjaga terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekitar. Dengan demikian level khusyuk seseorang dalam melaksanakan salat juga berbeda, dapat dipengaruhi situasi dan kondisi lingkungan di sekitarnya, di mana sekalipun kita sedang salat namun hati dan pikiran kita tetap harus terjaga apabila situasi di sekitarnya sedang darurat atau bahkan mengancam nyawa diri kita atau orang lain.

Dengan  demikian  perlu diperhatikan bahwa khusyuk yang merupakan upaya menghadirkan kebesaran Allah dalam benak pada hakikatnya bertingkat-tingkat. Mengacu  pada Membumikan Al-Qur’an-nya Prof. Quraish Syihab, dapat dipahami bahwa sebagian ulama telah menetapkan hukum khusyuk pada batas minimal dan maksimal. Ulama fikih yang fokus pada hal-hal yang bersifat lahiriah ketika menetapkan larangan banyak bergerak dalam salat, maka pada hakikatnya mereka menetapkan bentuk khusyuk dalam peringkat minimal. Ulama fikih juga menganggap penting hadirnya khusuk dalam salat ketika mereka merujuk pada hadis berikut ini:

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ رَأَى رَجُلاً يَبْعَثُ بِلِحْيَتِهِ فيِ الصَّلاَةِ فَقَالَ : لَوْ خَشَعَ قَلْبُ هَذَا لَخَشَعَتْ جَوَارِحُهُ

Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi SAW melihat seseorang memainkan jenggotnya ketika shalat. Maka beliau berujar,”Seandainya hatinya khusyuk’ maka khusyuk’ pula anggota badannya.

Hal ini meneguhkan bahwa penetapan makna khusyuk dalam disiplin ilmu mereka ditandai dengan gerakan anggota badan. Jika melakukan gerakan di luar gerakan salat, ini menjadi tanda ketiadaan khusyuk.

Namun demikian, ulama tasawuf yang fokus pada hal-hal yang bersifat batiniah menetapkan kewajiban khusyuk pada batas maksimal disandarkan pada hadis Nabi berikut:

قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? Beliau menjawab: “Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).

Dari beberapa hadis ini Imam Malik menyatakan  bahwa khusuk sebagai satu hal yang  wajib dan rinciannya (praktiknya) disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Sementara Prof. Quraisy Shihab  memberikan perumpamaan khusyuk dalam salat seperti kehadiran pada sebuah pameran lukisan. Ketika banyak yang hadir untuk menikmati keindahan lukisan, bukan berarti mereka memiliki pemahaman yang sama terhadap lukisan tersebut. Berbagai macam sikap yang nampak diantaranya, yaitu: tidak mengerti sedikit pun dan  tidak bisa menikmati lukisan; tidak mengerti tetapi berusaha mempelajari dan bertanya; mengerti dan menikmatinya; dan ada yang mengerti dan menikmati lukisannya sehingga terpukau tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya.

Demikian juga  salat  persepsi umat muslim terhadap perintah salat berbeda-beda; ada diantaranya yang memahami shalat sebatas wajib hukumnya dan cenderung menjalankan untuk sekedar menggugurkan kewajiban dan ada sebagian umat muslim yang meyakini salat sebagai kebutuhan rohani sebagaimana diajarkan oleh ulama tasawuf yaitu salat adalah tempat istirahatnya rohani dan jasmani sehingga kewajiban salat tidak lagi menjadi perintah / kewajiban yang memberatkan.

 

Referensi :

Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadis Pokok-pokok Ilmu Hadis, terj. H.M Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Utama, 2007)

Nabi Melaksanakan Shalat Hingga Kakinya Bengkak, Diakses dari https://bincangsyariah.com/khazanah/nabi-melaksanakan-shalat-hingga-kakinya-bengkak/, Diakses tanggal 15 September 2020 pukul 20.11

  1. Quraish Shihab, Membumikan Alquran Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati: 2010)

 

 

 

1 COMMENT

  1. Sholatlah sebelum kamu disholatkan…. !! sholatnya mak-mak rempong momong anak tiga balita benar-benar sebuah perjuangan. ..smg….kelak pada waktunya anak dewasa kita bisa belajar lagi bagaimana sholat yg benar. Aamiennn

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here