Devisi Dakwah PW Fatayat NU DIY

Oleh: Wahyuni Shifatur Rahmah, S.Th.I., M.Si. [1]

ABSTRAK

Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa umur ‘Aisyah RA saat dinikahi oleh Rasulullah SAW. Namun yang populer adalah catatan umur ‘Aisyah yang 6 dan 9 tahun, yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah. Padahal dalam kajian Ilmu Hadis, riwayat dimaksud ternyata kontradiktif dengan riwayat-riwayat lain sehingga sangat diragukan kesahihannya. Namun anehnya, hadis ini sering dijadikan sebagai hujjah bagi orang yang memusuhi Islam -dengan tujuan ingin menggugat, menjelekkan, membuat stigma atau merusak citra Islam- atau orang Islam sendiri yang mengambil advantage (keuntungan) yang hanya bersifat sesaat, seperti untuk menghalalkan perkawinan dini. Tulisan ini akan mengkritisi hadis riwayat Hisyam bin Urwah tersebut.

Kata Kunci: Kritik Hadis, ‘Aisyah, Nikah Dini

A. PEGANTAR

Hampir setahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 8 Agustus 2008, Indonesia dihebohkan dengan pernikahan seorang pendiri pondok pesantren di Jawa Tengah. Pujiyono Cahyo Widiyanto atau lebih terkenal dengan nama Syekh Puji, pendiri Pondok Pesantren Miftahul Jannah di daerah Bedono, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, pemilik P.T. Sinar Lendoh Terang yang memproduksi kerajinan kuningan untuk pasokan dalam dan luar negeri ini menikahi Lutfiana Ulfa yang masih berusia 12 tahun. Bahkan syekh puji juga mempersiapkan diri akan menikahi lagi gadis belia usia 7 dan 9 tahun secara bersamaan. Padahal dalam UU Perkawinan, batas usia menikah anak perempuan adalah 16 tahun.

Pernikahan kontroversial antara syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa dapat dikategorikan sebagai child marriage (kawin anak). Sebab, Ulfa dinikahi siri oleh syekh Puji (43 tahun) dalam usia 12 tahun. Artinya telah terjadi perkawinan laki-laki dewasa dengan anak perempuan.[2] Praktek semacam ini merupakan bentuk pelanggaran bahkan penyimpangan seksual sexual abuse. Salah satu bentuk penyimpangan perilaku seksual yang dilakukan seorang dewasa yang melakukan hubungan seksual secara paksa dengan anak-anak yang belum mencapai pubertas atau bila orang dewasa yang tertarik secara seksual pada anak usia kurang dari 13 tahun, inilah yang dinamakan pedophile.

Mendapat protes dari berbagai pihak serta ancaman bui karena pernikahannya dianggap menyalahi UU Perlindungan Anak, syekh Puji menyikapinya dengan santai. Menurutnya, apa yang dilakukannya merupakan sunnah Rasul dan tidak menyalahi syariat agama. Karena Nabi Muhammad, sebagai sumber teladan telah menikahi ‘Aisyah pada umur 9 tahun, sehingga semua tindakannya patut dicontoh dan diteladani.

Benarkah beberapa hadis (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur ‘Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, dapat dibuktikan keabsahannya atau kesahihannya? Untuk itu, penulis akan menyajikan beberapa argumen untuk mengkritisinya. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kritik hadis, yang dalam ilmu hadis dikenal sebagai ilmu takhrij al-hadis. Kritik dilakukan baik secara eksternal (naqd al-khariji: kritik sanad), maupun internal (naqd al-dakhili: kritik matan). Kritik eksternal adalah upaya penelitian yang mengarah pada uji kredibilitas dan kualitas (siqah) serta uji ketersambungan muttasil para rawi. Sedangkan kritik internal lebih mengarah pada uji materi. Apakah matan tersebut mengandung cacat atau terdengar janggal.

Adapun pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sejarah, dengan memperhatikan kondisi sosial budaya dan sosio-kultural yang melatarbelakangi hadis tersebut (asba>b al-wuru>d). Pendekatan ini penting, sebab suatu hadis tidak lahir dalam vacum culture, melainkan pasti selalu ada konteks dan situasi yang melingkupinya based on historical facts.

B. MENGENAL ‘AISYAH DAN PERKAWINANNYA

Latar Belakang Kehidupan ‘Aisyah

‘Aisyah adalah putri Abdullah Ibn Abi Quhafah Usman Ibn Amir Ibn Amr Ibn Ka’ab Ibn Sa’ad Ibn Taim Ibn Murrah Ibn Ka’ab Ibn Luay,[3] yang dikenal dengan nama Abu Bakar al-Siddiq RA.[4] Ibunya bernama Ummu Ruman binti Uwaimir Ibn Amir dari bani al-Haris Ibn Ganim Ibn Kinanah. Keluarga ‘Aisyah berasal dari suku Quraisy al-Taimiyah al-Makkiyyah yang dikenal sebagai marga yang dermawan, pemberani, jujur dan berfikiran cerdas.[5]

‘Aisyah dilahirkan di Makkah pada tahun ke-2 setelah kenabian,[6] ia tumbuh dan dibesarkan di lingkungan Arab yang masih murni, sehingga ia banyak mewarisi anasir kebanggaan bangsa Arab pada suku Taim. Pada masa kecilnya ‘Aisyah diasuh oleh bani Makhzum,[7] yang telah menjadikan ‘Aisyah mempunyai kefasihan dan sifat-sifat Arab asli. ‘Aisyah tumbuh dan berkembang di lingkungan Islam yang sangat ketat, karena ia dilahirkan setelah Islam datang. Ayah dan ibunya termasuk kelompok yang pertama masuk Islam,[8] sedangkan ‘Aisyah masuk Islam bersama kakak perempuannya yaitu Asma’ binti Abu Bakar ketika jumlah orang yang masuk Islam masih sedikit, karena itu ia juga termasuk sebagai salah satu Muslimah pertama.

Nabi Muhammad SAW mengenal ‘Aisyah semenjak masa kanak-kanak dan beliau menempatkan ‘Aisyah dalam hatinya sebagai seorang anak perempuan yang termulia. Di mata beliau, ‘Aisyah anak yang terbuka, menunjukkan kecerdasan, kelincahan dan spontanitas yang mengagumkan. Di samping lidah yang fasih dan hati yang berani, karena yang mengasuhnya adalah himpunan dari Bani Makhzum. ‘Aisyah juga senang melihat Rasul dengan segala kebesaran, kemuliaan dan kewibawaannya, dan senang bermain-main dengannya.[9]

‘Aisyah dibesarkan di dalam rumah tangga yang dijiwai oleh kebenaran Islam, karena Rasulullah SAW sering berkunjung ke rumah Abu Bakar. Beliau dan sahabatnya itu biasa duduk berdua memperbincangkan berbagai rencana. Sementara itu ‘Aisyah yang masih kecil bermain-main di dekat mereka. Kendatipun usianya masih sangat muda, namun pikirannya yang sangat tajam dan cepat dapat menangkap suasana dan semangat dalam perjuangan menegakkan Islam. Dengan tekun dia mempelajari dasar-dasar agama yang baru.

‘Aisyah adalah anak yang cepat besar. Perkembangan jasmani dan rohaninya mengherankan setiap orang. Walaupun usianya masih muda, dia telah mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah akal fikiran.[10] Dia menyelidiki segala sesuatu dengan cermat dan berusaha mencari kebenaran di balik yang lahir. Ingatannya kuat sekali sehingga membuat kedua orang tuanya tercengang.[11]

Perkawinan ‘Aisyah dengan Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW mempunyai banyak istri semasa hidupnya. Hal ini bukan tanpa tujuan, karena dibalik perkawinan-perkawinan tersebut terdapat rahasia yang akan menunjukkan cermelangnya strategi beliau, yaitu: “political and social motives”.

Perkawinan pertama Nabi SAW adalah dengan Khadijah, yang dilakukan ketika beliau berumur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun. Selama hampir 25 tahun, Nabi hanya beristerikan Khadijah, sampai Khadijah meninggal di umur 65 tahun. Perkawinan selanjutnya dilakukan beliau setelah berumur lebih dari 50 tahun.

Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan beliau tidak untuk mencari kesenangan semata.[12] Jika di ditelusuri lebih dalam, perkawinan beliau selanjutnya mempunyai banyak motif, diantaranya: dengan tujuan membantu wanita yang suaminya baru saja terbunuh di dalam membela Islam, menambah dan mempererat hubungan dengan salah satu pendukung fanantik Islam, Abu Bakar, upaya membangun hubungan yang baik dengan suku-suku lain yang semula berniat memerangi Islam. Sehingga ketika Nabi SAW mengawininya, maka perang pun terhindarkan dan darah pun tak jadi tumpah, dan masih banyak tujuan mulia yang lainnya.[13]

Mengenai pernikahan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah, pada awalnya seorang kerabat Nabi bernama Khaulah Bint Hakim yang menyarankan agar Nabi SAW mengawini ‘Aisyah, putri dari Abu Bakar, dengan tujuan agar mendekatkan hubungan dengan keluarga Abu Bakar. Waktu itu ‘Aisyah sudah bertunangan dengan Jabir Ibn Al-Matim Ibn ‘Adi, yang pada saat itu adalah seorang Non-Muslim. Orang-orang di Makkah tidaklah keberatan dengan perkawinan ‘Aisyah, karena walaupun masih muda, tapi sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang tanggungjawab di dalam sebuah perkawinan.

Di samping itu, ‘Aisyah dinikahi oleh Rasulullah SAW karena adanya petunjuk dari Allah SWT yang dibawa malaikat Jibril dalam mimpi beliau. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

عن ابن أبى مليكة عن عائشة : أنّ جبريل جاء بصورتها فى خرقة حرير خضراء إلى النّبي صلّى الله عليه وسلّم فقال : هذه زوجتك فى الدّنيا ولأخرة.

“Sesungguhnya Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi saw. dan berkata ini adalah istrimu di dunia dan akhirat” (HR. Bukhari dan Muslim). [14]

Hadis di atas jelas menunjukkan sebuah pengkhususan untuk Nabi SAW, karena dalam hadis tersebut Nabi SAW tidak menganjurkan untuk diikuti atau dilakukan oleh para sahabat maupun umatnya. Dan tentu saja, hanya Nabi SAW sajalah yang mendapatkan mimpi semacam itu sebagai bentuk perintah dari Allah kepada beliau.

Berdasarkan petunjuk ini, Nabi SAW kemudian menikahi ‘Aisyah tiga tahun setelah wafatnya Khadijah. Namun, Nabi SAW tidak langsung menggaulinya pada tahun pernikahannya itu, karena situasi dan kondisinya belum memungkinkan. Mahar yang diberikan Nabi SAW pada saat pernikahan adalah 400 dirham.

‘Aisyah merupakan istri yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sering memanggilnya “al-Humayra”, sebagai tanda cinta kasih beliau kepadanya. Rasulullah SAW begitu membahagiakan dan menentramkannya. Sehingga tali cintanya terjalin sangat erat, dan menambah dalam cintanya di hati Rasulullah SAW.

Pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kewanitaan dimana banyak kaum perempuan bertanya kepada Rasulullah SAW melalui ‘Aisyah RA. Karena kecakapan dan kecerdasan ‘Aisyah sehingga beliau menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman.

C. HADIS-HADIS TENTANG USIA PERKAWINAN ‘AISYAH

Mencermati hadis tentang usia pernikahan ‘Aisyah memang bukan hal yang mudah, untuk itu dibutuhkan sikap kritis supaya tidak terjebak pada kesimpulan yang salah.

Hadis mengenai perkawinan Nabi SAW dengan ‘Aisyah sering dijadikan sebagai hujjah bagi orang yang memusuhi Islam dengan tujuan ingin menggugat dan menjelekkan atau membuat stigma dan merusak citra Islam atau orang Islam sendiri yang mengambil advantage (keuntungan) yang hanya bersifat sesaat. Dalil yang digunakan adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW menikahi ‘Aisyah ketika berumur 9 tahun. Padahal dalam kajian Ilmu Hadis, riwayat dimaksud ternyata kontradiktif dengan riwayat-riwayat lain sehingga sangat diragukan kesahihannya.

Adapun beberapa hadis yang dijadikan dalil mengenai pernikahan dini ‘Aisyah dengan Rasulullah SAW adalah sebagai berikut :

‏‏عَنْ ‏‏ هِشَامٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِيهِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَائِشَةَ ‏ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ‏ ‏قَالَتْ : ‏تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ فَقَدِمْنَا ‏ ‏الْمَدِينَةَ ‏ ‏فَنَزَلْنَا فِي ‏ ‏بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ ‏ ‏فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي ‏ ‏فَوَفَى ‏ ‏جُمَيْمَةً فَأَتَتْنِي أُمِّي ‏ ‏أُمُّ رُومَانَ ‏ ‏وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ وَإِنِّي ‏ ‏لَأُنْهِجُ ‏ ‏حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ ‏ ‏الْأَنْصَارِ ‏ ‏فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏ضُحًى فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Dari Hisyam bin Urwah dari Aisyah RA berkata: “Nabi SAW menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat Bani Haris bin Khajraj. Kemudian aku terserang penyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok. Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku. Dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah. Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar.’ Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah saw. Ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.’” (HR. Bukhari dan Muslim).[15]

‏Selain hadis di atas, beberapa hadis lainnya yang menjelaskan usia pernikahan Aisyah juga tercatat dalam kitab-kitab hadis seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, Musnad Syafi’i, Sunan Darimi, Musnad Imam Ahmad, Sunan Baihaqi, dan lain-lain, yang hampir semuanya diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah dari ayahnya. (Selengkapnya bisa dilihat pada lampiran tulisan ini).

D. KRITIK ATAS HADIS-HADIS PERNIKAHAN ‘AISYAH

Secara kronologis, penulis perlu mencatat beberapa tanggal penting dalam sejarah Islam yang dimulai sejak masa Jahiliyah (pra Islamic era), yaitu sebelum wahyu turun sekitar Pra-610 M. Selanjutnya pada 610 M, turun wahyu pertama dan Abu Bakar menerima Islam. Selang tiga tahun kemudian, pada 613 M, Nabi Muhammad mulai mengajarkan Islam ke Masyarakat di Makkah dan pada 615 M, Nabi Muhammad Hijrah ke Abyssinia dan satu tahun kemudian yaitu pada 616 M, Umar bin al Khattab baru masuk Islam. Pada 620 M, dikatakan Nabi meminang ‘Aisyah, dan dua tahun kemudian yaitu pada 622 M, Nabi Muhammad Hijrah ke Yathrib, yang kemudian dinamai Madinah. Dan pada 623/624 M, dikatakan Nabi saw baru berumah tangga dengan ‘Aisyah.

Tanggal-tanggal penting di atas selanjutnya akan dijadikan pijakan untuk mengkritisi atau meluruskan usia pernikahan ‘Aisyah dengan rasulullah SAW. Karena dengan mengetahui latar kronologis di atas, setidaknya akan membantu melihat peristiwa demi peristiwa secara akurat dan tepat. Bagi penulis, ini menjadi hal yang urgen. Karena sebuah peristiwa pasti terkait dengan peristiwa lainnya/berikutnya. Selain itu, kesimpangsiuran informasi atau sumber yang ada terkadang bisa menyebabkan kerancauan atau bahkan hasil yang diskriminatif.

Kritik eksternal

Setelah dilakukan penelitian, hadis-hadis yang menceritakan tentang usia perkawinan ‘Aisyah, baik yang menyatakan usia 9 tahun kemudian berkumpul dengan Nabi pada usia 12 tahun, atau sebagian riwayat lain yang menyebutkan dipinang usia 6 tahun dan dinikahi usia 9 tahun, ternyata semuanya bermuara pada riwayat Hisyam ibn `Urwah saja,[16] yang mencatat atas otoritas dari bapaknya. Artinya, tidak ada isnad (periwayat) lain yang meriwayatkan hadis serupa. Adalah aneh bahwa tidak ada seorang pun di Madinah yang meriwayatkan hadis tersebut, dimana Hisyam ibn `Urwah tinggal sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, di samping kenyataan adanya banyak murid-murid di Madinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Pada akhirnya diketahui bahwa riwayat ini berasal dari orang-orang Iraq, di mana Hisyam tinggal di sana setelah pindah dari Madinah pada usia cukup tua.

Menurut catatan Ya’qub bin Shaibah, ”Hisyam sangat bisa dipercaya dan riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq”.[17]

Lebih lanjut Ya’qub berkata bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq: ”Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq.” Keterangan lain juga diperoleh dari Mizan al-I’tidal, bahwa: “Ketika masa tua, ingatan Hisyam mengalami kemunduran yang mencolok”.[18]

Dengan demikian, berdasarkan beberapa keterangan tersebut menginformasikan bahwa Ingatan Hisyam sangatlah buruk dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan ‘Aisyah adalah tidak kredibel.

Menurut penulis, hadis-hadis tersebut hanya bersifat informatif khabar insya’I, bukan khabar thalabi, yang menuntut untuk ditiru. Sekalipun hadis-hadis tersebut tercatat dalam Sahih Bukhari, Sahih Muslim, yang sudah terjamin kesahihannya, akan tetapi bagi penulis, jika hadis tersebut berdampak diskriminatif bagi perempuan atau isteri, maka kesahihan sanad tidaklah menjamin kesahihan matan. Oleh karena itu diperlukan penelitian mendalam melalui indikator (qarinah) pada matan hadis tersebut.

Kritik internal

Dalam uji materi (kritik internal) ini, penulis melihat melalui beberapa aspek:

1. Aspek Bahasa.

Di dalam hadis tentang pernikahan dini ‘Aisyah RA. redaksi (matan) hadisnya menggunakan kalimat wa hiya bintu situ sinina wa bana biha wa hiya bintu tis’a sinina. Kalimat bintu situ sinina memang berarti anak perempuan berusia enam tahun, tapi jika dikaitkan dengan beberapa riwayat lain yang terkait, penulis menemukan ada beberapa kejanggalan.

Di antara riwayat yang mengindikasikan usia pernikahan ‘Aisyah bukan pada usia enam tahun adalah:

Riwayat Ahmad ibn Hanbal, bahwa sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (tsayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama ‘Aisyah.

Dalam leksikal bahasa Arab, kata bikr tidak digunakan untuk gadis belia berusia 6 atau 9 tahun. Karena kata yang merujuk pada usia 6 atau 9 tahun adalah jariyah, yakni seorang gadis belia yang masih suka bermain-main. Sedangkan bikr pada umumnya digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kata yang dapat dipahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Oleh karena itu, tampak jelas bahwa “bikr” bukanlah gadis belia yang baru berusia 6 atau 9 tahun.[19]

Dengan demikian, arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadis di atas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, ‘Aisyah adalah seorang wanita dewasa yang sudah pada waktunya untuk menikah.

2. Aspek Sejarah.

Dalam konteks historis terdapat beberapa riwayat yang saling kontradiktif mengenai usia ‘Aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah SAW, di antaranya:

a. ‘Aisyah Dipinang Nabi SAW

Menurut Tabari, juga menurut Hisyam ibn `Urwah, Ibn Hanbal dan Ibn Sa’ad, ‘Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, pada riwayat lain, menurut al-Thabari semua anak Abu Bakar (4 orang), termasuk ‘Aisyah, dilahirkan pada masa jahiliyah melalui 2 istrinya, atau sebelum Muhammad diutus menjadi Rasul. Ini berarti ketika Nabi hijrah ke Madinah, ‘Aisyah sudah berumur 13-14 tahun. Ini juga mengindikasikan ketika Rasulullah menikahi ‘Aisyah setahun setelah Hijrah, umur ‘Aisyah diperkirakan 14-15 tahun.[20]

Jika ‘Aisyah dipinang pada 620M (‘Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa ‘Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, ‘Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyah usai (pasca 610 M). Jika ‘Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya pada saat menikah, ‘Aisyah sudah berumur minimal 14 tahun.

Dengan demikian, Al-Tabari tidak memberikan informasi reliable mengenai umur ‘Aisyah ketika menikah, karena ada kontradiksi dalam riwayatnya.

b. Selisih Umur ‘Aisyah dengan Asma’

Menurut sebagian besar ahli sejarah, termasuk Ibnu Hajar Al-Asqalani,[21] Abdurrahman bin Abi Zannad,[22] dan Ibnu Katsir,[23] selisih umur Asma-anak perempuan tertua Abu Bakar- dengan ‘Aisyah adalah 10 tahun. Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah, Asma meninggal dunia pada 73 H dalam usia 100 tahun. [24] Dengan demikian pada awal Hijrah Nabi ke Madinah usia Asma sekitar 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622 M). Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika ‘Aisyah berumah tangga), ‘Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, ‘Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada tahun dimana ‘Aisyah berumah tangga.

c. Selisih Umur ‘Aisyah dengan Fathimah

Menurut riwayat Ibnu Hajar, jika dihubungkan dengan umur Fathimah, “Fathimah dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, tepatnya, ketika Nabi saw berusia 35 tahun, padahal Fathimah 5 tahun lebih tua dari ‘Aisyah”. Fathimah lahir ketika Nabi berumur 30 tahun. Jika Nabi menikahi ‘Aisyah setahun setelah hijrah (atau ketika Nabi berumur 53 tahun). Ini mengindikasikan ‘Aisyah berumur 17-18 tahun ketika menikah dengan beliau.[25] Dengan demikian, antara riwayat Ibn Hajar, al-Tabari, Hisham, dan Ibn Hambal terdapat kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat ‘Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.

d. ‘Aisyah Ikut Berperang

Sebuah riwayat mengenai partisipasi ‘Aisyah dalam perang Badar dijabarkan dalam hadis Muslim. ‘Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”.[26] Dari pernyataan ini tampak jelas, ‘Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Begitu pula dengan riwayat mengenai pastisipasi ‘Aisyah dalam Uhud yang tercatat dalam Bukhari “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat ‘Aisyah dan Ummi Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut.” [27]

Berdasarkan riwayat ini, ‘Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr. Padalah dalam riwayat Bukhari lainnya disebutkan bahwa: “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya berpartisipasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang. Sedangkan ‘Aisyah ikut serta dalam perang Badar dan Uhud.” [28]

Jika anak-anak berusia di bawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, maka keikutsertaan ‘Aisyah dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa ‘Aisyah tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Di samping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan ‘Aisyah.

e. ‘Aisyah dan Turunnya Surat al-Qamar

Menurut beberapa riwayat, ‘Aisyah dilahirkan pada tahun ke- 8 sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, ‘Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jariyah)” ketika surah al-Qamar diturunkan. [29]

Surat 54 dari al-Qur’an tersebut diturunkan pada tahun ke- 8 sebelum Hijriyah, artinya surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M. jika ‘Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah SAW pada usia 9 di tahun 623 M atau 624 M, berarti ‘Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah) pada saat surah al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat di atas, secara aktual tampak bahwa ‘Aisyah adalah sudah menjadi gadis muda, bukan bayi yang baru lahir. ketika pewahyuan al-Qamar.

Jadi, ‘Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), atau telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikahi oleh Nabi SAW.

Berdasarkan keterangan di atas, pemahaman atas riwayat tentang usia pernikahan ‘Aisyah adalah 6 atau 9 tahun masih mengandung banyak persoalan, karena riwayat tersebut ternyata kontradiktif dengan riwayat-riwayat lainnya. Dengan demikian, riwayat tentang usia pernikahan ‘Aisyah adalah 6 atau 9 tahun masih belum dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga hadis itu tidak dapat dijadikan dalil menikah di usia muda.

3. Bukti dalam al-Qur’an

Seluruh muslim setuju bahwa Qur’an adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari al-Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia ‘Aisyah dan pernikahannya. Apakah al-Qur’an mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?

Tidak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk al-Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan pada anak kita sendiri.

Ayat tersebut mengatakan:

Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ã—ö‘$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ (#qè=tGö/$#ur 4’yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Y‰ô©â‘ (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”[30]

Dalam ayat di atas yang dimaksud dengan orang yang belum sempurna akalnya dalam ayat di atas adalah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya.

Dalam hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka terhadap kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat al-Qur’an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis berusia 7 tahun. Dengan kata lain, jika kita tidak bisa mempercayai gadis berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, berarti gadis tersebut sudah tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk dinikahi. Ibn Hambal menyatakan bahwa ‘Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai isteri.[31]

Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar, seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis berusia 7 tahun.

Ayat di atas juga menunjukkan tugas penting lainnya dalam menjaga anak, yaitu mendidiknya. Mendidik anak bukanlah hal yang mudah, karena itu tidak mungkin (untuk tidak mengatakan mustahil) kita bisa mencapai hasil yang memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun, apalagi untuk siap menikah. Logika ini tentu akan memunculkan pertanyaan “Bagaimana mungkin kita percaya bahwa ‘Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Hisyam bin Urwah di atas?”

Abu Bakar merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa ‘Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan al-Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan ‘Aisyah kepada seorangpun. Begitu pula dengan Nabi SAW, Jika sebuah beliau diminta untuk menikahi gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan, tentu beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum al-Qur’an.

E. KESIMPULAN

Tidak ada yang bisa memastikan berapa umur ‘Aisyah RA saat dinikahi oleh Rasulullah SAW. Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa umur ‘Aisyah RA saat dinikahi oleh Rasulullah SAW. Namun yang populer adalah catatan umur ‘Aisyah yang 6 dan 9 tahun, yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah. Padahal dalam kajian Ilmu Hadis, riwayat dimaksud ternyata kontradiktif dengan riwayat-riwayat lain sehingga sangat diragukan kesahihannya. Celakanya, sebagian umat Islam tanpa mengkajinya lebih dulu rupanya telah ikut mempopulerkan hadis tersebut, sehingga hadis ini sering dijadikan sebagai hujjah bagi orang yang memusuhi Islam -dengan tujuan ingin menggugat, menjelekkan, membuat stigma atau merusak citra Islam- atau orang Islam sendiri yang mengambil advantage (keuntungan) yang hanya bersifat sesaat, seperti untuk menghalalkan perkawinan dini. Padahal banyak hadis-hadis lain yang tercatat dalam Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, Musnad Syafi’i, Sunan Darimi, Musnad Imam Ahmad, Sunan Baihaqi, dan lain-lain, yang juga memiliki derajat yang lebih sahih yang layak untuk kita ikuti.

* * *

DAFTAR PUSTAKA

Al\-‘Asqala>ni, Syiha>b al-Di>n Ibn H{ajar. Al-Is}a>bah fi Tamyibah. Beirut: Mu’assisah al-Risa>lah, 1972.

____________ Fathul Ba>ri. Al-Qa>hirah: Mat}ba’ah Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, 1959.

____________ Taqribu al-Tahzib. t.t.p.: Da>r Ihya al-Tura>th al-Isla>mi, t.t.

__________ Tehzi>bu al-Tehzi>b. t.t.p.: Da>r Ihya al-Tura>th al-Isla>mi, t.t.

Al-Bukha>ri, Muh}ammad Ibn Isma>il Ibn Ibrahi>m al-Ja’fi> . S{ahi>ri. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981.

Al-Jazari, ‘Izz al-Di>n Ibn al-Asir. Usud al-G{a>bah fi Ma’rifat al-S{ah}a>bah. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.

Al-Niri>, Muslim Ibn H{ajja>j al-Qusyairi>. S{ahi>ni, Ah}mad ibn Muh}ammad Ibn H{anbal. Musnad Ah}mad Ibn H{anbal. Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.

Al-Tabari. Tarikh al Umam wa al-Mamlu>k. Beirut: Da>r al-Fikr, 1979.

Al-Zahabi, Husein. Miza>n al-I`tida>l. Pakistan: Al-Maktabah al-Athriyyah, Sheikhupura, t.t.

Al-Zahabi, Syam al-Din Muhammad Ibn Usman. Siyar al-A’la>m al-Nubala>’ (Beirut: Mu’assisah al-Risa>lah, 1990.

Esposito, John L., Islam The straight Path. Inggris: Oxford University Press, 1988.

Ibn Saad, Muhammad. T{abaqa>t al-Kubra>. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1990.

Kathir, Ibn. Al-Bida>yah wa al-Niha>yah. Al-Jizah: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, 1933.

Rambe, A. Nawawi, ‘Aisyah Ibu Kaum Mukminin. Jakarta: Wijaya, 1982.

Syathi’, Bintusy. Istri-istri Rasulullah SAW. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

WLUML. Mengenali Hak Kita: Perempuan, Keluarga, Hukum dan Adat di Dunia Islam. terj. Suzanna Eddoyo Jakarta: SCN CREST dan LKiS, 2007.

Lampiran:

Daftar Hadis tentang Usia Pernikahan ‘Aisyah RA

NO

SUMBER

HADIS

1.

صحيح بخاري

‏كِتَاب ‏ ‏الْمَنَاقِبِ ‏
‏ ‏بَاب ‏ ‏تَزْوِيجِ النَّبِيِّ ‏ ‏عَائِشَةَ ‏ ‏وَقُدُومِهَا ‏ ‏الْمَدِينَةَ ‏ ‏وَبِنَائِهِ ‏ ‏بِهَا

Hadis No. 3603

‏‏حَدَّثَنِي ‏ ‏فَرْوَةُ بْنُ أَبِي الْمَغْرَاءِ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ ‏ ‏عَنْ ‏‏ هِشَامٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِيهِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَائِشَةَ ‏ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ‏ ‏قَالَتْ ‏
‏تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ فَقَدِمْنَا ‏ ‏الْمَدِينَةَ ‏ ‏فَنَزَلْنَا فِي ‏ ‏بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ ‏ ‏فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي ‏ ‏فَوَفَى ‏ ‏جُمَيْمَةً فَأَتَتْنِي أُمِّي ‏ ‏أُمُّ رُومَانَ ‏ ‏وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ وَإِنِّي ‏ ‏لَأُنْهِجُ ‏ ‏حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ ‏ ‏الْأَنْصَارِ ‏ ‏فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏ضُحًى فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

2

صحيح بخاري

Hadis No. 3605

حَدَّثَنِي ‏ ‏عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏أَبُو أُسَامَةَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏هِشَامٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِيهِ ‏ ‏قَالَ ‏
‏تُوُفِّيَتْ ‏ ‏خَدِيجَةُ ‏ ‏قَبْلَ مَخْرَجِ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏إِلَى ‏ ‏الْمَدِينَةِ ‏ ‏بِثَلَاثِ سِنِينَ فَلَبِثَ سَنَتَيْنِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ وَنَكَحَ ‏ ‏عَائِشَةَ ‏ ‏وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ثُمَّ ‏ ‏بَنَى ‏ ‏بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

4

صحيح مسلم

‏كِتَاب ‏ ‏النِّكَاحِ ‏
‏ ‏بَاب ‏ ‏تَزْوِيجِ الْأَبِ الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ

Hadis No. 2539

حَدَّثَنَا ‏ ‏أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏أَبُو أُسَامَةَ ‏ ‏ح ‏ ‏و حَدَّثَنَا ‏ ‏أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ‏ ‏قَالَ ‏ ‏وَجَدْتُ فِي كِتَابِي ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي أُسَامَةَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏هِشَامٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِيهِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَائِشَةَ ‏ ‏قَالَتْ ‏
‏تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏لِسِتِّ سِنِينَ ‏ ‏وَبَنَى بِي ‏ ‏وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ قَالَتْ فَقَدِمْنَا ‏ ‏الْمَدِينَةَ ‏ ‏فَوُعِكْتُ ‏ ‏شَهْرًا ‏ ‏فَوَفَى ‏ ‏شَعْرِي ‏ ‏جُمَيْمَةً ‏ ‏فَأَتَتْنِي ‏ ‏أُمُّ رُومَانَ ‏ ‏وَأَنَا عَلَى أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبِي فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا وَمَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي فَأَخَذَتْ بِيَدِي فَأَوْقَفَتْنِي عَلَى الْبَابِ فَقُلْتُ هَهْ هَهْ حَتَّى ذَهَبَ نَفَسِي فَأَدْخَلَتْنِي بَيْتًا فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ ‏ ‏الْأَنْصَارِ ‏ ‏فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ ‏ ‏طَائِرٍ ‏ ‏فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَغَسَلْنَ رَأْسِي وَأَصْلَحْنَنِي فَلَمْ ‏ ‏يَرُعْنِي ‏ ‏إِلَّا وَرَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏ضُحًى فَأَسْلَمْنَنِي إِلَيْهِ

5

صحيح مسلم

Hadis No. 2540

‏و حَدَّثَنَا ‏ ‏يَحْيَى بْنُ يَحْيَى ‏ ‏أَخْبَرَنَا ‏ ‏أَبُو مُعَاوِيَةَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ‏ ‏ح ‏ ‏و حَدَّثَنَا ‏ ‏ابْنُ نُمَيْرٍ ‏ ‏وَاللَّفْظُ لَهُ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏عَبْدَةُ هُوَ ابْنُ سُلَيْمَانَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏هِشَامٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِيهِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَائِشَةَ ‏ ‏قَالَتْ ‏
‏تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ‏ ‏وَبَنَى بِي ‏ ‏وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

6

صحيح مسلم

Hadis No. 2541

‏و حَدَّثَنَا ‏ ‏عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ ‏ ‏أَخْبَرَنَا ‏ ‏عَبْدُ الرَّزَّاقِ ‏ ‏أَخْبَرَنَا ‏ ‏مَعْمَرٌ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏الزُّهْرِيِّ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عُرْوَةَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَائِشَةَ ‏
‏أَنَّ النَّبِيَّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ ‏

7

سنن ابن ماجه

كتاب النكاح

باب نكاح الصغار يزوجهن الآباء

Hadis No. 1876

حدثنا سويد بن سعيد. حدثنا علي بن المسهر. حدثنا هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة؛ قالت:
تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا بنت ست سنين. فقدمنا المدينة. فنزلنا في بني الحرث بن الخزرج. فوعكت. فتمرق شعري حتى وفى له جميمة. فأتتني أمي أم رومان؛ وإني لفي أرجوحة ومعي صواحبات لي. فصرخت بي. فأتيتها وما أدري ما تريد. فأخذت بيدي فأوفقتني على باب الدار. وإي لأنهج حتى سكن بعض نفسي. ثم أخذت شيئا من الماء فمسحت به على وجهي ورأسي. ثم أدخلتني الدار. فإذا نسوة من الأنصار في بيت. فقلن: على الخير والبركة، وعلى خير طائر. فأسلمتني إليهن. فأصلحن من شأني. فلم يرعني إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى. فأسلمتني إليه، وأنا يومئذ بنت تسع سنين.

8

سنن ابن ماجه

Hadis No. 1877

حدثنا أحمد بن سنان. حدثنا أبو أحمد. حدثنا إسرائيل، عن أبي إسحاق، عن أبي عبيدة، عن عبد الله؛ قال:
تزوج النبي صلى الله عليه وسلم عائشة وهي بنت سبع سنين. وبنى بها وهي بنت تسع سنين. وتوفي عنها وهي بنت ثماني عشر سنة.
في الزوائد: إسناده صحيح على شرط الشيخين. إلا إنه منقطع. لأن أبا عبيدة لم يسمع من أبيه. قاله شعبة وأبو حاتم وابن حبان في الثقات. والترمذي في الجامع. والمزي في الأطراف. وغيرهم. والحديث قد رواه النسائي في الصغرى من حديث عائشة.

9

مسند الإمام أحمد ابن حنبل

Hadis No. 174

حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا حسن بن موسى قال حدثنا حماد بن سلمة عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة قالت:

تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم متوفى خديجة قبل مخرجه إلى المدينة بسنتين أو ثلاث وأنا بنت سبع سنين فلما قدمنا المدينة جاءتني نسوة وأنا ألعب في أرجوحة وأنا مجممة فذهبن بي فهيأنني وصنعنني ثم أتين رسول الله صلى الله عليه وسلم فبنى بي وأنا بنت تسع سنين.

10

سنن الترمذي

أبواب النكاح عن رسول باب ما جاء في الأوقات التي يستحب فيها النكاح

Hadis No. 1099

حدثنا بندار أخبرنا يحيى بن سعيد. حدثنا سفيان عن إسماعيل بن أمية، عن عبد الله بن عروة، عن عروة، عن عائشة قالت:

تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم في شوال، وبني بي في شوال. وكانت عائشة تستحب أن يبنى بنسائها في شوال.
هذا حديث حسن صحيح. لا نعرفه إلا من حديث الثوري عن إسماعيل.

11

سنن أبو داود

كتاب النكاح

باب في تزويج الصِّغار

Hadis No. 2121

حدثنا سليمان بن حرب وأبو كامل قالا: ثنا حماد بن زيد، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة قالت:
تزوجني رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم وأنا بنت سبع سنين، [قال سليمان: أو ستّ]، ودخل بي وأنا بنت تسع.

12

سنن أبو داود

كتاب الأدب

باب في الأرجوحة

Hadis No. 4933

حدثنا موسى بن إسماعيل، ثنا حماد، ح وحدثنا بشر بن خالد، ثنا أبو أسامة قالا: حدثنا هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة قالت:
إنَّ رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم تزوجني وأنا بنت سبع أو ستٍّ، فلما قدمنا المدينة أتين نسوة، وقال بشر: فأتتني أم رومان، وأنا على أرجوحة فذهبن بي، وهيأنني، وصنعنني، فأتي بي رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم، فبنى بي وأنا ابنة تسع، فوقفت بي على الباب فقلت: هيه هيه.

13

سنن أبو داود

Hadis No. 4935

حدثنا موسى بن إسماعيل، ثنا حماد، أخبرنا هشام بن عروة، عن عروة، عن عائشة عليها السلام قالت:

فلما قدمنا المدينة جاءني نسوةٌ وأنا ألعب على أرجوحةٍ وأنا مجمّمةٌ، فذهبن بي، فهيأنني وصنعنني، ثم أتين بي رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فبنى بي وأنا ابنة تسع سنين.

14

مسند الشافعي

من الجزء الثاني من اختلاف الحديث من الأصل العتيق

أخبرنا سفيان عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة رضى الله تعالى عنها قالت

تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا بنت سبع وبنى بي وأنا بنت تسع وكنت ألعب بالبنات وكن جواري يأتينني فإذا رأين رسول الله تقمعن منه وكان النبي صلى الله عليه وسلم يسر بهن إلي

15

سنن النسائي

كتاب النكاح

انكاح الرجل ابنته الصغيرة.

أخبرنا إسحاق بن إبراهيم قال أنبأنا أبو معاوية قال حدثنا هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوجها وهي بنت ست وبنى بها وهي بنت تسع.

16

أخبرنا محمد بن النضر بن مساور قال حدثنا جعفر بن سليمان عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة قالت:
تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم لسبع سنين ودخل علي لتسع سنين.

17

البناء في شوال

أخبرنا اسحق بن إبراهيم قال أنبأنا وكيع قال حدثنا سفيان عن إسماعيل بن أمية عن عبد الله بن عروة عن أبيه عن عائشة قالت:
تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم في شوال وأدخلت عليه في شوال فأي نسائه كان أحظى عنده مني.

18

البناء بابنة تسع

أخبرنا محمد بن آدم عن عبدة عن هشام عن أبيه عن عائشة قالت:
تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا بنت ست ودخل علي وأنا بنت تسع سنين وكنت ألعب بالبنات.

19

سنن الدرامي

من كتاب النكاح

باب بناء الرجل بأهله في شوال

Hadis No. 2211

أخبرنا عبيد الله بن موسى عن سفيان عن إسماعيل بن أمية عن عبد الله بن عروة عن عروة عن عائشة قالت تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم في شوال وأدخلت عليه في شوال فأي نسائه كان أحظى عنده مني قالت وكانت تستحب ان يدخل على النساء في شوال باب

20

سنن البيهقي

كتاب النكاح

باب ما جاء في إنكاح الآباء الأبكار

Hadis No. 13435

أخبرنا أبو عبد الله الحافظ حدثني الحسين بن علي بن محمد بن يحيى الدارمي حدثني أبو بكر محمد بن إسحاق ثنا أبو كريب ثنا أبو أسامة عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة رضى الله تعالى عنها قالت

تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم لست سنين وبنى بي وأنا ابنة تسع سنين

21

Hadis No. 13436

وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ وأبو سعيد بن أبي عمرو قالا ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا أحمد بن عبد الجبار ثنا يونس بن بكير عن هشام بن عروة عن أبيه قال

تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم عائشة رضى الله تعالى عنها بعد موت خديجة بثلاث سنين وعائشة يومئذ ابنة ست سنين وبنى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي ابنة تسع سنين ومات رسول الله صلى الله عليه وسلم وعائشة ابنة ثمان عشرة سنة

Keterangan:

* Kumpulan hadis dalam lampiran ini hanya sebagai pelengkap dari tulisan. Jika dianggap perlu bisa ditampilkan.
* Nomor hadis diambil dari software muslim explorer dari ekabakti.com.

[1] Penulis adalah alumni Program SQH Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Staf pengajar di STIS Magelang dan Ma’had ‘Ali Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta.

[2] Perkawinan anak (child marriage) berbeda dengan pernikahan dini, di mana pernikahan dini adalah menikah pada usia muda seperti usia 19 tahun atau 20 tahunan yang secara legal memang sudah dapat menikah namun masih belia dan belum dapat mandiri secara ekonomi. Sedangkan perkawinan anak child marriage meliputi 2 macam, yaitu perkawinan antar anak–anak dan perkawinan antara anak perempuan dan laki-laki dewasa atau sebaliknya. Lihat WLUML, Mengenali Hak Kita: Perempuan, Keluarga, Hukum dan Adat di Dunia Islam, terj. Suzanna Eddoyo (Jakarta: SCN CREST dan LKiS, 2007), 111.

3 Syam al-Din Muhammad Ibn Usman al-Zahabi, Siyar al-A’la>m al-Nubala>’ (Beirut: Mu’assisah al-Risa>lah, 1990), 135.

[4] ‘Aisyah juga disebut sebagai ash-Shiddi>qah binti ash-Shiddi>q (gadis jujur, putri seorang yang jujur). Lihat Syiha>b al-Di>n Ibn H{ajar Al\-‘Asqala>ni>, Fathul Ba>ri (Al-Qa>hirah: Mat}ba’ah Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, 1959), 106-107.

5 ‘Izz al-Di>n Ibn al-Asir al-Jazari, Usud al-G{a>bah fi Ma’rifat al-S{ah}a>bah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), 191.

6 Syiha>b al-Di>n Ibn H{ajar Al\-‘Asqala>ni>, Tahz\i>b al-Tahz\ir al-Kutub al-Ilmiyah, 1984), 125.

7 Bani Makhzum dan suku Taim dikenal sebagai kelompok atau suku yang teguh mempertahankan kemurnian bangsa Arab, khususnya kefasihan dan keteguhannya dalam ajaran Islam. Lihat Syiha>b al-Di>n Ibn H{ajar Al\-‘Asqala>ni>, Al-Is}a>bah fi Tamyibah (Beirut: Mu’assisah al-Risa>lah, 1972), 309.

8 Muhammad Ibn Saad, T{abaqa>t al-Kubra>, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 47.

[9] Bintusy Syathi’, Istri-istri Rasulullah SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 63-69.

[10] Beberapa hadis menyebutkan bahwa ‘Aisyah sangat antusias mencari ilmu, selalu bertanya atas apa yang belum dipahaminya, dan cepat sekali menyerap jawaban-jawaban yang diberikan. Lihat dalam Muh}ammad Ibn Isma>il Ibn Ibrahi>m al-Ja’fi> Al-Bukha>ri>, S{ahi>ri (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), 8, 44, 123, 144, 176, 187, 207, dan 229. Lihat pula dalam Muslim Ibn H{ajja>j al-Qusyairi> Al-Niri>, S{ahi> dalam al-Mana>qib fi> bab fad}{l ‘Aisyah R.A. semua rawinya siqah. Lihat Abu> ‘Ali> Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn ‘Abd al-Rah}im> al-Maba>r Kafu>ri>, Tuh}fat al-Ahwa>z\i> bi Syarh} Ja>mi’ al-Tirmiz\i> (Madinah: al-Maktabah al-Salafiyah, 1963), 378.

[15] Muh}ammad Ibn Isma>il Ibn Ibrahi>m al-Ja’fi> Al-Bukha>ri>, S{ahi>ri (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), 224. Lihat pula Muslim Ibn H{ajja>j al-Qusyairi> Al-Niri>, S{ahi>b al-Di>n Ibn H{ajar Al\-‘Asqala>ni>, Tehzi>bu al-Tehzi>b (t.t.p.: Da>r Ihya al-Tura>th al-Isla>mi, t.t.), 50.

[18] Husein al-Zahabi, Miza>n al-I`tida>l (Pakistan: Al-Maktabah al-Athriyyah, Sheikhupura, t.t.), 301.

[19] Ah}mad ibn Muh}ammad Ibn H{anbal Al-Syaiba>ni>, Musnad Ah}mad Ibn H{anbal (Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), 210.

[20] Al-Tabari, Tarikh al Umam wa al-Mamlu>k, Vol. 4 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979), 50.

[21] Syiha>b al-Di>n Ibn H{ajar Al\-‘Asqala>ni>, Taqribu al-Tahzib, Bab fi al-Nisa>’, al-Harfu al-Alif, (t.t.p.: Da>r Ihya al-Tura>th al-Isla>mi, t.t.), 654

[22] Al-Zahabi, Siyar al-A`la>m al-Nubala’, Vol. 2, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1992), 289.

[23] Ibn Kathir, Al-Bida>yah wa al-Niha>yah, Vol. 8, (Al-Jizah: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, 1933), 372.

[24] Ibid., 371.

[25] Syiha>b al-Di>n Ibn H{ajar Al\-‘Asqala>ni>, Al-Isabah fi Tamyi>z al-Sahabah, Vol. 4, (al-Riya>dh: Maktabah al-Riya>dh al-Haditha, 1978), 377.

[26] Lihat kitab Bab Karahiyat al-Isti`a>nah fi> al-Ghazwi Bikafir, dalam S{ahi>b, dalam S{ahi>ri.

[29] Lihat Kitab al-Tafsir, Bab Qaulihi Bal al-Sa>atu Maw`iduhum wa al-Sa>atu Adha’ wa Amarr , dalam S{ahi>ri.

[30] Q.S. Al-Nisa (4): 5-6.

[31] Ah}mad ibn Muh}ammad Ibn H{anbal Al-Syaiba>ni>, Musnad Ah}mad Ibn H{anbal (Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), 33 dan 99.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here