Tradisi tahlilan dilaksanakan sebagai peringatan setelah ada orang yang meninggal masih kental dilaksanakan dalam masyarakat Jawa khususnya di Gunungkidul. Kondisi geografis yang khas tidak menyurutkan kayakinan pentingnya menjaga kemesraan dengan sesama. Dalam kondisi apapun masyarakat Jawa, dalam hal ini masyarakat Gunungkidul, sebagaimana karakteristiknya merupakan individu yang komponen utama kepribadiannya adalah bersifat sosial, berbagi dan memberikan apa yang mereka miliki kepada sesama, meski kondisi ekonomi bisa dibilang tidak berlebih.
Tahlilan ini sekaligus merupakan ciri khas amaliyah Nahdliyah yang diajarkan oleh para ulama sejak awal penyebaran Islam di tanah Jawa. Karakter masyarakat Jawa yang berbudii sebagaimana yang diajarkan oleh para leluhur diantaranya adalah sikap “nrima” yang membuat tahan saat menderita, kematangan berpikir dan kebijaksanaan membuat disegani, sikap dermawan membuat kaya, meski tanpa harta. Sebagaimana sebuah syair Sujiwo Tejo :
Sugih tanpo bondo
Digdoyo tanpo aji
Trima mawi pasrah
Sepi pamrih tebih ajrih
Kira kira demikianlah karakteristik ideal yang dikehendaki di sebagian besar masyarakat Jawa.
Tradisi Jawa/kejawen memang masih sangat dipegang teguh oleh masyarakat Gunungkidul. Tahlilan merupakan amaliyah yang sekaligus membawa dampak sosial dengan kesan batin yang terasa guyup rukun, toleransi, kebersamaan, sekaligus silaturahim menghibur keluarga yang ditinggalkan dengan ikut serta melantunkan do’a. Kondisi sosiologis seperti ini tidak terlepas dari karakteristik masyarakat Jawa yang diutarakan Niels Mulder dalam bukunya “Mistisme Jawa Ideologi di Indonesia“, Jawa adalah kelompok etnik terbesar di Asia Tenggara. Tradisi Jawa adalah tradisi yang amat kaya dan dihimpun dari kesusastraan paling kurang selama seribu tahun mulai dari sumber sumber kuno Sansekerta, hingga kisah, babad, dan legenda kuno. Suku Jawa merupakan Suku yang memiliki berbagai kebudayaan mulai dari adat istiadat kesenian, acara ritual, dan lain sebagainya. Masyarakat Jawa adalah makhluk yang definisi kepribadiannya selalu bersifat sosial dan spiritual.
Keyakinan menjaga adat dan tradisi terutama tahlilan ini terasa begitu luar biasa, sebagaimana yang di pegang teguh oleh mbah partilah, seorang petani kecil di pelosok saptosari, Gunungkidul. Meski beliau mengaku bukan ahli agama, tetapi nilai nilai kemanusiaan, kebersamaan, kasih sayang sesama, mengakar kuat dalam dadanya. Patut kita teladani.
Mbah partilah, merasa lega karena telah selesai melaksanakan seribu hari meninggalnya sang kakak. Rangkaian peringatan kematian sebagaimana tradisi yang mengakar, ia yakini sebagai ajaran turun temurun dari generasi sebelumnya saat orang meninggal yakni peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendak pisan, mendak pindo, dan nyewu, yang dilakukan sebagaimana ciri khas Amaliyah Nahdliyah yaitu tahlilan. Beberapa kalangan menilai bahwa acara seperti ini memberatkan, baik secara finansial maupun psikologis, mengingat keluarga yang ditinggalkan sudah dalam keadaan kehilangan. Nyatanya mbah Partilah justru bangga, dan ajaibnya rizkinya ada, cukup, bahkan terasa berkesan.
Secara matematis peringatan peringatan tersebut barangkali membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi mbah Partilah dengan segala keterbatasan ekonominya justru merasa bangga, bahkan tidak ada rasa berat, sulit, ataupun susah. Beliau mengatakan bahwa shodaqoh tidak perlu menunggu keluasan rizki, batapapun dan berapapun saat niat sudah bulat, makan Allah yang akan menunjukkan jalan. ” Gusti Allah iku sugih” Ungkapnya. Masyaallah, sikap seperti ini justru adalah sikap yang mencerminkan spiritualisme islam, yakni shodaqoh dalam keadaan terbatas, menjadikan pahala yang mengalir dan dijamin oleh Allah akan menganak sungai. Begitulah, keyakinan yang kuat selalu saja akan mengalahkan seribu fakta yang penuh alasan.
Ditengah perkembangan pemikiran yang beragam dewasa ini, tak jarang upacara ritual keagamaan seperti tahlilan ini menuai kritik pedas, bid’ah, sesat, khurafat, dan alasan alasan memberatkan, dan sejenisnya. Namun terlepas dari itu semua, masyarakat muslim Gunungkidul patut memegang teguh tradisi tahlilan sebagai peringatan yang sangat penting di lakukan dalam salah satu siklus kehidupan, yaitu kematian. Ritual-ritual peringatan dengan bacaan tahlil ini mereka anggap penting sebagai simbol pengabdian, kesyukuran, serta kepatuhan sebagai bentuk lain dari permohonan agar kehidupan mereka selamat, penuh keberkahan dan diridhoi oleh Allah SWT. Beberapa ritual penting yang dianggap sebagai siklus kehidupan manusia, menurut masyarakat Jawa diantaranya adalah : kehamilan, kelahiran, pernikahan, dan kematian. Tidak bisa dipungkiri bahwa semua ritual ini merupakan bentuk penghayatan keagamaan dan wujud syukur kepada Allah SWT.
Islam memang mengajarkan kita untuk membangun harmoni terhadap sesama. Ibadah, sejatinya adalah menjalin kemesraan dengan Allah SWT (hablun minallah), menjaga keharmonisan dengan manusia (hablun minannas), serta menjaga keseimbangan hidup bersama alam.
Simbol kecintaan, penghormatan, serta pengabdian yang tulus terhadap orang yang sudah meninggal, dengan mengikrarkan bahwa pahala bacaan tahlil sekaligus shodaqoh yang dilakukan oleh Allah disampaikan pahalanya kepada sanak saudara yang telah meninggal. Beruntungnya orang orang yang memiliki keluarga, sanak saudara yang masih berkenan mendoakan, meski orang tersebut telah tiada.
Dan benar saja, Allah berikan rizki yang menurut penuturan mbah Partilah bentuknya beraneka ragam, selalu saja ia rasakan, meski tanpa kepemilikan harta. Karena rezeki tidak melulu tentang harta dunia. Anak anak yang sholeh, keluarga yang harmonis, kesehatan, ketentraman hidup, kebahagiaan jiwa, adalah rezeki yang tidak ternilai. Mau apa lagi, kebahagiaan dunia dengan dikaruniai anak yang sholeh, berbakti, sudah ditangannya, dan kebahagiaan akhirat sudah jelas tergambar dari sifat tawadhu’, qona’ah, nrimo ing pandum, serta welas asih yang tersirat dalam senyum polosnya.
Dari sosok beliau, kita dapat memetik hikmah bahwa kaya, tidak melulu tentang kepemilikan harta. Karena sejatinya kaya adalah ketika kita mampu memberikan sesuatu untuk orang lain bahkan saat dalam kondisi seadanya. Kaya terletak pada kebesaran jiwa dan kemewahan hati berwujud ikhlas.
Sungguh nilai yang patut kita teladani.
(nurlaily f.)
Mantab Mbk Laily