Oleh : Nur Maulida

Syekh Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama Islam Nusantara abad-19 yang cukup masyhur di Indonesia karena paradigma pemikirannya sangat berpengaruh dalam mewujudkan nilai-nilai Islam moderat di Indonesia. Sepanjang hidupnya Imam Nawawi dikenal luas sebagai ulama yang sangat produktif dan telah mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari dan mendalami berbagai disiplin keilmuan Islam yang mendukung pemahamannya secara mendalam tentang Islam.

Perjalanan ilmiahnya untuk mempelajari Islam ke beberapa negara timur tengah di abad ke-19 mengantarkan Syekh Nawawi menjadi ulama multidisipliner nusantara yang mengkompilasi antara timur tengah dan Indonesia. Bahkan, keberadaan Syekh Nawawi di timur tengah dan Indonesia cukup mempengaruhi paradigma keilmuan tentang Islam

Syekh Nawawi menimba ilmu di timur tengah ketika semangat pembaharuan Islam bergema di kawasan Timur Tengah, terutama Mesir. Beliau hidup sezaman dengan gerakan Pan-Islamisme, Jamaluddin al-Afghani (lahir 1839 M) dan Muhammad Abduh (1849 M), di mana gelombang ajaran purifikasi (pemurnian ajaran-ajaran Islam) telah berkembang dengan pesat.

Walaupun Syekh Nawawi hidup di zaman semangat pembaharuan, namun Ia hadir sebagai sosok yang berwawasan jauh ke depan tanpa melemahkan tradisi yang ada di Indonesia. Syekh Nawawi dikenal sebagai ulama moderat, toleran dan sangat bijak dalam menyikapi suatu permasalahan umat pada masanya. Nilai-nilai moderat pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dapat ditelusuri dalam beberapa kitab yang telah ditulisnya dan fatwa yang disampaikannya.

Sebagai penganut teologi Asy’ari, Syekh Nawawi menempatkan dirinya berada di tengah-tengah dua aliran ekstrim yaitu al-Jabariyah dan al-Qodariyah. Ia  mengakui kekuasaan Allah, tetapi menurutnya tidak semua perbuatan manusia disandarkan kepada kekuasaan Allah sehingga manusia tidak memiliki kuasa apa pun atas dirinya. Mengenai ini Syekh Nawawi telah berhasil menyegarkan kembali ajaran teologi yang cenderung berkonsep pasrah (jabariyyah) secara berlebihan menjadi konsep ikhtiyar yakni adanya kekuatan manusia dalam menemukan jalan hidup masing-masing (qodariyyah).

Dalam  kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, Syekh Nawawi bagaikan sosok al-Ghazali yang telah lahir kembali di abad-19 dalam konteks keindonesiaan. Ia pandai dalam mencairkan kebekuan egosentris antara fikih dan tasawuf. Praktik tasawufnya Syekh Nawawi ini banyak memperkenalkan keterkaitan antara praktik tarekat, syari’ah dan hakikat. Ia menyampaikan bahwa ia tidak menolak praktik-praktik tarekat selama tidak bertentangan dengan syari’ah dan berlandaskan pada al-Qur’an dan sunah nabi.

Pandangan tasawuf inilah yang membedakan Syekh Nawawi dengan tokoh-tokoh ulama lainnya yang banyak memperkenalkan tasawuf Ibnu ‘Arabi, Ia banyak memperkenalkan tasawuf moderat antara hakikat dan syari’at. Hal itu telah dilakukan sebelumnya oleh al-Ghazali, sehingga dapat dikatakan bahwa corak pemikiran tasawuf Syekh Nawawi berorientasi kepada tasawuf al-Ghazali, yaitu menyeimbangkan antara syariat, tarekat dan hakikat.

Dalam bidang fikih, nilai-nilai moderat Syekh Nawawi terlihat ketika dimintai fatwanya oleh Sayyid Usman yang bertujuan untuk mencari dukungan dari Syekh Nawawi dalam mengecam praktik tarekat yang dinilai oleh Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888.

Pada beberapa kesempatan yang terekam dalam manuskrip Muhammad Nawawi al-Jawi,  Suluk al-Jaddah fi al-Risalah al-Musammatu lamah al-Mafahah fi Bayan al-Ju’ah wa al-Mu’adah Ia  menyampaikan: “berhati-hatilah menghindari perbedaan pendapat”. Pernyataan beliau tersebut  menggambarkan pribadi Syekh Nawawi yang moderat dengan bersikap netral dan bijak menyikapi suatu permasalahan serta cenderung tidak berat sebelah yang dapat menimbulkan konflik dan perselisihan di masyarakat.

Salah satu fatwa dari  Syekh Nawawi  adalah mengenai salat jum’at. Ketika ada pertanyaan mengenai kebolehan shalat jumát diselenggarakan oleh jama’ah kurang dari empat puluh orang. Ia menjawab: “Kalau mereka semua bertaklid atau mengikuti pendapat yang  mengatakan sah salat jumat yang diselenggarakan oleh jamaah kurang dari empat puluh orang seperti dua belas orang atau empat orang, maka hendaknya mereka salat Jumat dengan jumlah tersebut (kurang dari empat puluh) dan mengulangi dengan salat zuhur setelah salat Jumat”.

Syekh Nawawi al-Bantani juga menyadur hadis Nabi SAW: “Perbedaan umatku adalah rahmat”, dan ia juga menukil pendapat Ibn Hajar: Perbedaan umatku adalah rahmat dalam kebaikan, kalian harus meyakini bahwa perbedaan imam Ahlussunah wal Jamaáh dalam furu’ (cabang) adalah nikmat besar dan rahmat yang luas dan di dalamnya terdapat rahasia yang lembut yang bisa ditemukan oleh orang álim, dan tidak bisa ditemukan atau dirasakan oleh orang yang ingkar dan lalai.

Dengan nalar moderatnya tersebut syekh Nawawi merupakah tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat terhadap terbentuknya Islam yang bercorak nusantara. Banyak ulama Indonesia pada abad 19 dan abad 20 yang menuntut ilmu kepada Syekh Nawawi dan cukup terpengaruh dengan pemikirannya baik karena berguru secara langsung maupun melalui pembacaan terhadap karya-karyanya. Ia juga turut membentuk intelektualitas para pendiri pesantren yang di antaranya juga menjadi pendiri organisasi Islam yang sangat besar kiprah dan kontribusinya di Indonesia dalam menjaga budaya, tradisi serta negara Indonesia sebagai negara NKRI.

Diantara ulama-ulama tersebut adalah Syekh Cholil Bangkalan, Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, K. H. Raden Asnawi, K. H. Hasyim Asyari pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, Syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri, Syekh Tubagus Muhammad Asnawi al-Bantani, K. H. Ahmad Dahlan pendiri organinsasi Muhammadiyah dan masih banyak lagi para kiai yang berpengaruh besar di negeri ini pernah berguru dengan Syekh Nawawi al-Bantani.

Warisan pemikiran moderat Syekh Nawawi al-Bantani hingga kini masih dirasakan di Indonesia, yaitu  terwujudnya Islam yang memiliki ciri khas Islam Indonesia yang terkenal dengan sebutan Islam Nusantara. Islam yang masih memelihara tradisi dan budaya bangsa Indonesia dalam bingkai NKRI. Keagungan lainnya dari sosok Syekh Nawawi al-Bantani adalah masih dipelajarinya karya-karya beliau dalam berbagai disiplin keilmuan Islam di beberapa pesantren, sehingga keilmuan Syekh Nawawi dan pemikiran moderatnya hingga kini masih sangat mempengaruhi paradigma pemikiran pesantren-pesantren di Indonesia yang melahirkan santri-santri kritis dengan pemikiran yang moderat.

 

Sumber Tulisan :

  1. Sriwayuti, Al Dakhil dalam tafsir Al Munir li Ma’alim al Tanzil karya Syekh Nawawi al Bantani, Tesis UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017
  2. Peris, Hak dan kewajiban istri dalam rumah tangga menurut kitab marah labid karya Nawawi al Bantani, Tesis uin Malang, 2011
  3. Ridwan Hidayatulloh, dkk, Konsep Tasawuf Syekh Nawawi Al-Bantani Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam Di Persekolahan, jurnal Tarwaby,vol.2, no. 1, 2015
  4. Amirul Ulum, Penghulu Ulama di Negeri Hijaz: Biografi Syekh Nawawi al-Bantani, Yogyakarta: Pustaka Ulama, 2015

 

 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here