Oleh: Ustadzah Uqbah Fahira
Secara bahasa salat berarti doa. Pengertian ini bisa dilacak dari sejumlah kata dari Al-Quran atau hadis. Dan memang salat berisi doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Sedangkan secara istilah, salat adalah beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan. Salat diwajibkan hanya kepada orang Islam yang memang telah memenuhi syarat, seperti berakal, telah mencapai usia balig. Selain itu Salat memiliki rahasia yang penting kita ketahui.
Salat menempati posisi sangat penting dalam Islam. Ia menjadi pilar Islam kedua dan menjadi pembeda antara mereka yang beriman dan tidak. Meninggalkan salat mendapatkan ancaman yang keras. Salat juga disebut sebagai amal pertama manusia yang akan diperhitungkan oleh Allah di akhirat kelak.
Salat diwajibkan 5 kali dalam sehari semalam dalam waktu yang telah ditentukan, yaitu Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh. Di samping salat lima waktu sehari-hari, terdapat salat-salat yang lain yang dilakukan pada waktu dan kesempatan tertentu dan dimaksudkan sebagai pelengkap yang disebut salat rawatib. Terdapat pula salat-salat untuk memenuhi sejumlah kebutuhan yang besar, untuk meminta pertolongan Allah.
Salat bukan sekadar ritual melainkan juga komitmen besar bagi pribadi dan masyarakat Muslim pada ketertiban, ketepatan waktu, perubahan dan kesatuan. Selain itu salat ia juga memiliki pelajaran-pelajaran yang berharga bagi kita mengenai bagaimana kita harus bersikap dalam kehidupan kita sehari-hari. Nah, pembahasan kita akan berfokus pada bagian terakhir ini, untuk melihat apa urgensi salat dalam kehidupan kita.
Ada banyak ayat dalam al-Quran dan juga hadis Nabi saw. yang menjelaskan fungsi dan tujuan salat, di antaranya adalah:
Pertama, salat sebagai perjalanan ruhani. Pemaknaan batin semacam ini biasanya dikaitkan dengan dunia tasawuf. Dalam kajian tasawuf, secara umum ada dua makna sufistik salat. Pertama, salat itu adalah mi’raj artinya mendaki, taraqqi menuju Allah. Setiap kali kita salat hakikatnya kita sedang mendaki menemui Allah. Orang yang mampu melaksanakan salat dengan kesadaran demikian berarti telah melaksanakan salat tidak saja secara lahiriah tapi juga secara batin. Salat semacam inilah yang perlu kita latih sehingga salat akan menimbulkan perubahan yang ada dalam dirinya. Ketika hendak menemui kekasih atau orang yang kita anggap penting saja kita akan mengalami perubahan sikap, berdandan serapi mungkin, bersikap sebaik mungkin, dan sebagainya. Begitu juga yang terjadi ketika kita menyadari bahwa dalam salat kita sedang menghadap atau menemui zat yang Mahapenting. Zat yang kepada-Nya kita bisa mengadukan apa saja, meminta apa saja, mengeluhkan apa saja.
Konon, banyak sufi yang badannya sudah pucat ketika hendak berwudu. Karena mereka menyadari bahwa sebentar lagi mereka akan menghadap Zat yang Maha Mengetahui, Mahakuasa. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari-Nya. Semua aib kita, kesalahan kita yang kita sembunyikan dari orang lain diketahui oleh Allah. Makanya, mereka merasa malu ketika menghadap Allah.
Mengapa kita rajin salat tapi juga masih rajin dengan perbuatan yang negatif? Salah satu jawabannya adalah karena cara salat kita. Mungkin karena salat kita baru sebatas gerakan-gerakan badan, dan tidak ada keterkaitan hati dengan Allah.
Kedua, salat menjadi kekuatan spiritual. Salat juga dikatakan mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar, inna salata tanha ‘anil fakhsya’ wal munkar (QS. Al-Ankabut [29]: 45).
Fakhsya artinya semua perkataan dan perbuatan yang mengotori kehormatan dan kesucian diri, sementara yang mungkar adalah apa saja yang ditolak oleh syariat. Salat yang bagaimana yang bisa berfungsi semacam itu? Allah menjelaskan bahwa salat yang memiliki kekuatan semacam itu adalah salat khusyuk, yakni salat yang konsisten dan dilakukan dengan sungguh-sungguh, salat yang dihayati. Salat yang dilakukan secara konsisten dan berdisiplin akan selalu memelihara “kesadaran akan Tuhan” dalam diri kita. Yakni, perasaan bahwa kita terus-menerus berada dalam pengawasan Allah Swt., sehingga kita akan selalu terkendali dan terkontrol.
Ketiga, salat adalah sumber petunjuk. Rasulullah bersabda, “Salat adalah sumber cahaya.” Barang siapa yang memeliharanya, ia akan mendapatkan cahaya dan petunjuk. Dan barang siapa yang tidak memeliharanya, maka tiada cahaya atau petunjuk baginya.
Keempat, salat adalah sarana kita meminta pertolongan dari Allah Swt.”Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan salat. Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.’”” (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Kelima, salat adalah pelipur jiwa. Allah Swt. berfirman, “… dirikanlah salat untuk mengingat-Ku” (QS Thaha [20]: 13-14). “Dan bukankah dengan mengingat-Ku, hati menjadi tenteram?” (QS Al-Ra‘d [13]: 28). Diriwayatkan bahwa setiap kali Rasul mengalami kesedihan atau kegundahan, beliau akan memerintahkan kepada Bilal, “Senangkan kami, wahai Bilal.” Maksud beliau, hendaklah Bilal mengumandangkan iqamah agar Rasul dan para sahabatnya dapat melakukan salat setelah itu. Pada kesempatan lain, beliau menyatakan, “Dijadikan bagiku salat sebagai penyejuk-jiwaku
Keenam, sumber kreativitas. Salat yang diselenggarakan dengan memelihara thumakninah merupakan latihan sekaligus sarana untuk menaikkan tingkatan jiwa kita sehingga mencapai derajat “jiwa yang tenang” itu. Dan jika derajat itu bisa dicapai, niscaya seseorang dapat mengalami keadaan pulang kembali kepada Allah, bahkan sebelum ia mengalami kematian. Dengan kata lain, thuma’ninah benar-benar menjadikan salat sebagai mi‘raj, sebagai wahana pertemuan hamba dengan Tuhannya.
Ketujuh, berdasar penemuan-penemuan mutakhir yang menyatakan bahwa kesehatan tubuh dan penyakit sebenarnya berasal dari penyakit jiwa, dan bahwa banyak penyakit tubuh sesungguhnya dapat disembuhkan melalui ketenangan jiwa, maka salat dapat dilihat sebagai sarana kesehatan tubuh juga. Dan, sehubungan dengan ini, telah banyak dilakukan penelitian untuk melihat manfaat mengerjakan salat secara teratur bagi kesehatan tubuh.
Dari keenam tujuan salat tersebut salat memiliki potensi yang besar dalam mengubah manusia sebagai pribadi dan masyarakat. Salat adalah penghubung antara hamba dan Tuhannya. Sebagai penghubung tentu tidak cukup hanya berupa gerakan dan bacaan yang tidak disertai kehadiran hati dan keterlibatan ruh. Karena itu, Allah menyebut orang yang mau melaksanakan salat sebagai orang yang beruntung. Apakah semua orang yang melakukan salat? Tidak, Allah menyebut mereka yang beruntung adalah yang dalam melaksanakan salat, mereka khusyu’. “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2).
Tetapi untuk bisa melaksanakan shata dengan khusyuk bukan hal mudah. Tidak semua orang bisa menghahdirkan hati saat salat. Yang ada, justru ketika salat segala permsalahan dan ingatan bermunculan. Sesuatu yang tidak terpikirkan di luar salat tiba-tiba hadir dalam salat dan membuat orang tidak bisa fokus. Sampai-sampai sering terdengar ungkapan, “kalau kamu mencari sesuatu dan tidak menemukannya, maka salatlah.”
Salat disediakan oleh Allah sebagai sarana komunikasi juga sebagai taman yang dengannya manusia dapat menemukan kedamaian batin dan ketenangan jiwa. Dengan salat manusia diharapkan dapat melarikan kegundahan. Sebab di dalam salat seseorang sedang menghadap Tuhannya. Tuhan yang menciptakan segala yang ada di bumi. Tuhan yang menguasai alam, pemberi rezeki, pemberi solusi atas segala hal. Di dalam salat seseorang dapat mengadukan segala persoalan yang dihadapi, memohon jalan keluar atas semua kebuntuan yang dihadapi. Tidak yang dapat diandalalkan untuk melakukan semua itu kecuali Allah. Allah menyifati dirinya sebagai Yang Maha pengasih, Maha penyayang, Mahakaya, Maha kuasa, dan Maha-Maha yang lain.
Karena itulah Allah menyebut salat sebagai solusi. Dalam surat al-Baqarah [2]: 45 Allah berfirman, Kata kunci yang dapat kita temukan dari ayat di atas kesabaran dan salat yang khusyuk. Melalui keduanya, permasalahan dapat dicarika jalan keluar.
Salat adalah mengingat Allah, ritual yang dapat membuat seseorang terdorong melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya serta mengantar seseorang bersikap tabah menerima cobaan dan tugas berat. Dalam sebuah ayat dinyatakan bahwa “dengan ingat kepada Allah hati menjadi tenang.” Salat diharapkan dapat menciptakan ketenangan dalam diri seseorang. Ketika ditimpa masalah seseorang memerlukan ketenangan diri untuk mencari jalan keluar atas masalahnya. Bersikap reaktif, grusa-grusu dapat menambah masalah. Salat juga melatih kita untuk bersabar. Karena itulah, kedua hal tersebut yakni sabar dan salat dapat menjadi solusi atas masalah yang terjadi.
Dalam penafsirannya atas ayat 45 surat al-Baqarah tersebut M. Quraish Shihab juga menyinggung soal khusyu’, yang juga disebut di akhir ayat, sebagai poin penting yang perlu diperhatikan untuk memahami makna ayat tersebut. Khusyu’ adalah ketenangan hati dan keengganan seseorang kepada kedurhakaan. Orang yang khusyu’ adalah mereka yang bisa menekan kehendak nafsunya dan membiasakan dirinya merasa tenang dan berlapang dada menerima segala ketentuan Allah kepada dirinya. Menurutnya, khusyu’ tidak dibatasi hanya dalam urusan salat tapi juga menyangkut segala aktivitas manusia. Artinya, dalam menghadapi sesuatu dibutuhkan kekhusyukan dalam diri seseorang. Dalam hal ini kekhusyukan itu barangkali bisa dipahami sebagai totalitas. Totalitas yang dicurahkan dalam menjalankan sesuatu dapat menghasilkan sesuatu yang baik. Begitu juga dalam menghadapi masalah, sabar menjadi cara menemukan solusi.
Salat karenanya membutuhkan kesabaran, termasuk dalam pelaksanaanya agar mencapai kesempurnaan. Dalam fikih kita dikenalkan dengan konsep thumakninah, bersikap tenang dalam salat. Konsep itu mengajarkan kepada kita untuk tidak terburu-buru dalam tiap gerakan salat. Ketika beridiri, rukuk, i’tidal, sujud, duduk, kita diminta agar tenang dan memenuhi semua gerakannya dengan baik. Thumakninah juga melatih kita untuk menghayati setiap bacaan yang dibaca dalam tiap gerakan salat. Setiap gerakan mulai dari takbiratul ihram hingga salam, adalah perwujudan dari penghambaan. Bacaan-bacaan itu adalah bentuk komunikasi dan dialog kita dengan Tuhan. Di sana kita berbicara, mengadu, dan meminta kepada Allah.
Oleh karena itu, Imam Ghazali dalam kitabnya, Kitab al-Arbain fi Ushul ad-Din, menjelaskan agar ketika salat, kita menghadirkan segenap diri dan kesadaran kita. Gerakan-gerakan badan dijaga dengan baik dan dipenuhi semua haknya, baik ketika berdiri, takbir, rujuk, sujud, atau duduk. Kita sempurnakan semuanya. Paling penting adalah menghadirkan hati. “Jangan sujud atau rukuk kecuali hatimu juga khusyuk dan tunduk sebagaimana gerakan tubuhmu,” tulis al-Ghazali.
Memahami bacaan-bacaan dalam salat penting untuk menciptakan kekhusyukan. Al-Ghazali memberikan contoh, misalnya, “Jangan mengucapkan ‘Allahu Akbar’ (Allah Mahabesar) sementara di hatimu masih ada yang lebih besar dari Allah, jangan mengucap “inni wajjahtu wajhia” (Aku hadapkan wajahku) kecuali hatimu benar-benar menghadap sepenuhnya kepada Allah dan mengabaikan hal-hal lain di luar Allah. Penghayatan semacam itu akan menjadikan salat kita sebagai cahaya. Salat yang dalam ayat lain disebut dapat “mencegah kejahatan dan kemungkaran.”