Oleh Edi Purnawan*
Adanya perubahan terhadap batas usia pernikahan ini dilandasi oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yakni batas usianya menjadi 19 tahun baik perempuan maupun laki-laki. Dalam putusannya, MK menganggap bahwa batas minimal menikah perempuan itu sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, tidak memberikan rasa adil kepada perempuan dan anak. Selain itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perempuan dan anak mengajukan kritikan terkait batas usia minimal perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Mereka berpendapat bahwa batas usia perkawinan sebelumnya tidak sesuai dengan UU Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Dengan demikian perubahan batas usia pernikahan yang diatur dalam UU No. 16 Tahun 2019 telah membawa perubahan ke arah yang lebih baik terhadap perkembangan dan kemajuan dalam bidang hukum yang mengakomodir hak-hak dan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak yang diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Islam pun mengatur tentang batas usia perkawinan. Untuk melaksanakan pernikahan, pasangan kekasih harus memiliki standar kecakapan sebagaiman terkandung dalam QS. An-Nisa’ ayat 6 yaitu “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya, dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa…” Isi kandungan ayat di atas secara implisit, pernikahan dapat dilakukan ketika telah mencukupi usia pernikahan serta memiliki kecerdasan “Baligh” bagi laki-laki dan perempuan supaya dapat menjalankan keluarganya dengan baik dan bertanggungjawab. Tafsir ayat Al-Ahkam bahwa seseorang anak dikatakan sudah baligh apabila seorang laki-laki telah bermimpi basah dan keluar air mani (junub), sedangkan bagi wanita adalah sudah mengalami hamil atau haidh, maka kedua ciri tersebut merupakan batasan baligh bagi laki-laki dan wanita.
Tidak hanya itu, para imam fiqh pun berpandangan tentang ketentuan baligh bagi laki-laki dan perempuan dengan batasan yang berbeda. Imam Hanafi menyatakan tandanya baligh bagi seorang laki-laki dengan ditandai mimpi dan keluarnya mani, sedangkan perempuan ditandai dengan haidh, namun jika tida ada tanda-tanda tersebut maka dapat ditandai dengan batas usia, bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 17 tahun. Menurut Imam Malik, baligh itu ditandai dengan keluar mani secara mutlak dalam kondisi menghayal atau sedang tertidur, dan ditandai dengan tumbuhnya rambut-rambut di bagian tertentu. Kemudian menurut Hambali, baligh itu ditandai dengan dengam jima atau telah menginjak usia 15 tahun dan bagi perempuan ditandai dengan keluarnya darah haidh. Terakhir pandangan Imam Syafi’i sebagaimana ditulis oleh Syaikh Salim Sumair Al-Hadromi Al-Jawi dalam Kitab Safinatun Nazahnya, bahwa seseorang dikatakan baligh itu ketika telah sempurna umur 15 tahun bagi laki-laki, dan 9 tahun bagi perempuan, mimpi basah bagi laki-laki dan perempuan, dan haidh bagi perempuan yang telah menginjak usia 9 tahun. Baligh dalam usia menikah itu supaya pasangan yang akan melangsungkan pernikahan memiliki sikap dewasa dan dapat berfikir secara rasional.
Pengaturan tentang batas usia perkawinan dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan agama merupakan komitmen asasi dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak. Sejatinya, anak harus diberikan kebebasan di usia mudanya, karena banyak hal yang harus ditempuhnya, yakni seperti pendidikan yang layak untuk membentuk karakter dan kecerdasan anak, bimbingan, dan pengajaran dari orang tuanya. Menikah di bawah usia 19 tahun ini secara tidak langsung akan mengakibatkan dampak yang fatal bagi anak dan perempuan, seperti halnya terputusnya pendidikan yang kemudian akan memberikan kontribusi tinggi bagi kemiskinan, dan memiliki potensi terhadap kematian ibu saat melahirkan karena alat reproduksi perempuan belum mapan dan stabil layaknya orang dewasa. Pentingnya batas usia pernikahan ini, selaras dengan yang disampaikan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Tengah, bahwa Islam menjunjung tinggi anak untuk memperoleh hak-haknya serta orang tua harus tegas dalam melindungi anak.
Sejatinya pernikahan itu tidak seperti yang dibayangkan oleh anak muda hanya melaksanakan akad nikah dan walimah, melainkan ada proses panjang yang harus ditempuh setelah akad pernikahan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa tujuan dari “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di samping itu, tujuan perkawinan adalah untuk menghasilkan keturunan sebagai investasi untuk generasi masa yang akan datang. Islam pun memandang bahwa pernikahan merupakan suatu perbuatan yang luhur, sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rosulullah, dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, serta bertanggungjawab. Kemudian tujuan pernikahan sebagaimana firman Allah S.W.T yakni dalam QS. Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir ” Dengan demikian, tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga yang mawaddah warahmah sebagai nikmat yang diberikan oleh Allah S.W.T.
Hukum perkawinan di Indonesia dengan hukum Islam, pada dasarnya memiliki maksud dan tujuan yang sama dalam hal perkawinan. Salah satu tujuannya adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta keluarga yang sakinah mawaddah warhamah. Tujuan ini dapat dicapai melalui kematangan dalam rumah tangga, karena pada dasarnya kematangan merupakan hal yang sangat penting dalam rumah tangga. Kemudian, faktor-faktor kematangan dalam berumah tangga itu dapat diukur salah satunyanya dengan batas usia pernikahan, perekonomian, kedewasaan diri, dan lain sebagainya. Perekonomian dan kedewasaan diri berdasar pada batas usia dalam pernikahan itu sendiri. Saat ini batas usia pernikahan di Indonesia mengalami perubahan secara signifikan, hal tersebut sesuai dengan kebutuhan hukum bagi masyarakat, diantaranya dari psikologis anak, kualitas pendidikan, perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Pada dasarnya perubahan hukum merupakan dinamika politik atau tujuan hukum yang hendak dicapai oleh negara, karena perubahan merupakan suatu keniscayaan (sunnatullah) yang diakibatkan oleh perubahan sosial masyarakat. Dengan demikian, perubahan batas usia pernikahan bukan suatu kejumudan dalam kehidupan sosial, melainkan perwujudan dari hukum modern yang melindungi hak-hak bagi perempuan dan anak serta sesuai dengan prinsip-prinsip maqashid syari’ah.
Edi Purnawan, Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta