Oleh Yuyun Sri Wahyuni* 

 

Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya, dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku (HR. Tirmidzi)

Dalam tulisan sebelum ini, Ngaji Gender #1, kita memahami bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan memiliki fitrah berbeda satu dengan lainnya yang kemudian kita pahami dengan jenis kelamin, yakni perempuan dan laki-laki. Di dalam tulisan tersebut, juga telah kita pahami bahwa jenis kelamin berbeda dengan gender.

Anggapan-anggapan yang memahami kedua hal tersebut sebagai sesuatu yang sama, yakni sama-sama fitrah dan kodrat dari Allah SWT yang tidak dapat berubah, lebih sering terjadi sehingga kerap melahirkan berbagai bias pembeda antara laki-laki dan perempuan. Lalu muncul berbagai bentuk ketidakadilan sosial berbasis gender, terutama untuk perempuan.

Dalam salah satu buku babon kajian perempuan dan keadilan gender di Indonesia karya Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, disebutkan bahwa terdapat 5 macam bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan: marginalisasi (peminggiran), subordinasi (ketimpangan), stereotype (pelabelan), kekerasan, dan beban berlapis (double-tripple or (more?) burdens).

Meskipun saat ini kita melihat perempuan terlibat dalam kehidupan ranah publik, jika kita melihat realita kehidupan perempuan sehari-hari di Indonesia, kelima macam bentuk ketidakadilan gender tersebut masih terasa dalam berbagai lapisan dan kadar. Sehingga, agar kita benar-benar dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan egaliter, kita masih perlu mengkaji kembali apakah praktik agama, budaya, dan sosial kita sudah benar-benar sejalan dengan nilai Islam yang berkeadilan dan penuh rahmat, juga terhadap perempuan.

Dalam seri tulisan ini, kita akan mengkaji 5 macam bentuk ketidakadilan gender beserta contoh-contohnya dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

  1. Gender dan Marginalisasi Perempuan

Marginalisasi adalah peminggiran. Dalam tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan kita, perempuan sering kali mengalami berbagai macam bentuk peminggiran. Mansour Fakih menjelaskan bahwa salah satu contoh dari bentuk peminggiran perempuan adalah gerakan revolusi hijau.

Revolusi hijau merupakan salah satu penanda era modern dan globalisasi. Globalisasi yang kemudian dimistifikasi sebagai sebuah keniscayaan dan kemajuan di dunia global, menghasilkan kondisi timpang antara negara kaya-maju dan negara miskin berkembang (untuk pemahaman lebih lanjut, baca tulisan saya dalam bab VIII Mansur Fakih: Menyoal Globalisasi (Neoliberalisme) dalam Pembangunan dalam Seri Teori-Teori Sosial Indonesia).

Revolusi hijau sebagai salah satu aspek globalisasi bentuk awal hegemoni Barat atas negara miskin berkembang, kebijakan yang tidak pro petani melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan terhadap petani. Selain itu, masuknya peralatan modern mesin yang sebagian besar hanya dioperasikan oleh laki-laki telah meminggirkan petani-petani perempuan di berbagai tempat di Indonesia. Akibatnya, petani-petani perempuan perlahan kehilangan lahan, mata pencaharian, dan selanjutnya menjadi miskin dan terpinggirkan.

Selain revolusi hijau, contoh lain dari bentuk marginalisasi perempuan adalah pernikahan anak sebelum mereka mencapai usia 18 tahun (definisi PBB). Dalam usia yang seharusnya mereka bermain dan belajar, ketika memasuki institusi pernikahan yang sebagian besar dalam budaya kita relasi kuasa antara istri dan suami di dalamnya timpang, peran gender yang tidak fleksibel dan berbagai hal lainnya, lebih sering daripada tidak, anak-anak perempuan yang menikah tersebut tidak dapat melanjutkan aksesnya pada dunia sekolah kembali dan mereka berhenti belajar formal. Mereka akan terputus dari hak membangun keterampilan-keterampilan hidup dan mempersiapkan masa depan yang menjadi salah satu tujuan utama dari sekolah.

Karena tidak dapat mengakses pendidikan, anak-anak perempuan yang menikah (juga anak laki-laki yang menikah) akan cenderung menjadi individu-individu yang tidak terampil dalam hal soft skills maupun hard skills. Mereka juga akan lebih rentan terhadap banyak hal termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Kesulitan untuk mendapatkan pendapatan yang layak dari pekerjaan . Jika mendapatkan suami dan keluarga suami dari kalangan mampu, anak-anak perempuan yang menikah tersebut akan menjadi bergantung, kurang mandiri, dan kaget jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Namun jika tidak, mereka tetap harus bekerja di luar, dan sayangnya mereka hanya dapat mengakses pekerjaan-pekerjaan yang kurang decent, serta terpinggir dari pemberdayaan.

Singkat kata, pernikahan anak perempuan, berpotensi besar untuk memarginalkan perempuan (dan pembahasan dalam tulisan singkat ini hanya salah satu dari sekian banyak madharat dari pernikahan anak seperti masalah kesehatan reproduksi, subordinasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan beban berlapis!).

 

  1. Gender dan Subordinasi

Subordinasi berarti ketimpangan. Pandangan yang menganggap perempuan sebagai makhluk sosial kelas dua setelah laki-laki, konco wingking yang hanya berperan di dapur, kasur, dan sumur melahirkan berbagai ketimpangan berdasarkan gender terhadap perempuan.

Anggapan umum ini percaya bahwa perempuan hanya mengurusi perkara reproduksi seperti manak-macak-masak, yang semuanya bertujuan untuk melayani laki-laki. Pandangan subordinat terhadap perempuan ini juga yang membuat poligami yang seharusnya hanya dapat dilakukan dengan prinsip ketat adil. Dalil “fain takhafu an-la ta’dilu fawahidah” jika takut tidak dapat berlaku adil maka menikahlah dengan satu orang perempuan saja, tampak begitu digampangkan oleh sebagian kalangan dengan dalih mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Padahal Rasulullah begitu menjaga perasaan keluarga dari menyakitinya dan beliau bersabda, “Demi Allah bersikukuh dengan sumpah (yang menyakiti keluarganya), lebih berdosa di mata Allah, daripada membatalkan sumpah itu dengan membayar kafarat yang diwajibkan Allah kepadanya” (Shahih Muslim).

Ungkapan-ungkapan seperti “diberi keringanan tugas kok tidak mau” ditujukan kepada istri yang menolak dipoligami yang saya baca di salah satu grup media sosial yang saya ikuti, sedang marak kembali. Dalam anggapan-anggapan semacam ini, istri, perempuan hanya dianggap sebagai pelayan suami, laki-laki. Semakin banyak jumlah istri yang melayani satu suami, maka akan semakin ringan tugas istri. Sungguh cara berpikir yang keliru.

Ketimpangan ini tidak berhenti di sini, anggapan bahwa perempuan hanya berperan dalam ranah domestik menjadi kebenaran sosial bersama yang bahkan juga menjadi ideologi ekonomi dan politik yang juga berkembang timpang. Dalam ideologi negara masa Orde Baru misalnya, perempuan yang baik adalah istri dan ibu yang baik yang mendampingi kesuksesan karir suami saja. Konsekuensinya, perempuan tidak dianjurkan selain menjadi istri dan ibu. Jika suami dan istri sama-sama memiliki perspektif rahmah, adil, dan cinta yang dari hal tersebut masing-masing dari keduanya kemudian menjadi “pelayan” bagi pasangannya, maka beban-beban perempuan dalam ketidakadilan sosial berbasis gender akan dapat secara signifikan berkurang.

 

Bersambung…

 

 

 *Yuyun Sri Wahyuni, Divisi Politik Advokasi & Hukum PW Fatayat NU DIYA, LKP3A Fatayat DIY, Pusat Studi Gender Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) Yogyakarta, juga dosen PAI dan Pendidikan IPS di Uiversitas Negeri Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here